December 3, 2015

Menjaga Marwah dan Nama Baik Ormas dalam Pilkada

Menjaga Marwah Ormas dalam Pilkada

POSISI organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) pada setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) terasa sangat penting. Dengan sumber daya berupa pimpinan, kiai, anggota, dan amal usaha di berbagai bidang, ormas memiliki daya pikat luar biasa. Ormas juga memiliki jaringan organisasi yang mapan mulai pusat, wilayah, daerah, kecamatan, hingga desa dan kelurahan.
Ormas-ormas mapan seperti NU dan Muhammadiyah juga memiliki anggota dengan jumlah yang sangat besar. Karena itulah, tidak mengherankan jika beberapa pasangan calon yang running dalam pilkada serentak pasti memanfaatkan potensi ormas. Bagi pasangan calon, dukungan ormas sangat potensial untuk mendulang perolehan suara dalam pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015.

Sebanyak 204 daerah di penjuru Tanah Air akan menyelenggarakan pilkada serentak. Karena kompetisi dalam pilkada begitu ketat, semua pasangan calon berusaha untuk meraih dukungan ormas. Dukungan itu bisa diberikan melalui tokoh-tokoh berpengaruh ormas. Pasangan calon harus sesering mungkin “sowan” ke pimpinan ormas sebagai “kulonuwun politik”. Budaya sowan ini merupakan ikhtiar memperoleh restu dan dukungan politik. Bagi pasangan calon, restu dan dukungan tokoh ormas atau kiai bisa memberikan energi dan kepercayaan diri untuk mengarungi kompetisi yang sangat menguras energi selama pilkada.
Budaya sowan politik ini merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan pasangan calon yang maju dalam pilkada. Di samping menjalani safari politik, strategi yang sering dilakukan pasangan calon adalah mengidentifikasi diri sebagai anggota atau simpatisan ormas tertentu. Strategi ini cukup efektif untuk memperoleh simpati pimpinan dan anggota ormas. Dengan strategi ini, pasangan calon ingin memastikan dirinya memiliki kedekatan emosional dengan ormas tertentu.

Dalam proses identifikasi diri itu, sering kali disertai janji-janji politik. Jika pasangan calon dalam pilkada benar-benar terpilih sebagai kepala daerah, bantuan terhadap ormas pendukung akan direalisasikan. Strategi lain yang sering digunakan partai politik dalam pilkada adalah menempatkan pimpinan ormas menjadi calon kepala daerah. Karena itu, tidak mengherankan jika ada sejumlah calon dalam pilkada yang berlatar belakang pimpinan ormas.

Jika strategi tersebut tidak berhasil, partai politik dan pasangan calon biasanya menempatkan pimpinan ormas sebagai bagian dari tim sukses. Bahkan di suatu kabupaten/ kota, muncul pasangan calon dan tim sukses yang berasal dari satu ormas. Dalam suasana persaingan memperebutkan posisi kepala daerah itulah, sering terjadi gesekan yang melibatkan antar elit dari suatu ormas. Lebih berbahaya lagi jika gesekan antarelite itu berlanjut hingga level akar rumput. Jika kondisi itu terjadi, konflik horizontal yang melibatkan basis massa akan sulit dihindari. Dampaknya, hubungan antara pribadi dan kelompok dalam satu ormas pasti terbelah.

Dalam menghadapi pesta demokrasi berupa pilkada serentak di Tanah Air, ormas harus menjaga kehormatannya. Paling tidak ada empat alternatif yang bisa diambil pimpinan ormas dalam menghadapi pilkada serentak. Pertama, pimpinan ormas bisa mengambil alternatif mendukung salah satu calon. Dengan sikap ini, berarti ormas akan berusaha memaksimalkan sumber dayanya untuk menyukseskan, bahkan mengampanyekan pasangan calon tertentu. Sikap ini jelas sangat berisiko karena bisa memicu perdebatan di internal organisasi.

Kedua, pimpinan ormas bisa bersikap apatis, pasif, dan merasa masa bodoh dengan pilkada. Alternatif kedua ini sama ekstremnya dengan yang pertama. Jika alternatif pertama mendukung salah satu calon, sikap kedua menunjukkan bahwa ormas tidak mau peduli dengan pilkada. Jika sikap ini yang diambil, berarti pimpinan ormas tidak berusaha untuk memberikan kontribusi terhadapdinamikapolitikdidaerah. Padahal sebagai salah satu pilar civil society, ormas harus memberikan kontribusi positif dalam pilkada. Sekurang-kurangnya pimpinan ormas harus mengawal proses pilkada sebagai perwujudan gerakan dakwah amar makruf nahi munkar.

Ketiga, pimpinan ormas bisa bersikap ganda (dual position). Sikap ini mengharuskan pimpinan ormas mencitrakan diri sebagai organisasi yang tidak secara tegas mendukung atau menolak pasangan calon tertentu. Dalam posisi ini, ormas bisa turut “bermain” untuk memperoleh keuntungan dari beberapa pasangan calon. Tentu saja sikap dual position ini mengharuskan pimpinan ormas pintar bermain di atas panggung sandiwara.
Dengan meminjam istilah Erving Goffman dalam teori dramaturginya, ormas harus mampu tampil dalam dua domain sekaligus; panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah tempat melakukan pertunjukan politik, sedangkan panggung belakang merupakan wajah sesungguhnya. Melalui panggung belakang inilah, sikap politik ormas bisa diketahui dengan pasti. Alternatif ketiga ini juga berbahaya karena pimpinan ormas tidak seharusnya bermain-main dengan politik dan kekuasaan.

Keempat, pimpinan ormas bersikap kritis dan konstruktif. Posisi ini meniscayakan ormas bersikap kritis dan konstruktif pada semua partai politik dan pasangan calon. Dalam posisi ini, ormas harus melihat secara cermat kompetensi, integritas, dan rekam jejak semua pasangan calon. Selanjutnya, pimpinan ormas memberikan kriteria yang semestinya dimiliki pasangan calon dalam pilkada. Jika alternatif keempat ini yang diambil, posisi ormas pasti lebih elegan dalam menentukan sikap politik.
Dari beberapa alternatif tersebut, tampaknya posisi ideal yang harus diambil ormas adalah bersikap kritis dan konstruktif. Sikap politik ini akan memberikan keuntungan bagi ormas sehingga bisa memainkan peran pada level tinggi (high politics). Dengan kekuatan jaringan yang dimiliki, pimpinan ormas dapat menggerakkan masyarakat, terutama anggotanya, untuk berpartisipasi dalam pilkada. Dengan demikian, partisipasi pemilih dalam pilkada mengalami kenaikan.


Pimpinan ormas juga dapat mengajak masyarakat melek politik. Masyarakat harus menjadi pemilih yang rasional. Di ujung pilihan masyarakat itulah masa depan suatu daerah ditentukan. Karena itu, pimpinan ormas tidak boleh terjebak dalam kepentingan politik praktis dalam pilkada. Jangan menggadaikan kehormatan (marwah) ormas dengan kepentingan jangka pendek. (hyk, Koran SINDO;Senin,  30 November 2015 )

November 13, 2015

Presiden: Pastikan Harapan Pilkada Rakyat Terpenuhi


Presiden: Pastikan Harapan Pilkada Rakyat Terpenuhi

Presiden Joko Widodo mengingatkan semua pemangku kepentingan untuk memastikan pemilihan kepala daerah di 269 daerah digelar sesuai dengan jadwal serta berjalan damai, jujur, dan adil. Hal ini penting sebagai bagian dari pemenuhan harapan rakyat. Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut B Pandjaitan, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, Ketua Badan Pengawas Pemilu Muhammad, serta anggota KPU Sigit Pamungkas (dari kiri ke kanan) berbincang sebelum Rapat Koordinasi Nasional Pemantapan Pelaksanaan Pilkada Serentak 2015, di Jakarta, Kamis (12/11). Acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo itu diikuti jajaran kepolisian, kejaksaan, dan KPU daerah seluruh Indonesia.


Meski demikian, satu bulan menjelang hari pemungutan suara, sejumlah masalah masih dihadapi penyelenggara pemilihan di daerah. Beberapa masalah, seperti tersendatnya pencairan atau dipotongnya anggaran hingga belum dimulainya produksi logistik pemilihan, berpotensi mengganggu tahapan pilkada. "Satu hal yang terpenting ketika menyongsong momen demokrasi lokal, adanya harapan dari seluruh rakyat," ujar Presiden Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Pemantapan Pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 yang digelar Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, Kamis (12/11). Rakyat berharap agar pilkada menjadi wahana pemenuhan hak-hak politik rakyat secara langsung, inklusif, dan demokratis. Selain itu, agar rotasi pemimpin daerah berjalan secara damai, jujur, dan adil, sesuai pilihan rakyat. Selanjutnya, rakyat mengharapkan pilkada menghasilkan kepala dan wakil kepala daerah yang kompeten dan berintegritas. Rakyat juga berharap pilkada menjadi pintu gerbang mewujudkan pemerintah daerah yang efektif guna mempercepat peningkatan kesejahteraan.

Pemenuhan semua harapan rakyat itu menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, penyelenggara pilkada, dan aparat keamanan. "Harapan rakyat ada di pundak kita," katanya. Kepada aparat keamanan, Presiden juga menginstruksikan agar melakukan deteksi dini, mencegah masalah yang bisa berujung konflik, dan memetakan daerah rawan konflik. Selain itu, Presiden juga mengimbau calon kepala/wakil kepala daerah dan tim suksesnya untuk bertanding dengan cara-cara yang sehat. "Jika nanti menang, jangan jemawa, dan jika kalah, jangan justru ajak pendukungnya untuk ngamuk," ujarnya. Rapat koordinasi dihadiri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut B Pandjaitan dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Selain itu, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso, Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu Muhammad. Adapun pesertanya adalah kepala daerah, penyelenggara pilkada, serta unsur TNI/Polri dan BIN di daerah.

Menurut Husni, KPU sejumlah daerah masih menghadapi masalah, terutama anggaran. Dari 269 daerah yang menggelar pilkada, baru 102 daerah yang dananya cair dan sisanya tersendat. Di luar masalah anggaran, Muhammad mengharapkan aparat keamanan melindungi Panitia Pengawas Pilkada di daerah. Terkait anggaran, Tjahjo Kumolo memperingatkan pemerintah daerah yang menghambat atau bahkan memotong anggaran pilkada. Bahkan, kejaksaan dan kepolisian juga ikut mengingatkan pemda. "Anggaran yang semula sudah disepakati antara pemda dan KPU atau Panwaslu tidak boleh dikurangi," ujarnya.
Adapun para pasangan calon kepala daerah di Jawa Timur berkumpul dan menyampaikan secara terbuka laporan harta kekayaan mereka di Universitas Negeri Surabaya. Keterbukaan ini diharapkan menjadi acuan awal bagi masyarakat untuk mulai mengawasi para calon mereka. Dalam Pilkada Surabaya, pasangan Rasiyo-Lucy Kurniasari memiliki harta masing-masing Rp 7,7 miliar dan Rp 12 miliar. Adapun Tri Rismaharini memiliki harta Rp 1,8 miliar dan Wisnu Sakti Buana Rp 20 miliar. Dari Palu, Sulawesi Tengah, Hadianto Rasyid, salah satu kontestan Pilkada Kota Palu, tercatat memiliki harta Rp 150 miliar. Hadianto merupakan pengusaha yang kini duduk sebagai anggota DPRD Sulteng.


Sementara itu, anggota KPU Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Abi Rizal, mengatakan, penyortiran dan pelipatan surat suara dilakukan setiap sore hingga malam hari oleh anggota staf KPU sebanyak 15 orang. "Kalau ada kesalahan, kami juga bisa menegur langsung," ujarnya. Di Kota Pekalongan, hingga saat ini logistik surat suara belum tiba. Ketua KPU Kota Pekalongan Abdul Basir mengatakan, KPU masih mempersiapkan bimbingan teknis pemungutan suara kepada petugas pemungutan suara. (WIE/DEN/VDL/APA, sumber : Kompas, Presiden: Pastikan Harapan Rakyat Terpenuhi, 13 november 2015)

October 24, 2015

Pilkada Serentak Bisa Menghemat Anggaran Hingga 7 Triliun

Pilkada Serentak Bisa Menghemat  Anggaran Hingga 7 Triliun

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.”Biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai oleh APBN, bukan oleh APBD,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, Minggu (2/9) di Jakarta.
Lazada Indonesia

Studi yang dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah menemukan, pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya. Terkait politisasi anggaran, saat tahap pilkada mulai berjalan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pilkada. Alasannya antara lain daerah tidak memiliki anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah yang belum menetapkan APBD untuk tahapan pilkada.

Tidak sinkronnya tahapan pilkada dengan mekanisme penganggaran daerah berimplikasi pada lemahnya proses pengawasan pilkada. Semua ini juga terkait masih banyaknya permasalahan dengan regulasi pelaksanaan pilkada. Karena itu, Seknas Fitra merekomendasikan agar pembiayaan pilkada diambil dari APBN untuk menghindari tumpang-tindih pembiayaan.

Tiga masalah. Wakil Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Veri Junaidi menyatakan, berdasar pengalaman penyelenggaraan pilkada sejak tahun 2005, setidaknya terdapat tiga masalah pencalonan pasangan kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pilkada.

Pertama, terjadi politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu” tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye.

Kedua, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon. Akibatnya, parpol menjadi lemah sehingga mereka gagal memperjuangkan kepentingan anggota.

Ketiga, pencalonan yang hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini menyebabkan masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih menurun. Di lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa menimbulkan konflik terbuka.


Pemilihan gubernur melalui DPRD, menurut Yuna Farhan, tetap bisa dilaksanakan secara langsung dan serentak dengan pemilihan anggota DPRD provinsi agar menghemat biaya dan lebih efisien. (Sumber: Kompas.com,LOK)

October 11, 2015

Penetapan Penegasan Perbatasan Indonesia


Penetapan dan Penegasan Perbatasan Indonesia

Secara geografis  Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang menghubungkan dua benua (Asia-Australia) dan dua samudra  ( Hindia dan Pasifik). Merupakan bagian utama jaringan serta jantung perdagangan di belahan dunia timur.  Di Laut wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara  sahabat yaitu  India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste dan di Darat berbatasan dengan 3 (tiga) Negara yaitu ; Malaysia, Papua Nugini dan RDTL. Selain itu terdapat 92 (sembilan puluh dua) buah pulau kecil terluar yang merupakan halaman Negara dan tiga belas diantaranya membutuhkan perhatian khusus.

Mari kita lihat seperti apa pemerintah Kolonial melakukan penetapan batas pada zamannya. Penetapan batas negara antara RI – Malaysia di Pulau Kalimantan sudah dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan Inggeris pada rentang waktu antara tahun 1891-1930[1]. Sebagai negara kolonial, Belanda dan Inggeris pada zamannya adalah dua negara besar,  sehingga patut dipercaya bahwa teknologi dan kemampuan perpetaan mereka pada zaman itu adalah perpetaan yang terbaik pada zamannya.  Untuk penegasan batas antara negara taklukan mereka di Kalimantan para ahli perpetaan kedua negara itu pada umumnya memanfaatkan semaksimal mungkin tanda-tanda alam di lapangan. Karena itu batas kedua negara di pulau ini mereka lakukan dengan memanfaatkan garis batas alamiah berupa punggung gunung yang mengikuti garis pemisah air (Watershed), sisi kanan sungai dan garis lurus.  

Garis batas tersebut di mulai dari pulau Sebatik di pantai Timur (Kalimantan Timur – Sabah) ke arah Barat sampai di Tanjung Datu di pantai Barat (Kalimantan Barat – Sarawak). Secara umum perbatasan itu telah mengikuti watershed dan garis lurus sebagaimana yang dituangkan oleh kedua negara dalam Traktat. Penetapan batas kedua negara telah dilakukan oleh pemerintah Belanda dan Inggeris  di wilayah itu sejak tahun 1891, 1915 hingga tahun 1928. Dasar-dasar ketentuan hukum tentang penetapan perbatasan wilayah Republik Indonesia – Malaysia di Kalimantan lalu mereka tuangkan dalam treaty atau Traktat. Demikian juga antara RI-PNG di Papua. Hal yang sama dilakukan oleh Belanda dan Portugal di Pulau Timor. Nanti kita disuguhkan secara detail lagi.  

Wilayah perbatasan memiliki nilai strategis baik sebagai kedaulatan, sebagai pangkal pertahanan, sebagai halaman depan kebanggaan juga sebagai titik dasar dalam penetapan garis batas wilayah territorial,  Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia. Sebagai halaman depan bangsa ia sekaligus jadi pusat interaksi perekonomian, sosial budaya dengan negara tetangga dalam suatu kerangka masyarakat Asean dan Dunia.  Karena itu tidak diragukan lagi Garis Batas Negara mempunyai arti penting dalam pembangunan kedaulatan negara. Karena itu kita Perlu Tahu Bagaimana Batas Negara itu di tegaskan.

Wilayah perbatasan merupakan wilayah terdepan dari kedaulatan negara kita dan mempunyai peranan penting dalam memelihara  kebersaman, pemanfaatan sumberdaya, kepastian hukum bagi penyelenggaraan aktivitas dan kegiatan masyarakat serta untuk menjaga keamanan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembangunan wilayah perbatasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional hakekatnya mempunyai nilai strategis karena mempunyai dampak penting  bagi kedaulatan Negara dan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi. Kerja sama ekonomi di Perbatasan akan memberikan berbagai keuntungan bagi kedua warga perbatasan.

Selain itu pengelolaan wilayah perbatasan mempu nyai keterkaitan yang saling memengaruhi antara kegiatan yang dilaksanakan di wilayah perbatasan dengan wilayah lain, juga mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik di daerah maupun nasional, serta merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan. Wilayah perbatasan darat dan pulau-pulau terluar sampai saat ini sebagian besar masih merupakan wilayah terisolir dan tertinggal serta umumnya masyarakatnya masih hidup miskin. Implementasi kebijakan yang telah dilakukan masih menunjukkan  rendahnya keberpihakan, perhatian pembangunan di wilayah perbatasan. Akibatnya berbagai bentuk dan jenis ancaman baik militer maupun nir militer dengan menggunakan wilayah perbatasan sebagai pintu masuk Indonesia, begitu mudah dilakukan.

Arah kebijakan pengelolaan di wilayah perbatasan telah berubah dan diubah sejak berdirinya BNPP  dari kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi kedalam (inward looking) menjadi keluar (outward looking). Paradigma pengelolaan secara “outward looking” tersebut diarahkan untuk mengelola wilayah perbatasan sebagai halaman depan negara yang berfungsi sebagai pintu gerbang keluar/masuk orang, barang dan semua aktivitas, khususnya ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kondisi perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut berbeda satu dengan yang lainnya. Demikian pula dengan negara-negara tetangga yang berbatasan, dimana setiap negara memiliki karektaristik yang berbeda. Beberapa negara tetangga memiliki kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik, namum sebagian lainnya memiliki kondisi sosial ekonominya lebih terbelakang. Dengan adanya kondisi tersebut, maka masing-masing kawasan perbatasan memerlukan pendekatan yang berbeda.

Pengembangan wilayah atau kawasan perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan kawasan perbatasan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif,  mulai Pemerintah Pusat sampai  ke tingkat Kabupaten/ Kota dan kecamatan serta Desa. Pola penanganan tersebut dapat di jabarkan melalui penyusunan program pembangunan berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horizontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintahan daerah, sedangkan jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional sesuai dengan fungsi masing-masing sektor.

Fungsi pertahanan negara memiliki peran yang vital, yakni salah satu pilar berdiri tegaknya negara. Fungsi pertahanan negara tidak sekedar memperlengkapi diri dengan Alutsista yang modern akan tetapi melalui suatu Strategi Pertahanan Negara yang efektif dalam mendayagu nakan segenap sumber daya pertahanan bagi perwujudan daya tangkal (deference capability) yang mampu meniadakan setiap bentuk ancamanan. Kalaupun selama ini yang terlihat sektor pertahanannya yang lebih menonjol, sebenarnya hal itu dikarenakan lemahnya sektor non pertahanan itu sendiri. Misalnya petugas negara non pertahanan yang di tugaskan ke wilayah perbatasan umumnya tidak ada yang berjalan secara efektip dan petugasnya tidak sampai di perbatasan tetapi mereka tetap menerima gaji secara utuh.

Ruang wilayah negara merupakan kesatuan wadah yang menentukan keberhasilan missi pertahanan negara. Karena itu perlu di kelola secara benar dan berkesinambungan. Salah satu upaya dalam pengelolaan wilayah adalah melalui Penataan Ruang Wilayah Nasional yang di selenggarakan secara terencana, terpadu oleh pemerintah dengan melibatkan segenap masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.  Dalam perspektif pertahanan, penataan ruang wilayah negara di selenggarakan dengan strategi penataan ruang kawasan pertahanan baik pada masa damai maupun dalam situasi perang. Kedepan aspek penataan ruang kawasan pertahanan akan semakin penting untuk ditangani dan penanganannya secara lintas sektoral. Persoalan tata ruang di masa mendatang akan semakin kompleks dan perlu koordinasi yang baik.


Belum tuntasnya penegasan garis batas antar negara akan dapat berpotensi menjadi sumber permasalahan hubungan antar negara dimasa datang. Terlebih lagi permasalahan garis batas adalah masalah sensitif yang sulit dikompromikan.  Boleh dikatakan hampir semua negara Asean mempunyai permasalahan batas dengan negara tetangganya. Termasuk di dalamnya persoalan batas di Laut China Selatan. Di samping garis batas, masalah pelintas batas, pencurian sumber daya alam dan kondisi geografi juga merupakan sumber masalah yang dapat mengganggu hubungan antar negara. Oleh karenanya perlu dirumuskan kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan, mulai dari bidang pertahanan secara komfrehensif yang dipadukan dengan pemba ngunan dan pengelolaan wilayah  perbatasan dengan melibatkan seluruh stake holder terkait.

Konteks Strategis Wilayah dan Garis Per batasan

Dengan merebaknya isu-isu keamanan non-tradisional, telah menimbulkan implikasi dalam pola interaksi internasional. Implikasi tersebut berupa terjadinya perubahan tata hubungan internasional yang ditandai dengan munculnya berbagai persepsi, konsepsi dan pendekatan yang harus di kaitkan dengan berbagai penyelesaian permasalahan global maupun regional, baik dalam konteks pengaturan tata hubungan antar negara maupun dalam pola pengaturan keamanan internasional, yang pada gilirannya berpengaruh terhadap kebijakan nasional.

Realitas yang ada bahwa keamanan nasional yang kini dihadapi mempunyai keterkaitan dengan isu-isu yang berdimensi eksternal, yang tidak terlepas dari akumulasi aspek instabilitas ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam, yang cenderung bersifat asimetris. Keterpurukan ekonomi, gejolak politik domestik terganggunya keamanan dan semakin tajamnya kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat  telah memicu konflik komunal, banyak di pengaruhi oleh kecenderungan lingkungan strategis secara signifikan. Kondisi tersebut senantiasa berubah dengan cepat dan penuh ketidak pastian, sehingga dapat mengancam stabilitas keamanan nasional yang pada dasarnya menjadi tumpuan bagi kelangsungan pemba ngunan di semua aspek kehidupan nasional.

Pada tingkat global, perkembangan demokrasi menjadi indikator penting dan universal dalam mengontrol kehidupan politik negara-negara berkembang, sehingga dapat menekan tingkat pelanggaran kemanusiaan (HAM) dan mendorong upaya perdamaian global. Dengan  semakin besarnya peran PBB dan masuknya Indonesia dalam jajaran Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB serta jadi kelompok G-20, membuka peluang bagi upaya baru dan revitalisasi PBB dalam mengatasi sejumlah komflik di berbagai kawasannya khususnya di negara berkembang di kawasan Asia tenggara dan Asia Timur.

Pada tingkat regional, perkembangan kinerja ASEAN relatif dapat memberikan kontribusi dalam mendorong kerjasama ekonomi dan keamanan, termasuk semakin meluasnya jaringan ASEAN, menyusul terlibatnya sejumlah negara di luar kawasan dalam kerjasama regional ASEAN (ASEAN Plus 3 dan 6). Gagasan Gagasan “Security Community” dan peran ASEAN Regional forum dapat menjadi pintu dan sekaligus media strategis dalam mengembangkan kerjasama dan dialog dalam meningkatkan rasa saling percaya serta penyelesaian konflik di kawasan. Penanganan sejumlah kejahatan trannasional termasuk terorisme dapat di atasi secara signifikan dan tergolong mengalami kemajuan, sehingga dunia internasional semakin memberikan perhatiannya dalam mendukung mempertahankan stabilitas di kawasan.

Sedangkan pada tingkat nasional, perkembangan demokrasi mengalami kemajuan pesat dan masyarakat mulai semakin dewasa dalam menentukan sikap politiknya, sehingga melahirkan kesadaran akan pentingnya kesinambungan pembangunan ekonomi dan keamanan serta pemeliharaan lingkungan berkaitan dengan terjadinyanya berbagai krisis dan bencana alam. Tersedianya cadangan dan potensi sumberdaya nasional yang memadai, dapat diolah dan di dayagunakan sedemikian rupa dalam rangka kepentingan terselenggaranya pembangunan nasional  dan pertahanan negara di masa depan.

Kerjasama Antar Negara

Belum oftimalnya keterkaitan pengelolaan perbatasan dengan kerjasama sub Regional maupun Regional. Kerjasama bilateral, sub regional, maupun regional memberikan suatu peluang besar bagi pengembangan kawasan perbatasan. Kerjasama regional dan sub regional yang ada saat ini seperti ASEAN, Indonesia Malaysia Singgapura – Growth Triangle (IMS-GT), Indonesia Malaysia Thailand – Growth Triangle (IMT-GT), Australia Indonesia Develop ment Area (AIDA), maupun Brunai Indonesia Malaysia Philipina – East Asian Growth Area.

Pada umumnya meliputi provinsi-provinsi di wilayah perbatasan di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama perdagangan dan investasi. Namum demikian bentuk-bentuk kerjasama ini belum memiliki keterkaitan dengan pembangunan kawasan perbatasan, karena kondisinya yang tertinggal dan terisolir. Kini isolasi itu sudah dibenahi. Jalan parallel perbatasan sudah dibangun. Pembangunan infrastruktur sudah dimulai. Jadi tidak ada lagi alasan yang membuat gerak ekonomi perbatasan tertahan. Kini peran Pemda sangat diharapkan. Kalau wilayah perbatasannya sudah maju tentu akan mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan secara kese luruhan.

Selama ini karena kerjasama antar negara untuk menanggulangi pelanggaran hukum di kawasan perbatasan seperti illegal logging, illegal fishing, penyelundupan narkotika, pelanggaran batas negara dan berbagai jenis pelanggaran lainnya belum di laksanakan secara oftimal karena adanya isolasi. Di beberapa daerah kepulauan misalnya kepulauan Riau, Sangihe dan talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua  dan NTB dan NTT, meski sudah dilakukan “penenggelaman kapal” tetapi masih saja terdapat beberapa nelayan asing teruitama dari Thailand dan philipina yang melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa ijin karena ketidak tahuan batas laut antara kedua negara. Pembicraan bilateral untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan negara tetangga perlu di lakukan, mengingat sumberdaya yang telah di curi selama ini merugikan negara dalam jumlah yang cukup besar.



Semua itu dan dalam rangka memelihara, membangun dan memperkuat  keutuhan wilayah Negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka sudah selayaknya kita dapat mempercepat penyelesaian penegasan perbatasan negara secara benar. Dengan mengetahui batas yang benar maka barulah bisa untuk lebih memperhatikan keterpaduan pembangunan sarana dan prasarana yang bisa menghubungkan wilayah NKRI dengan dunia luar. Buku ini disusun dengan tujuan memberikan gambaran secara utuh penetapan dan penegasan batas wilayah negara yang terkait  penetapan dan penegasan perbatasan mulai dari teori berawal mulai dari  munculnya perbatasan yang di representasikan garis batas, tugu-tugu batas, pos-pos lintas batas serta berbagai asesori perbatasan lainnya seperti jalan raya, jalan inspeksi, jalan tikus, Papan Nama, Gapura dan sosok atau Beacon. Tentu saja Buku ini masih jauh dari sempurna namun demikian akan terus diupayakan agar dapat  menampilkan realitas maupun semangat yang menyertai penegasan batas di perbatasan. Diyakini materi dan penyajian dalam penulisan buku terkait penetapan dan penegasan perbatasan ini masih sangat sederhana dan masih terdapat berbagai keterbatasan. Karena itu masih diperlukan bantuan para pihak khususnya pemerintah daerah,  Kodam perbatasan,  instansi terkait  dan masyarakat di wilayah perbatasan untuk ikut serta memberikan dan melengkapi berbagai informasi yang telah ada.

Sebagai akhir kata, disampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan buku penetapan dan penegasan Wilayah Perbatasan ini sehingga bisa sampai ketangan anda.



[1] Surveyor Belanda waktu itu DPP seorang Letnan dari korps Zeni Belanda, melakukan mobilisasi Timnya ke perbatasan lewat Sungai dan jalan darat. Tetapi yang menakjubkan adalah hasil ukuran mereka yang kalau dibandingkan dengan teknologi sekarang (Citra Satelit) hasilnya nyaris sama. Topografi TNI-AD telah melakukan penelitian secara detail hasil ukuran Belanda-Inggris  100 tahun yang lalu hasilnya sama.






Jual Penetapan & Penegasan Batas Negara - Buku Perbatasan | Tokopedia: Jual Penetapan & Penegasan Batas Negara, bagus dengan harga Rp 85.000 dari toko online Buku Perbatasan, Bandung. Cari produk pengetahuan umum lainnya di Tokopedia. Jual beli online aman dan nyaman hanya di Tokopedia.




Catatan: 

MENJADIKAN WILAYAH PERBATASAN JADI BERANDA DEPAN BANGSA.  Buku ini menjelaskan bagaimana sejarahnya batas-batas negara itu ditetapkan oleh pemerintahan kolonial dan kemudian ditegaskan kembali oleh kedua negara yang bertetangga setelah merdeka.
Bagaimana negara menyusun organisasi penanganan penegasan perbatasan. Indonesia mempunyai perbatasan dengan sepuluh negara tetangganya. Dari kesepuluh itu ada tiga diantaranya yang mempunyai batas darat dengan Indonesia, yakni dengan Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste. Tetapi setelah 35 tahun lebih melakukan penegasan batas ternyata sampai sekarang belum ada satupun yang sudahselesai. Begitu juga dengan wilayah perbatasannya. Merand dan terisolasi.
Padahal dari segi potensi dan posisi geografinya yang strategis, wilayahperbatasan layak dijadikan Bernada Depan Bangsa. Tapi hal itu belum dilakukan. Ada apa sebenarnya masalahnya?

October 5, 2015

Media Sosial Dalam Pertarungan Pilkada



Media Sosial Dalam Kampanye Pilkada
 
Menyadari media sosial tak lagi bisa dipandang sebelah mata, Komisi Pemilihan Umum mengatur penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye pemilihan kepala daerah serentak 2015. Calon kepala daerah pun serius menggarap kampanye di linimasa. Mampukah kampanye di media sosial membuat calon-calon kepala daerah mendulang suara pemilih?Mas'ud Ridwan, calon Wakil Bupati Semarang, Jawa Tengah, tertawa saat ditanya tentang berapa dana yang dikeluarkan tim kampanyenya untuk membayar tim khusus yang mengurusi kampanye media sosial.
"Rahasia itu, ha-ha-ha. Tentu jumlahnya lebih kecil dibanding dana buat rapat umum dan rapat terbuka. Kampanye media sosial lebih murah," kata Mas'ud saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/9).Mas'ud yang mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Semarang lantaran maju bersama calon Bupati Nur Jatmiko memang berniat bertarung habis-habisan. Dia berhadapan dengan Mundjirin, bupati petahana yang berpasangan dengan Ngesti Nugraha, juga anggota DPRD Kabupaten Semarang."Saya percaya kampanye di media sosial juga efektif dari sisi waktu dan biaya, sepanjang bisa dikelola dengan baik," tutur Mas'ud.
Namun, ia menambahkan, daya jangkau media sosial di Kabupaten Semarang masih terbatas. Jangkauannya belum setinggi kota-kota besar di Indonesia yang penetrasi internetnya sudah jauh lebih tinggi.Di Indonesia, pengguna media sosial memang terus tumbuh. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2013 menunjukkan, setidaknya ada 63 juta pengguna internet di Indonesia. Sebanyak 95 persen di antaranya menggunakan internet untuk mengakses situs jejaring sosial. Oleh karena itu, kemunculan ruang publik digital tersebut juga membuka kesempatan bagi politisi untuk berkampanye.

Interaksi multiarah. Douglas Hagar (2014) dalam Campaigning Online: Social Media in the 2010 Niagara Municipal Elections menuturkan, media sosial bisa berkontribusi pada keberhasilan politik. Ini karena media sosial membuat kandidat dalam sebuah pemilihan bisa berinteraksi dengan para calon pemilih dengan skala dan intensitas yang tak bisa dicapai lewat pola kampanye tradisional seperti kampanye dari pintu ke pintu, brosur, bahkan peliputan oleh media cetak dan televisi.
Selain itu, biaya kampanye media sosial juga jauh lebih murah karena tidak ada biaya yang langsung diasosiasikan dengan media sosial semacam Facebook, Twitter, dan Youtube.Media sosial juga unggul karena memberi kesempatan para calon pemilih untuk berdialog dua arah dengan kandidat, tidak seperti model kampanye tradisional yang cenderung searah, dari kandidat ke calon pemilih. Sifat komunikasi politik antara kandidat dan calon pemilih bisa menjadi multiarah, seperti dari kandidat ke pemilih, pemilih ke kandidat, atau antarpemilih.
Modal komunikasi multiarah ini, menurut Tasente Tanase (2015) dalam The Electoral Campaign through Social Media: A Case Study-2014 Presidential Election in Romania, menjadi salah satu modal bagi kandidat untuk bisa meraih suara dalam pemilihan. Tasente berargumen, peluang dukungan media sosial menjadi suara dalam pemilihan lebih besar jika ada keterlibatan atau partisipasi aktif calon pemilih. Partisipasi aktif ini tidak harus berlangsung di akun media sosial si kandidat. Bisa saja pendukung kandidat itu menyebarluaskan materi kampanye dari akun kandidat, tetapi dengan pesan yang dipersonalisasi lalu memancing perbincangan dengan teman-temannya di dunia maya. Dengan kata lain, keaktifan itu lebih penting dari banyaknya orang yang menjadi "pengikut" di akun media sosial.
Tasente juga mengatakan dukungan di dunia maya tidak berdiri sendiri. Tidak selalu kesuksesan kampanye di media sosial otomatis membuat kandidat menang dalam sebuah pemilihan. Kampanye di media sosial juga harus diikuti dengan triangulasi metode kampanye. Artinya, kampanye media sosial yang gencar juga harus diikuti kampanye tatap muka ataupun bentuk kampanye tradisional lainnya. Ini karena penelitian di beberapa negara juga menunjukkan modal kampanye yang besar justru mendominasi tingkat keterpilihan ketimbang media sosial.
Pengaturan kampanye. Di Indonesia, penggunaan media sosial untuk kampanye bukan hal yang benar-benar baru. Hanya saja, baru pada pemilihan kepala daerah serentak 2015, Komisi Pemilihan Umum mengatur penggunaannya di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pilkada. PKPU itu menyebutkan, tim sukses wajib mendaftarkan akun resmi di media sosial kepada KPU daerah paling lambat sehari sebelum pelaksanaan kampanye. Selain itu, diatur pula konten kampanye serta durasi kampanye di media sosial.
Pada pemilihan kepala daerah serentak kali ini, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat sebanyak 26 persen dari 105 calon kepala daerah di 58 kabupaten dan kota dijadikan sample pengawasan menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye. Dari jumlah itu, sebanyak 57 persen menggunakan Facebook dan 27 persen menggunakan Twitter.
Ketua Bawaslu Muhammad menuturkan, kesempatan kampanye media sosial bagi para calon juga memberi tantangan bagi pengawas pemilihan umum. Ini karena panitia pengawas juga punya keterbatasan dalam menertibkan secara langsung akun media sosial.Untuk itu, kata Muhammad, pihaknya menggandeng lembaga negara terkait yang berhubungan dengan media secara umum dan jurnalisme khususnya."Sosialisasi aturan sudah dilakukan lebih awal sehingga partai politik, pasangan calon, dan tim sukses juga berupaya secara serius mengikuti aturan itu (kampanye di media sosial). Akan menjadi lebih tertib," kata Muhammad.



Kampanye media sosial juga membuka peluang/potensi munculnya konsultan-konsultan media sosial yang menggerakkan pasangan calon.Mengenai hal itu, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengaku belum ada pengaturan khusus. Hanya saja, jika konsultan-konsultan media sosial masuk dalam tim kampanye atau jasa konsultasi itu bagian dari lembaga survei, mereka harus mendaftar ke KPU.

Langkah KPU mengatur kampanye media sosial ini harus diapresiasi, tetapi penyelenggara pemilu juga harus responsif menghadapi perubahan di linimasa. Ini dimaksudkan agar mereka tidak keteteran menghadapi kampanye model baru.Tentu ada syaratnya. Mereka pun harus melek media sosial. Persoalannya, apakah syarat itu sudah terpenuhi? Atau, jangan-jangan masih ada yang tak punya akun media sosial? (Sumber :Antony Lee, Kompas.com, Media Sosial Makin Jadi Primadona Kampanye Pilkada tanggal 25 September 2015)

September 18, 2015

Menangkan Pilkada, Jebakan Pilkada Serentak

Lazada Indonesia
Jebakan Pilkada Serentak
Oleh Max Regus
Komisi Pemilihan Umum sudah sejak awal tahun ini menyatakan kesiapan untuk menyelenggarakan pilkada secara serentak. Sebanyak 269 daerah, termasuk provinsi, kabupaten, dan kota, akan terlibat dalam perhelatan politik ini. Jika dikalkulasi, jumlah itu setara dengan 30-an persen dari semua daerah di seluruh Indonesia. Bahkan, jumlah ini dapat saja bertambah jika pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak diundur pada 2016 (Channel NewsAsia, 30 Juli 2015).
Di awal, ada 810 pasangan yang mendaftar sebagai kandidat dalam pilkada. Beberapa hari lalu, KPU Daerah sudah mengumumkan pasangan calon tetap. Dan, terhitung mulai pekan kedua September ini, para petahana meletakkan jabatan mereka. Bayangkan, hampir sebagian wilayah Indonesia akan dipimpin oleh pelaksana tugas. Mereka hadir di panggung kekuasaan dengan batasan kewenangan.
Berhubungan dengan ini, tak bisa dimungkiri, kita masuk dalam jebakan serius. Hal ini cukup mencemaskan, senada dengan pemikiran Tofail Ahmen—profesor politik dari BRAC University, Daka—yang melakukan evaluasi kritis terhadap ”sesi transisional” dalam dinamika politik lokal (NewAge, The Outspoken Daily, 2014). Dalam catatan Tofail Ahmen, politik lokal bisa saja mencapai dinding kebuntuan akibat kehadiran caretaker pemerintahan yang bersifat sementara.
Ruang kosong. Persoalan ini dapat muncul dalam dua sisi. Pertama, mesin birokrasi segera mengalami pergantian suasana politik. Sejak jabatan di ruang lingkup birokrasi sedikit banyaknya juga ditentukan oleh ”investasi ekonomi-politik” dalam pilkada, elite birokratik di daerah condong membangun koalisi kekuasaan. Di sini, pembelahan birokrasi ke dalam blok-blok politik, memang tidak mengherankan, selalu jadi ”ulang tutur” dalam pilkada. Sepertinya, peringatan pemerintah pusat agar para birokrat lokal bersikap netral dalam pilkada hanya akan bertuah di atas kertas.
Kedua, kehadiran pelaksana tugas secara signifikan akan memengaruhi kondisi daerah. Selain para pejabat ini dituntut untuk mampu mengelola ketegangan-ketegangan birokrasi lokal, mereka juga mesti mampu mengawal pelaksanaan pilkada bermutu. Berhubung demokrasi tidak hanya berurusan dengan mekanisme pemilihan, para pelaksana tugas ini mesti memiliki kecerdasan komprehensif dalam membaca anatomi sosial dan politik daerah.
Kelambanan membaca dua sisi jebakan di atas akan memperbesar volume ruang kosong keberdayaan politik (political efficacy) lokal. Soal ini dapat dibaca dengan sederhana dan ringkas. Terutama, banyak daerah langsung berhadapan dengan persoalan yang sedang menjadi sumber kerisauan (pemerintah pusat) sekarang ini. Efektivitas pembangunan menghadapi ujian serius ketika penyerapan anggaran belanja negara/belanja daerah tidak mencapai titik yang maksimal/optimal.
Para ”Leviatan”. Tentu saja, ada kepelikan lain yang cenderung muncul dari problematika pilkada serentak ini. Ini lebih daripada sekadar keguncangan politik. Pilkada berpeluang jadi arena cari untung dari kekuatan politik (nasional) yang sedang menghadapi keterjepitan di pusat. Salah satu cara untuk menghadapi kerumitan ini adalah kehadiran pemerintah pusat dalam mengawal pilkada (yang) pro-publik lokal. Pemerintah pusat seharusnya memiliki informasi yang akurat tentang peta politik lokal. Hingga pada muaranya, pusatmampu menunjukkan pendekatan politik berbeda sesuai dengan karakter berbeda setiap daerah.
Pusat, seperti KPK dan segenap lembaga ad hoc lainnya yang bertugas menjamin pemenuhan hak-hak sosial politik warga, harus merasa perlu untuk memperlihatkan kehadiran politik.Ini akan menjadi salah satu instrumen strategis untuk mengawal pilkada.
Sebab, ketiadaan peran kunci pusat akan menuntun politik lokal ke dalam cengkeraman mafia politik yang mengincar dan memanfaatkan pilkada sebagai batu loncatan untuk mengokohkan hegemoni politik jangka panjang. Di sini, awasan J Eric Oliver dalam buku Local Election and the Politics of Small-Scale Democracy (2013), bahwa politik lokal dapat menjadi ruang persembunyian para ”Leviatan” (di/dari) pusat, akan menjadi jebakan berikut dan paling mematikan bagi pilkada, demokrasi, dan masa depan Indonesia.
Max Regus,Kandidat Doktor di the Graduate School of Humanities, Universitas Tilburg, Belanda ( Sumber Kompas, September 9,2015)