February 18, 2017

Ketika KPU Menggampangkan Masalah…



Ketika KPU Menggampangkan Masalah…

Pemerintah dan penyelenggara pemilu menyatakan bakal menjamin hak pilih warga dalam Pilkada 2017. Ini disampaikan berulang kali sebelum hari pemungutan suara. Namun kenyataannya, sebagian warga tak dapat melaksanakan hak pilih mereka. Dalam sosialisasi yang dilakukan penyelenggara pemilihan, warga yang tak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) dapat menyalurkan hak pilihnya dengan hanya menunjukkan KTP elektronik atau surat keterangan telah merekam data kependudukan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Berbekal harapan itu, banyak warga yang namanya tak tercantum dalam DPT datang ke TPS. Namun, waktu yang disediakan, yakni satu jam sebelum pemungutan suara berakhir, tidak memadai. Surat suara cadangan yang hanya 2,5 persen dari jumlah pemilih dalam DPT jauh dari cukup. Formulir untuk mencatatkan warga dalam DPT tambahan pun sedikit.
Akibatnya, antrean, teriakan, dan protes warga pun tak ada habisnya. Rekaman warga yang protes karena kehilangan hak politiknya muncul di sejumlah media sosial yang menjadi medium bagi warga untuk menyampaikan protes. Petisi yang meminta KPU agar membenahi daftar pemilih dan mengawasi distribusi undangan (formulir C6) pun ditandatangani hampir 12.000 orang dalam tiga hari. Petisi ini diunggah di www.change.org.

Wakil Presiden Jusuf Kalla seusai pemungutan suara mengakui kemungkinan adanya warga yang kehilangan hak pilih. Namun, ia yakin jumlahnya sangat kecil. “Kurang dari 1 persen. Contohnya, ada masalah administrasi di kelurahan, seperti warga yang meninggal tidak dilaporkan sehingga namanya tetap ada di kelurahan, ada juga pendatang tetapi tidak urus KTP atau tidak urus surat pindah. Jadi sebenarnya tidak bisa disalahkan sistem saja,” tuturnya.
Kecenderungan serupa biasa disampaikan KPU ketika ada masalah dengan DPT. Padahal, tak selamanya warga abai dengan pemutakhiran data pemilih ataupun mengurus administrasi kependudukan. Ida Fitri (39), warga Cengkareng, Jakarta Barat, sudah memiliki KTP elektronik dan berupaya mengurus hak pilihnya ke kelurahan. Namun, namanya tetap tak ada dalam DPT. Ida dan suami termasuk di antara ratusan warga yang gagal mendapatkan hak pilihnya di kawasan Cengkareng.
Lenny Hidayat (34) tak kalah kesal. Dia dan suaminya pun gagal memilih. Sebelumnya, Lenny yang sudah tinggal di Jakbar sekitar empat tahun sudah mendatangi ketua RT. Namun, dia diminta datang langsung ke TPS di kawasan Srengseng, Jakbar, dengan membawa KTP elektronik. Junaidi (38) pun hampir kehilangan hak pilih akibat namanya tak ada di DPT. Pada Desember lalu, dia sudah mengurus hak pilihnya ke RT setempat. Namun, daftar pemilih yang disiapkan RT dengan daftar dari KPU berbeda. Junaidi pun mengirimkan surat elektronik ke KPU untuk mempertanyakan namanya yang tidak terdaftar di DPT. Tanggapan atas surel itu hanya memintanya untuk membawa KTP elektronik saat memberikan suara.
“Kalau DPT akurat, sosialisasi KPU baik, dan waktu yang diberikan untuk pemilih yang tak tercatat di DPT cukup panjang, mungkin tidak kacau seperti ini. Pukul 12.45 saja, antrean (warga yang ingin memberikan suara dengan membawa KTP elektronik) panjang sekali. Satu jam mana cukup,” tutur Junaidi. Salah seorang Panitia Pemungutan Suara (PPS) pun mengakui, banyak warga yang didaftarkan dalam pemutakhiran data, tetapi tak muncul dalam DPT. Menurut anggota PPS Kelurahan Pulo, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Marthien Willem Hatu, jumlahnya cukup banyak.
“Ketika disinkronisasi dengan data KPU DKI, data warga yang sudah ditambahkan dalam coklit (pencocokan dan penelitian) hilang. Nama warga yang sudah meninggal malah muncul lagi,” katanya. Namun, KPU malah menilai masalah terletak pada kurangnya koordinasi antar-KPPS untuk memindahkan surat suara cadangan seperti disampaikan anggota KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Rabu (15/2).
Akan tetapi, sebagian pihak bisa menilai hilangnya ratusan bahkan mungkin ribuan hak pilih warga di DKI justru menunjukkan KPU menggampangkan masalah. Jumlah surat suara cadangan akan memadai apabila pemutakhiran data pemilih berkualitas. Namun, apabila pemutakhiran data pemilih kacau, tentu surat suara yang hanya 2,5 persen dari jumlah pemilih di setiap TPS menjadi sangat sedikit. Apalagi, ketika partisipasi masyarakat melonjak.
Anggota Bawaslu Nasrullah pun menilai penghilangan hak politik warga ini sebagai kejahatan. Negara pun mengutamakan hak politik warga dengan menetapkan pidana penjara minimal 12 bulan dan maksimal 24 bulan serta denda Rp 12 juta-Rp 24 juta untuk penyelenggara pemilu yang sengaja menghilangkan hak pilih warga.

Ke depan, kata Nasrullah, KPU, Bawaslu, dan pemerintah mesti duduk bersama untuk menyelesaikan data pemilih yang kacau. PPS pun perlu mendata nama dan alamat warga yang gagal memberikan suara 15 Februari lalu. (Sumber : Kompas,18 Februari 2017, INA)

February 12, 2017

Verifikasi E-KTP Dapat Tangkal Kecurangan Pilkada

Verifikasi E-KTP Dapat Tangkal Kecurangan Pilkada

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dua tahun terakhir berhasil menerapkan cara verifikasi data pemilih berbasis KTP elektronik pada 160 pemilihan kepala desa di empat kabupaten. Dengan teknik ini berbagai kecurangan terungkap, antara lain menemukan 400 NIK fiktif. Berdasarkan keberhasilan itu, BPPT mengusulkan pemakaian verifikasi elektronik itu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan  Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan KPU DKI untuk pilkada pekan depan.
Hal ini disampaikan Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT Andrari Grahitandaru, Sabtu (11/2) di Jakarta. “Saat ini BPPT telah menyiapkan perangkat elektronik dan aplikasi peranti lunaknya untuk mendeteksi keaslian KTP elektronik pemilih. Untuk itu BPPT dapat memijamkan sekitar 100 perangkat pembaca data KTP elektronik,” ujarnya. Namun, penerapannya perlu diperkuat dengan aspek legalitasnya.

Perangkat itu meliputi aplikasi pembaca chip dalam KTP elektronik dan menampilkan foto di layar ponsel berbasis Android. “Telah disiapkan juga program aplikasi smartphone NFC (Near Field Communication) untuk membaca data foto elektronik KTP elektronik. Rata-rata 4 detik untuk dapat menampilkan foto yang dibaca dari chip KTP elektronik,” katanya.
TPS rawan  Alat e-verifikasi perlu diterapkan di TPS rawan kecurangan, yang jumlah pemilih tambahannya terbilang banyak. Kecurangan, menurut Andrari, berpeluang terjadi karena pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dapat menggunakan hak pilihnya di TPS sesuai domisili dengan menunjukkan KTP elektronik. Sesuai peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2016,  hal ini dapat dilaksanakan antara pukul 12.00 dan 13.00 pada 15 Februari 2017. “Ini membuka peluang penggunaan KTP elektronik palsu hasil penggandaan oleh pemilih tambahan. Untuk menutup potensi kecurangan itu perlu e-verifikasi,” kata Andrari.
Sementara itu, Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Hamman Riza menambahkan, sistem e-verifikasi pemilih telah dikembangkan dan diterapkan tim perekayasa BPPT sejak 2015 pada pemilihan kepala desa secara elektronik. Pilkades secara elektronis dan serentak diterapkan di Batanghari di Jambi, Musi Rawas di Sumatera Selatan, Pemalang dan Boyolali di Jawa Tengah, serta Boalemo di Gorontalo. Hamman yakin sistem verifikasi elektronis yang telah diterapkan sejak 2005 ini dapat menangkal kecurangan dalam pilkada seiring maraknya isu KTP elektronik palsu menjelang Pilkada 2017.
“Untuk penyelenggaran pilkada yang akurat, verifikasi data pemilih di TPS tidak cukup berdasarkan undangan saja, tapi harus diverifikasi menggunakan KTP elektronik,” kata Andrari. Ada tiga pilihan teknologi e-verifikasi disiapkan BPPT, yaitu hanya menggunakan aplikasi DPT, kombinasi aplikasi DPT dan alat baca NIK KTP elektronik, dan kombinasi aplikasi DPT dengan alat baca sidik jari KTP elektronik pemilih.

Berdasarkan penerapan dua tahun terakhir ini, teknologi e-verifikasi dapat dijadikan pilihan yang optimal pada pilkada/pemilu manual karena dapat mencegah pemilih ganda, domisili pemilih tak sesuai dan NIK fiktif. Penyimpangan ini dapat diidentifikasi karena sistem e-verifikasi dilengkapi log file yang menunjukkan kehadiran pemilih di TPS. Ada proses penutupan data pemungutan suara sehingga tidak bisa diubah setelah proses penutupan TPS. Dengan demikian e-verifikasi dapat menjadi sistem kontrol proses pungut hitung suara di hari-H di TPS. “Dengan teknologi verifikasi elektronik ini dapat terlaksana pemilu yang jujur, akurat, transparan, dan akuntabel. Ini menjadi bukti hukum yang sah dan dapat diaudit,” kata Andrari. (Sumber : Kompas, 11 Februari 2017,Yun)