Ketika KPU Menggampangkan Masalah…
Pemerintah
dan penyelenggara pemilu menyatakan bakal menjamin hak pilih warga dalam
Pilkada 2017. Ini disampaikan berulang kali sebelum hari pemungutan suara.
Namun kenyataannya, sebagian warga tak dapat melaksanakan hak pilih mereka. Dalam
sosialisasi yang dilakukan penyelenggara pemilihan, warga yang tak masuk dalam
daftar pemilih tetap (DPT) dapat menyalurkan hak pilihnya dengan hanya
menunjukkan KTP elektronik atau surat keterangan telah merekam data
kependudukan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Berbekal
harapan itu, banyak warga yang namanya tak tercantum dalam DPT datang ke TPS.
Namun, waktu yang disediakan, yakni satu jam sebelum pemungutan suara berakhir,
tidak memadai. Surat suara cadangan yang hanya 2,5 persen dari jumlah pemilih
dalam DPT jauh dari cukup. Formulir untuk mencatatkan warga dalam DPT tambahan
pun sedikit.
Akibatnya,
antrean, teriakan, dan protes warga pun tak ada habisnya. Rekaman warga yang
protes karena kehilangan hak politiknya muncul di sejumlah media sosial yang
menjadi medium bagi warga untuk menyampaikan protes. Petisi yang meminta KPU
agar membenahi daftar pemilih dan mengawasi distribusi undangan (formulir C6)
pun ditandatangani hampir 12.000 orang dalam tiga hari. Petisi ini diunggah di
www.change.org.
Wakil
Presiden Jusuf Kalla seusai pemungutan suara mengakui kemungkinan adanya warga
yang kehilangan hak pilih. Namun, ia yakin jumlahnya sangat kecil. “Kurang dari
1 persen. Contohnya, ada masalah administrasi di kelurahan, seperti warga yang
meninggal tidak dilaporkan sehingga namanya tetap ada di kelurahan, ada juga
pendatang tetapi tidak urus KTP atau tidak urus surat pindah. Jadi sebenarnya
tidak bisa disalahkan sistem saja,” tuturnya.
Kecenderungan
serupa biasa disampaikan KPU ketika ada masalah dengan DPT. Padahal, tak
selamanya warga abai dengan pemutakhiran data pemilih ataupun mengurus
administrasi kependudukan. Ida Fitri (39), warga Cengkareng, Jakarta Barat,
sudah memiliki KTP elektronik dan berupaya mengurus hak pilihnya ke kelurahan.
Namun, namanya tetap tak ada dalam DPT. Ida dan suami termasuk di antara
ratusan warga yang gagal mendapatkan hak pilihnya di kawasan Cengkareng.
Lenny
Hidayat (34) tak kalah kesal. Dia dan suaminya pun gagal memilih. Sebelumnya,
Lenny yang sudah tinggal di Jakbar sekitar empat tahun sudah mendatangi ketua
RT. Namun, dia diminta datang langsung ke TPS di kawasan Srengseng, Jakbar,
dengan membawa KTP elektronik. Junaidi (38) pun hampir kehilangan hak pilih
akibat namanya tak ada di DPT. Pada Desember lalu, dia sudah mengurus hak
pilihnya ke RT setempat. Namun, daftar pemilih yang disiapkan RT dengan daftar
dari KPU berbeda. Junaidi pun mengirimkan surat elektronik ke KPU untuk
mempertanyakan namanya yang tidak terdaftar di DPT. Tanggapan atas surel itu
hanya memintanya untuk membawa KTP elektronik saat memberikan suara.
“Kalau
DPT akurat, sosialisasi KPU baik, dan waktu yang diberikan untuk pemilih yang
tak tercatat di DPT cukup panjang, mungkin tidak kacau seperti ini. Pukul 12.45
saja, antrean (warga yang ingin memberikan suara dengan membawa KTP elektronik)
panjang sekali. Satu jam mana cukup,” tutur Junaidi. Salah seorang Panitia
Pemungutan Suara (PPS) pun mengakui, banyak warga yang didaftarkan dalam
pemutakhiran data, tetapi tak muncul dalam DPT. Menurut anggota PPS Kelurahan
Pulo, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Marthien Willem Hatu,
jumlahnya cukup banyak.
“Ketika
disinkronisasi dengan data KPU DKI, data warga yang sudah ditambahkan dalam
coklit (pencocokan dan penelitian) hilang. Nama warga yang sudah meninggal
malah muncul lagi,” katanya. Namun, KPU malah menilai masalah terletak pada
kurangnya koordinasi antar-KPPS untuk memindahkan surat suara cadangan seperti
disampaikan anggota KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Rabu (15/2).
Akan
tetapi, sebagian pihak bisa menilai hilangnya ratusan bahkan mungkin ribuan hak
pilih warga di DKI justru menunjukkan KPU menggampangkan masalah. Jumlah surat
suara cadangan akan memadai apabila pemutakhiran data pemilih berkualitas.
Namun, apabila pemutakhiran data pemilih kacau, tentu surat suara yang hanya
2,5 persen dari jumlah pemilih di setiap TPS menjadi sangat sedikit. Apalagi,
ketika partisipasi masyarakat melonjak.
Anggota
Bawaslu Nasrullah pun menilai penghilangan hak politik warga ini sebagai
kejahatan. Negara pun mengutamakan hak politik warga dengan menetapkan pidana
penjara minimal 12 bulan dan maksimal 24 bulan serta denda Rp 12 juta-Rp 24
juta untuk penyelenggara pemilu yang sengaja menghilangkan hak pilih warga.
Ke
depan, kata Nasrullah, KPU, Bawaslu, dan pemerintah mesti duduk bersama untuk
menyelesaikan data pemilih yang kacau. PPS pun perlu mendata nama dan alamat
warga yang gagal memberikan suara 15 Februari lalu. (Sumber : Kompas,18
Februari 2017, INA)