May 7, 2018

Trauma Konflik Pilkada Membayangi



Oleh : ANUNG WENDYARTAKA

”Saya berharap Pilkada Sumba Barat Daya nanti berlangsung aman, tidak ada kekerasan seperti tahun 2013 lalu,” kata Rudi (27) tahun), warga Weetebula, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Trauma kekerasan yang terjadi pada pilkada bupati lima tahun lalu masih melekat di masyarakat Sumba Barat Daya hingga sekarang ini.



Saat itu, di beberapa wilayah terjadi tindak kekerasan antar-pendukung kandidat hingga pembakaran gedung KPU Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Hal itu dipicu oleh ketidakpuasan pendukung kandidat bupati petahana Kornelis Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto terhadap keputusan KPU Sumba Barat Daya.

KPU Sumba Barat Daya saat itu memenangkan pasangan Markus Dairo Talu-Dara Tanggu Kaha. Keputusan KPU itu menjadi kontroversi karena belakangan terbukti terjadi penggelembungan suara di tempat pemungutan suara saat diadakan penghitungan ulang. Ada selisih 11.973 suara yang seharusnya memenangkan pasangan Kornelis-Daud.

Belakangan KPU SBD menganulir kemenangan pasangan MDT-Dara dan menetapkan pasangan Kornelis-Daud sebagai pemenang di Pilkada SBD. Namun, dalam proses sidang gugatan sengketa pilkada di Majelis Konstitusi (MK) yang diajukan oleh pihak Kornelis-Daud, majelis hakim MK menolak gugatan tersebut. Dengan demikian, pasangan MDT-Dara tetap menjadi pemenang pilkada bupati di SBD.

Buntut dari keputusan-keputusan kontroversial yang dilakukan oleh KPU SBD dan bukti kecurangan penggelembungan suara, ketua dan beberapa komisioner KPU SBD dicopot dari jabatannya. Bahkan, mereka harus menjalani proses hukum dan mendapat hukuman penjara akibat kasus penggelembungan suara tersebut.

Kontroversi dan sengketa Pilkada Bupati Sumba Barat Daya berlangsung berlarut-larut dan menguras energi dan emosi warga, terutama kedua pihak pendukung kedua pasangan kandidat. Warga SBD terbelah, wilayah Kodi satu sisi yang menjadi basis pendukung bupati petahana Kornelis dan wilayah Weweha yang menjadi basis pendukung bupati terpilih MDT.

Pastor Yanto, rohaniwan Katolik yang bertugas di Paroki Kodi, menceritakan situasi kritis saat itu. ”Waktu itu, saya terpaksa berdiri di tengah-tengah massa antara kedua pihak yang bertikai untuk mencegah mereka bentrok. Siapa lagi yang bisa melakukan itu, kecuali rohaniwan. Polisi atau tentara tidak digubris oleh massa,” kata Pastor Yanto.

Akibat berlarut-larutnya sengketa Pilkada SBD ini, pasangan bupati dan wakil bupati terpilih, yakni MDT-Dara, baru dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada September 2014 atau lebih kurang  1,5 tahun setelah pilkada.

Pelantikan oleh Mendagri ini pun masih mengundang kontroversi. Bahkan, DPRD SBD secara resmi menyerahkan rekomendasi kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya berisi penolakan pelantikan MDT-Dara sebagai Bupati dan Wakil Bupati SBD.

Kembali bertarung di Pilkada

Pada pilkada bupati  Juni nanti, Markus Dairo Talu, bupati petahana SBD, kembali akan mencalonkan diri untuk jabatan kedua. Namun, kali ini MDT tidak lagi berpasangan dengan wakilnya, Dara Tanggu Kaha.

MDT kali ini berpasangan dengan Gerson Tanggu Dendo (GTD), anggota DPRD sekaligus Ketua DPD II Golkar Kabupaten Sumba Barat Daya. Kandidat pasangan MDT-GTD ini diusung oleh Partai Golkar, Nasdem, dan PKS.

Sementara itu, wakil bupati petahana Ndara Tanggu Kaha yang pecah kongsi dengan MDT mencalonkan diri berpasangan dengan Eduard Ndapa Tadi (Hati). Namun, pasangan ini tidak lolos di tahap pencalonan karena tidak memenuhi syarat jumlah dukungan kursi DPRD dari partai politik.

Hingga menjelang batas akhir penetapan calon, pasangan Hati ini hanya didukung tiga kursi, masih kurang empat kursi lagi atau minimal total tujuh kursi DPRD agar lolos ke tahap penetapan calon.

Dua pasangan kandidat lain yang akhirnya lolos pada tahap penetapan adalah pasangan Dominggus Dama-Kornelis Tanggu Bore (Damai) dan pasangan Kornelis Kodi Mete-Marthen Christian Taka (Kontak).

Pasangan kandidat Damai didukung oleh PKB, PPP, PKP, PBBI, dan Gerindra. Sementara pasangan Kontak diusung oleh PDI-P, Demokrat, Hanura, dan PAN.

Lolosnya pasangan MDT- GTD dan Kornelis-Taka pada pilkada tahun 2018 ini mengulang pilkada lima tahun lalu, saat mereka berhadapan dalam pilkada yang penuh kontroversi kendati dengan pasangan berbeda.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian warga di SBD masih traumatik dengan konflik dan tindak kekerasan yang menyertai Pilkada 2013 lalu. Mereka merasa waswas dan khawatir karena takut konflik dan tindak kekerasan akan kembali terulang pada pilkada tahun ini.

”Pilkada nanti pasangan calon yang lolos ada tiga. Mudah-mudahan dengan tiga calon, pilkada tahun ini lebih aman. MDT dan Kornelis tidak berhadap-hadapan langsung seperti lima tahun lalu,” kata Frans, warga Tambolaka.

Munculnya Dominggus Dama sebagai calon bupati selain MDT dan Kornelis disambut gembira oleh sebagian warga SBD. Umumnya mereka berharap, dengan adanya tiga calon pasangan yang akan bertarung dalam pilkada nanti, mereka memiliki lebih banyak alternatif untuk calon bupati dan wakil bupati yang sesuai dengan harapan dan aspirasi mereka.

Menilik jumlah dukungan dari partai politik yang mengusung, pasangan Dominggus Dama-Kornelis Tanggu Bore tampaknya tidak hanya akan muncul sebagai pelengkap atau penggembira dalam kontestasi di pilkada nanti.

Dari jumlah partai pendukung, misalnya, pasangan ini didukung oleh lima partai politik dengan jumlah suara di DPRD sebanyak 12 kursi. Pasangan ini bukan tidak mungkin bisa menjadi kuda hitam di tengah persaingan ketat antara dua pasangan calon MDT-GDT dan Kornelis-Taka.

Bagi pasangan MDT-GDT, kemunculan pasangan Dominggus Dama-Tanggu Bore sebagai rival dalam Pilkada SBD perlu diwaspadai, karena seperti halnya dengan MDT, Dama juga berasal dari wilayah Weweha.

Hal ini tentu akan menjadi menarik karena wilayah Weweha yang sebelum ini menjadi lumbung suara bagi MDT di Pilkada 2013 dalam Pilkada 2018 nanti akan diperebutkan bersama dengan Dominggus Dama yang juga berasal dari Weweha. Suara MDT di Weweha kemungkinan besar akan tergerus atau sebagian akan berpindah kepada pasangan Dama-Tanggu.

Meskipun begitu, sebagai petahana, pasangan MDT-GDT di sisi lain memiliki keuntungan dibandingkan rival-rivalnya. Selain menguasai birokrasi, posisi MDT sebagai bupati dipastikan akan mendongkrak popularitasnya di mata publik Sumba Barat Daya. Kedua hal tersebut akan bermuara meningkatkan elektabilitas dalam pilkada nanti.

Sementara itu, peluang pasangan Kornelis-Taka untuk memenangi pilkada juga terbuka lebar. Merujuk pilkada lima tahun lalu, Kornelis sebenarnya mampu mengungguli perolehan suara MDT jika tidak ada kasus penggelembungan suara. Hal itu menjadi modal yang kuat bagi pasangan Kornelis-Taka untuk memenangi pilkada kali ini.

Dari paparan di atas, kontestasi dalam pilkada bupati di SBD Juni nanti bakal menarik dan diperkirakan terjadi perebutan suara yang ketat antarkandidat. Mengingat hal tersebut, KPU sebagai penyelenggara pilkada memiliki peran krusial agar pilkada nanti bisa berjalan dengan baik, independen, dan tanpa kecurangan sehingga pesta demokrasi ini tidak tercederai.

Pengalaman pilkada lima tahun lalu, dengan KPU sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap kekisruhan proses pilkada, jangan sampai terulang kembali. Pilkada SBD tahun ini diharapkan bisa berjalan dengan baik dan menghasilkan pasangan bupati dan wakil bupati yang mampu membawa Kabupaten SBD lebih maju.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumba Barat Daya saat ini masih jauh di bawah rata-rata nasional. Bahkan, di NTT, IPM SBD tahun 2016 sebesar 61,31 masih berada di peringkat ke-13 dari 22 kabupaten/kota di provinsi ini.

Artinya, daerah ini masih serba terbelakang dari parameter kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Pemimpin daerah yang terpilih nanti harus mampu menyingkirkan isu konflik dan pertentangan antarkelompok demi membangun daerah yang masih serba berkekurangan. (LITBANG KOMPAS)



Sumber : Kompas.id, 5 Mei 2018