September 6, 2015

Menangkan Pilkada, Demokratisasi Calon Tunggal



Menangkan Pilkada, Demokratisasi Calon Tunggal
Oleh Tommi A Legowo

Sampai hari pengumuman hasil verifikasi pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah untuk pilkada serentak Desember 2015 oleh KPU (24/8/2015), belum ada rancangan solusi bijaksana final masalah pasangan calon tunggal. Yang tersedia adalah penundaan pilkada hingga 2017 sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12/2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah. Mungkin pertimbangannya, rentang waktu dua tahun cukup untuk mempersiapkan lebih dari satu pasangan calon, meski tak ada jaminannya.
http://ho.lazada.co.id/SHCyrf?file_id=53063

Lemah. Dari sisi kekuatan peraturan, PKPU berada di bawah undang-undang (UU). Pertimbangannya adalah hal-hal teknis pelaksanaan UU, bukan hal-hal substansial dalam UU. Fenomena calon tunggal mengandung hal-hal substansial yang alpa diselesaikan para legislator. Kealpaan terlihat dari tak ditemukan satu pun rujukan pasal dan ayat dalam UU No 8/2015 tentang Pilkada yang dapat dijadikan dasar membuat peraturan menunda pilkada. Pasal 48, 49, 52 menganjurkan penundaan dalam hitungan hari untuk masa pendaftaran pasangan calon. KPU betul dalam mengantisipasi persoalan ini, tetapi melangkah melampaui UU.Dari masa laku peraturan,PKPU itu berjangka pendek, hingga 2017. Padahal, fenomena calon tunggal bukan spesifik pilkada serentak 2015. Potensi permasalahan pernah ada di Pilkada Provinsi Gorontalo September 2006 dan mungkin muncul lagi dalam putaran pilkada serentak selanjutnya, bahkan setelah pilkada serentak raya 2027.
Memang ada putaran-putaran bertahap menuju 2027. Namun, jika kemunculan pasangan calon tunggal pada setiap putaran mengharuskan penundaan pilkada pada putaran berikutnya, ini menghadirkan ”ketidakadilan politik” bagi pasangan calon tunggal dan masyarakat pemilih. Sebab, jarak waktu antarputaran pilkada berbeda-beda: putaran pertama Desember 2015, kedua Februari 2017, ketiga Juni 2018, keempat 2020, kelima 2022, keenam 2023, dan terakhir serentak 2027.Karena sifatnya teknis, PKPU terlihat tidak mempertimbangkan perlakuan adil terhadap hak-hak dasar warga negara, dalam hal ini hak memilih dan dipilih, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta hak politik dan pemerintahan.
Dalam perspektif negara republik demokrasi yang menghormati hak-hak warga negara, pengabaian hak-hak tersebut membuat hak-hak dasar jutaan warga negara tak terlayani jika solusi calon tunggal adalah penundaan pilkada.Mustahil melarang pasangan calon tunggal karena hanya akan menjadi pintu banyak siasat politik sekadar memenuhi persyaratan prosedural dan atau untuk kepentingan pragmatis. Lebih buruk lagi, pelarangan ini berpotensi menghadirkan ancaman darurat nasional ketika banyak daerah dalam pilkada serentak ”dibuat” gagal menghadirkan lebih dari satu pasangan calon.
Solusi. Solusi bijak-final masalah calon tunggal memang bisa terhambat oleh preposisi deterministik anti calon tunggal. Pertama, prinsip demokrasi meniscayakan keberagaman pilihan; calon tunggal potensial meniadakan keberagaman. Kedua, prinsip integritas pemilu meniscayakan proses dan hasil pilkada yang bersih dan absah; calon tunggal dicurigai muncul dari proses kotor yang keabsahannya diragukan. Ketiga, prinsip tata kelola pemerintahan yang baik meniscayakan pengelolaan pemerintahan secara demokratis; calon tunggal bisa melahirkan pemimpin pemerintahan anti demokrasi.
Preposisi yang membentuk sikap anti calon tunggal perlu diubah untuk membuka jalan penyelesaian bijak, menyeluruh, dan final. Adakah metode yang memastikan bahwa calon tunggal terpilih secara absah sebagai pemimpin pemerintahan daerah lewat proses yang mematuhi prinsip pilkada demokratis?Ada jalan untuk mengembangkan metode itu. Pertama, jika pilkada demokratis mensyaratkan proses bersih mulai dari persiapan, pelaksanaan, sampai pengumuman hasil, calon tunggal harus dipastikan muncul dari proses bersih seperti itu.Kedua, jika pilkada demokratis menuntut keberagaman pilihan, calon tunggal harus dipastikan lahir dari proses yang tidak anti keberagaman. Artinya, calon tunggal muncul dari proses prakontestasi yang terbuka menawarkan jalan untuk hadirnya banyak pilihan, bukan hasil rekayasa yang menghalangi munculnya pasangan calon pesaing.Ketiga, perlu institusi tepercaya untuk memverifikasi proses lahirnya calon tunggal yang bersih dan memberikan keabsahan atas ”kebersihan” calon tunggal.
Bawaslu. Dalam penyelenggaraan pilkada serentak, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di bawah supervisi Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu tepat untuk tugas ini.Mengabsahkan calon tunggal tak berarti menyelesaikan proses pilkada. Proses ini harus berlanjut dengan kampanye. Langkah ini penting untuk mengenalkan calon tunggal kepada publik.Kelima, meski tanpa pesaing, pemberian suara seyogianya dilakukan. Tujuannya bukan membatalkan keabsahan keterpilihan calon tunggal, melainkan menyatakan tingkat keabsahannya di hadapan pemilih (rakyat). Belum tentu calon tunggal didukung mayoritas mutlak pemilih.
Keenam, peluang calon tunggal menjadi pemimpin pemerintahan daerah yang anti demokrasi harus dicegah dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang membatasi dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah.Ketujuh, langkah fundamental lain terkait pembaruan sumber-sumber rekrutmen kepemimpinan publik. Masyarakat adalah sumber rekrutmen untuk calon independen. Kegagalan parpol menyediakan kader-kader kepemimpinan pemerintahan merupakan kesalahan fatal yang tak tertoleransi dan, karena itu, harus ada sanksi berat.
Terakhir, perppu tentang calon tunggal dengan alasan darurat hak-hak politik warga negara dan kandungan substansi demokratisasi calon tunggal mendesak dilahirkan sebagai penyelesaian masalah yang menyeluruh dan final untuk tegaknya keadilan warga negara.
Tommi A Legowo, Pendiri dan Peneliti Senior Formappi (Sumber : Kompas, September5,2015)