Pilkada
Serentak Bisa Menghemat Anggaran Hingga
7 Triliun
Penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat
memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya
rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan
publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan
pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.”Biaya
pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100
miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun.
Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Lebih hemat dan
hanya sekian persen dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai oleh
APBN, bukan oleh APBD,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, Minggu (2/9)
di Jakarta.
Studi
yang dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah menemukan, pembiayaan pilkada melalui
APBD memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan
politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat
posisi tawar politiknya. Terkait politisasi anggaran, saat tahap pilkada mulai
berjalan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan anggaran
penyelenggaraan pilkada. Alasannya antara lain daerah tidak memiliki anggaran
tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah yang belum
menetapkan APBD untuk tahapan pilkada.
Tidak
sinkronnya tahapan pilkada dengan mekanisme penganggaran daerah berimplikasi
pada lemahnya proses pengawasan pilkada. Semua ini juga terkait masih banyaknya
permasalahan dengan regulasi pelaksanaan pilkada. Karena itu, Seknas Fitra
merekomendasikan agar pembiayaan pilkada diambil dari APBN untuk menghindari
tumpang-tindih pembiayaan.
Tiga masalah. Wakil Direktur
Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Veri Junaidi menyatakan,
berdasar pengalaman penyelenggaraan pilkada sejak tahun 2005, setidaknya
terdapat tiga masalah pencalonan pasangan kepala daerah dalam proses
penyelenggaraan pilkada.
Pertama, terjadi
politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon kepada
partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang
pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu”
tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye.
Kedua, terjadi ketegangan dan
bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam
mengajukan pasangan calon. Akibatnya, parpol menjadi lemah sehingga mereka
gagal memperjuangkan kepentingan anggota.
Ketiga, pencalonan yang
hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat karena calon
yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini menyebabkan
masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih menurun. Di
lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa menimbulkan
konflik terbuka.
Pemilihan
gubernur melalui DPRD, menurut Yuna Farhan, tetap bisa dilaksanakan secara
langsung dan serentak dengan pemilihan anggota DPRD provinsi agar menghemat
biaya dan lebih efisien. (Sumber: Kompas.com,LOK)
No comments:
Post a Comment