Kotak Pandora Sengketa Pilkada
Oleh : Titi
Anggraini
Tahapan pencalonan salah satu tahapan paling krusial dalam pilkada. Bukan saja tahapan ini menjadi pintu masuk yang menentukan apakah pasangan calon (paslon) bisa berkompetisi dalam pilkada atau tidak, melainkan juga sepanjang perjalanan pilkada tahapan inilah yang paling banyak membuahkan sengketa. Sengketa yang kadang tak cukup hanya berakhir di tingkat pengawas pilkada, tapi berujung pula sampai ke perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi. Ada dua sengketa yang bisa terjadi saat penyelenggaraan tahapan pilkada atau dikenal sebagai sengketa pemilihan. Meliputi sengketa antarpeserta pemilihan dan sengketa antara peserta pemilihan dan penyelenggara pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota. Selain sengketa pemilihan, ada juga yang disebut dengan sengketa tata usaha negara (TUN) pemilihan dan sengketa hasil pemilihan.
Pasal 143 ayat (1) UU No 1 Tahun 2015 menyatakan hanya Bawaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota berwenang menyelesaikan sengketa pemilihan. Bawaslu RI tidak diberi kewenangan oleh UU untuk menyelesaikan sengketa pemilihan. UU juga mengatur bahwa keputusan Bawaslu provinsi dan keputusan Panwaslu kabupaten/ kota mengenai penyelesaian sengketa pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat. Selanjutnya Fatwa Mahkamah Agung No 115/Tuaka. TUN/V/2015 menyebutkan keputusan pengawas pilkada memiliki kekuatan eksekutorial dan hanya keputusan KPU provinsi/kabupaten/kota yang merugikan paslon pilkada yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Mahkamah Agung juga menekankan bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/ kota tidak bisa mengajukan sengketa TUN pemilihan ke PTTUN. Artinya, hanya calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bisa banding atas keputusan penyelesaian sengketa oleh pengawas pilkada. Sebaliknya, KPU dan jajaran tidak bisa menempuh upaya hukum banding atas keputusan yang dikeluarkan pengawas. Dan, kewenangan pengawas ini sudah mulai menebarkan pengaruhnya. Panwaslu Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, meminta KPU setempat menerima berkas pancalonan pasangan Ismet Mile-Ishak Liputo yang sebelumnya ditolak. Panwaslu Ketapang, Kalimantan Barat juga mengabulkan seluruh tuntutan Henrikus- Gusti Kamboja untuk diterima pendaftarannya sebagai paslon. Hal yang sama juga dilakukan Panwaslu Gowa, Sulawesi Selatan, kepada pasangan Djaman-Ta.
Surat Edaran Bawaslu. Selusur punya telusur, keputusan Panwaslu ternyata tidak lepas dari ada Surat Edaran Bawaslu RI pada11 Agustus 2015. Surat edaran (SE) dibuat Bawaslu sebagai pedoman bagi Bawaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota dalam pengambilan keputusan terhadap pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada. SE tersebut berisikan tiga substansi penting. Pertama, terhadap objek sengketa penolakan pendaftaran paslon, apabila paslon ditolak karena terlambat menyerahkan dokumen pendaftaran, Bawaslu memandang sepanjang penyerahan berkas pendaftaran calon tersebut tidak melewati pukul 24.00 waktu setempat pada 28 Juli 2015, keputusannya adalah meminta kepada KPU untuk menerima pendaftaran paslon tersebut untuk selanjutnya dilakukan verifikasi tanpa harus menunda tahapan penetapan paslon.
Kedua, untuk pencalonan yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang kepengurusannya masih bersengketa (Golkar dan PPP) ditolak karena tidak dapat menyerahkan secara lengkap dokumen persyaratan pada masa pendaftaran, Bawaslu memutuskan agar pengawas meminta kepada KPU untuk menerima paslon tersebut untuk selanjutnya dilakukan verifikasi dengan syarat masing-masing pengurus yang masih bersengketa mendaftarkan atau mendukung paslon yang sama, serta semua dokumen pendaftaran calon yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan harus sudah tersedia pada saat musyawarah sengketa. Ketiga, dalam menangani setiap pelanggaran dan/atau sengketa pemilihan Panwaslu kabupaten/kota wajib berkonsultasi kepada Bawaslu provinsi dan Bawaslu provinsi melaporkan kepada Bawaslu RI. Jika dikaji mendalam, SE Bawaslu ini bisa menjadi kotak pandora penyelenggaraan pilkada yang bila tidak disikapi bijaksana riskan menimbulkan kekisruhan hukum baru.
Sesuai prinsip hukum
administrasi negara, keputusan KPU sejatinya bisa dipersoalkan kalau keputusan
itu bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku (asas
legalitas) dan/atau keputusan itu bertentangan dengan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB). AUPB menurut penjelasan Pasal 3 UU No 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggara negara,
kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan
akuntabilitas. Dalam pandangan penulis, pokok pertama dan pokok kedua yang
dipersoalkan dalam SE Bawaslu sama sekali tidak memenuhi unsur melanggar asas
legalitas maupun AUPB. Penolakan KPU daerah atas pendaftaran paslon sebagaimana
dimaksud di atas didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Soal keterlambatan
penyerahan berkas, Pasal 37 ayat (4) Peraturan KPU No 9 Tahun 2015 tentang
Pencalonan menyebutkan ”Pendaftaran Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan paling lambat pukul 16.00 waktu setempat.” Dengan begitu,
benar kalau KPU daerah menolak pendaftaran calon di atas pukul 16.00 waktu
setempat. Logika yang sama juga berlaku terkait penyerahan dokumen persyaratan
paslon yang diusung partai bersengketa karena Peraturan KPU No 12 Tahun 2015
memerintahkan agar paslon yang diusung parpol melengkapi dokumen pada saat
pendaftaran paslon. Sampai penerbitan SE Bawaslu maupun keluarnya keputusan
Panwaslu Bone, Gowa, dan Ketapang, belum ada pembatalan keberlakuan pasal-pasal
tersebut. Ketentuan tersebut sah dan wajib ditaati oleh KPU daerah dan semua
pihak. Karena KPU adalah penerima wewenang atribusi dari UU Pilkada dalam
menyusun peraturan teknis penyelenggaraan pilkada.
Kalau Bawaslu ingin
mengoreksi Peraturan KPU, mediumnya bukan melalui mekanisme penyelesaian
sengketa pilkada, melainkan melalui proses uji materi (judicial review) ke
Mahkamah Agung. Bawaslu juga bisa menyarankan KPU merevisi peraturannya saat
KPU melakukan uji publik pembahasan Rancangan Peraturan KPU tentang Pencalonan
yang juga melibatkan Bawaslu. Jika ada upaya korektif atas materi muatan
Peraturan KPU, sebagai sesama penyelenggara, Bawaslu bisa melakukannya sejak
awal dan bukan ketika proses musyawarah penyelesaian sengketa.
Iktikad Baik. Bisa
dipahami bahwa Bawaslu punya iktikad baik untuk memberikan kesempatan lebih
luas kepada para calon yang ditolak KPU. Namun, Bawaslu juga tidak
boleh mengabaikan asas pilkada soal keadilan perlakuan. Keputusan Bawaslu ini
bisa diartikan tidak adil kepada parpol dan paslon yang sudah mengikuti semua
prosedur dan ketentuan yang ada. Lagipula, ketentuan tersebut juga telah disosialisasikan KPU kepada
para pemangku kepentingan sebelum dibukanya masa pendaftaran. Mestinya
parpol dan paslon taat pada seluruh prosedur dan ketentuan administrasi yang
berlaku. Jika ada yang dianggap salah atau bertentangan, upaya koreksi dan
keberatan itu bisa diproses lebih awal.
Semakin
runyam, ternyata ada perbedaan cara pandang antara SE Bawaslu dan pengawas di
daerah. Bawaslu Sumatera Barat, Senin (10/8) melaporkan Panwaslu dan KPU
Dharmasraya ke DKPP karena dugaan pelanggaran ketetapan waktu penutupan
pendaftaran calon. KPU menetapkan batas pendaftaran berakhir pada pukul 16.00
WIB pada 28 Juli 2015, tetapi prosesnya tidak ditutup saat waktu sudah
berakhir. KPU tetap menerima syarat pencalonan melewati waktu yang
ditentukan dengan alasan direkomendasikan oleh Panwaslu. Keberadaan SE Bawaslu juga membuat proses penyelesaian
sengketa di daerah menjadi siasia. Hasil keputusannya sudah ditentukan secara
spesifik oleh Bawaslu. Bisa dikatakan proses yang akan dilalui para pihak
hanyalah seremonial karena hasilnya sudah bisa diprediksi akan seperti apa.
Tertib Hukum Pilkada. Konon pemilihan yang demokratis akan terwujud manakala
proses atau tahapannya bisa diprediksi dengan tepat, sedangkan hasil
pemilihannya sama sekali tidak bisa diprediksi (predictable process,
unpredictable result). Jika kemudian proses atau tahapan pilkada bisa diubah
sedemikian rupa tanpa kepastian rujukan, sangat potensial melahirkan kisruh dan
ketidakpastian hukum. Iktikad
baik saja tidak cukup. Iktikad baik harus pula disokong oleh dasar hukum yang
kuat. UU jelas menyebut bahwa penyelenggara dalam menyelenggarakan pilkada
adalah bekerja berdasarkan hukum. Ke depan relasi koreksi antara KPU dan
Bawaslu harus diperbaiki sedemikian rupa.
Tidak perlu terjadi lagi koreksi atas Peraturan
KPU dilakukan melalui penyelesaian sengketa pemilihan. Tertib hukum harus
ditegakkan, bukan karena kita tidak setuju hukum progresif ataupun keadilan
substantif, semata karena pemilu dan pilkada adalah proses perebutan kekuasaan
secara konstitusional. Keputusan
yang diambil tanpa dasar hukum yang kuat hanya akan melahirkan kisruh dan
kegaduhan hukum baru, dan itu harus dihindari.
Titi Anggraini. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem) Sumber : Koran
Sindo, 22 Agustus 2015