Selisih
Suara dan Keadilan Pemilu
Oleh Fadli Ramadhanil
Thomas
Meyer dalam karyanya yang berjudul Democracy: An Introduction for Democratic
Parties (2002) mengatakan, demokrasi tidak hanya prosedur dalam mengambil
keputusan. Demokrasi adalah suatu sistem nilai. Alasan hampir semua negara
memilih sistem demokrasi adalah untuk membangun sistem politik yang berdasarkan
pada prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk semua orang.
Meski
demikian, demokrasi bisa tergelincir jika hanya digunakan sebagai alat legitimasi
keputusan suara terbanyak dan pada ujungnya mengarah pada hasil yang dapat
melanggar martabat dan nilai-nilai individu atau bahkan banyak orang. Oleh
sebab itu, demokrasi perlu dilengkapi dengan sebuah sistem hukum. Menyambung
apa yang disampaikan Meyer, sistem hukum dalam sebuah demokrasi, terutama
pemilu, bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam pemilu. Dalam konteks
pemilihan kepala daerah, pemilih, penyelenggara pilkada, dan peserta pilkada
(pasangan calon) adalah aktor utama yang mesti dilindungi sistem hukum. Hal ini
untuk mendapatkan keadilan dalam sebuah pemilihan kepala daerah. Sejak Pilkada
2015, ambang batas selisih suara sebagai syarat untuk dapat mengajukan
permohonan perselisihan hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sebuah
anomali.
Ruang
persidangan yang disediakan di MK untuk pencari keadilan adalah untuk menguji
apakah proses dan hasil demokrasi bernama pemilihan kepala daerah sudah sesuai
dengan prinsip, asas, dan aturan main yang sudah disepakati. Alasan utama
meletakkan fungsi penyelesaian hasil pemilihan pemilu atau pilkada di MK adalah
karena MK merupakan lembaga yang diberi mandat oleh UUD 1945 sebagai pelindung
hak konstitusional warga negara.
Dalam
konteks pilkada, perlindungan hak konstitusional warga negara dalam menunaikan
hak pilihnya merupakan aspek yang wajib dilindungi MK. Pada titik ini, kekakuan
MK dalam melaksanakan ketentuan ambang batas selisih suara di dalam Pasal 158
UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah perlu ditinjau kembali.
Pintu masuk penentuan
Pengalaman
penyelesaian perselisihan hasil Pilkada 2015, ambang batas selisih suara
dijadikan MK sebagai pintu masuk satu-satunya untuk menentukan apakah suatu
permohonan perselisihan hasil pilkada dapat diperiksa lebih lanjut di tingkat
pembuktian atau tidak. Artinya, setiap permohonan yang masuk akan diteliti
terlebih dahulu apakah syarat ambang batas selisih suara 0,5 persen-2 persen
terpenuhi atau tidak. Intinya, MK hendak memastikan apakah selisih suara yang
tipis antara pemenang pemilihan yang ditetapkan KPU dan pasangan calon yang
kalah sesuai dengan syarat selisih suara dalam Pasal 158 UU No 8/2015.
Jika
selisih suara antara pasangan calon yang menang dan pasangan calon yang kalah
sebagaimana keputusan KPU di luar ketentuan Pasal 158 UU No 8/2015, MK akan
langsung memutus permohonan itu tidak dapat diterima. Praktik inilah yang
dirasa menjauhkan tujuan awal perselisihan hasil pilkada di MK, yakni
mewujudkan keadilan pemilu.
Pertama,
langkah MK menyatakan permohonan perselisihan hasil pilkada tak dapat diterima
berdasarkan keputusan KPU tentang penetapan hasil pilkada merupakan cara tak
fair jika dilihat dari sudut pandang peradilan. Hal ini karena keputusan KPU
tentang penetapan hasil pilkada merupakan obyek sengketa yang dipersoalkan pemohon
perselisihan hasil pilkada. Dalam mengajukan permohonan sengketa, setiap
pemohon pada galibnya akan menguraikan alasan permohonan disertai bukti yang
mengatakan ada persoalan dari hasil pilkada yang ditetapkan oleh KPU.
Hal
itu menjadi tidak adil bagi pemohon sebagai salah satu pihak yang bersengketa
di MK ketika alasan permohonan dan bukti yang diajukan sama sekali tidak
diperiksa dan dinilai oleh MK karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara
sebagaimana diatur di dalam Pasal 158 UU No 8/2015.
Sebaliknya,
MK serta-merta menyatakan permohonan tidak dapat diterima, berangkat dari hasil
pemilihan kepala daerah yang ditetapkan oleh KPU, yang juga merupakan salah
satu pihak dalam persidangan di MK. Apalagi, keputusan KPU tentang penetapan
hasil pilkada tersebut adalah obyek sengketa utama yang dipersoalkan oleh
setiap pemohon dalam perselisihan hasil pilkada di MK.
Langkah
MK
Kedua,
langkah MK dengan tidak memeriksa alasan permohonan dan bukti awal yang
diajukan pemohon akan membuat MK tidak mungkin menjawab dan menyelesaikan
pertanyaan, bagaimana jika hasil pilkada yang ditetapkan oleh KPU yang di luar
ambang batas selisih suara seperti diatur di dalam Pasal 158 UU No 8/2015
berasal dari rangkaian proses yang tidak sesuai dengan prinsip, asas, dan
aturan main pilkada? Bukankah peran hakiki MK adalah untuk menyelamatkan setiap
hak konstitusional pemilih agar tidak dipimpin oleh kepala daerah yang terpilih
dari sebuah proses demokrasi yang penuh dengan praktik lancung?
Melindungi
MK dari arus deras permohonan perselisihan pilkada dari pasangan calon yang
”coba-coba” tentu menjadi keniscayaan. Namun, menjadikan penetapan hasil pilkada
oleh KPU sebagai rujukan utama dan kemudian tidak memeriksa alasan permohonan
dan bukti pemohon karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara adalah
praktik yang juga tidak bisa dibenarkan.
Menghadapi
hal ini, MK mestinya bisa memaksimalkan proses pemeriksaan pendahuluan dalam
rangkaian hukum acara perselisihan hasil pilkada. Dalam tahapan pemeriksaan
pendahuluan, supporting system dan hakim MK mesti bekerja keras untuk tidak
hanya memeriksa selisih suara, tetapi juga dalil permohonan dan bukti awal yang
disampaikan pemohon perselisihan hasil pilkada.
Dengan
demikian, MK akan mempunyai pertimbangan hukum utuh untuk memutuskan apakah
suatu permohonan mesti dinyatakan tidak dapat diterima atau dapat dilanjutkan
pemeriksaannya ke tingkat pembuktian. Dengan langkah ini, akan terbuka kemungkinan MK memeriksa suatu
permohonan ke tingkat pembuktian dengan ambang batas selisih suara yang
melewati prasyarat, tetapi terdapat dalil permohonan dan bukti kuat yang disampaikan
oleh pemohon.
Sebaliknya,
jika memang permohonan itu tidak memiliki alasan permohonan yang kuat dan
mendalam, bukti pun tidak memadai, sudah selayaknya MK menyatakan permohonan
tersebut tidak dapat diterima. Namun, untuk sampai ke kesimpulan tersebut, MK
mesti memeriksa alasan permohonan dan bukti awal yang disampaikan pemohon. Fungsi
utama MK adalah menjaga konstitusi dan melindungi demokrasi. Atas fungsi itu
jualah, mekanisme perselisihan hasil pilkada ”ditumpangkan” di pundak
kelembagaan MK. Oleh sebab itu, melindungi hak konstitusional warga negara dan
mewujudkan keadilan pemilu adalah tugas mulia yang harus terus dirawat oleh MK.
Fadli
Ramadhanil Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Sumber : Harian Kompas, 14 Maret 2017