Oleh
harmen batubara
Kalau
soal Nama, semua orang sudah tahu dengan istilah Apalah arti sebuah Nama. Tapi
soal Angka? Semua orang juga tahu ada Angka 13 sebagai symbol angka sial. Di
jalan komplek perumahan yang saya tinggali, tidak ada angka 13 nya. Pa Pos sih
sudah lama tahu soal tidak adanya nomor itu. Warga nggak mau memakainya. Buat
Pilkada DKI beda lagi. Dua kali pemilu belakangan ini, pemilik Nomor Satu
selalu kalah. Pasangan calon yang merasakan kutukan nomor urut satu untuk kali
pertama adalah pasangan Adang Darajatun-Dani Anwar[1]
yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera. Saat itu, Adang-Dani yang tak
menghadiri acara pengundian nomor urut di KPU DKI Jakarta mendapat nomor urut
satu setelah pesaingnya, pasangan Fauzi Bowo-Prijanto mendapat nomor urut dua
ketika mengambil undian nomor.
Peristiwa
itu sempat memicu sedikit kericuhan karena sebagian pendukung Foke-Prijanto
memprotes ketidakhadiran Adang-Dani. Mereka meminta KPU DKI Jakarta menyerahkan
nomor urut satu kepada Foke-Prijanto dengan alasan bentuk penghormatan atas
kehadiran pasangan tersebut. Protes dan permintaan para pendukung Foke-Prijanto
sebenarnya dapat dipahami mengingat nomor satu kerap diasosiasikan dengan
segala hal yang berbau positif. Oleh sebagian masyarakat, nomor satu lazim
diyakini sebagai nomor pembawa keberuntungan atau simbol kemenangan. Hal inilah
yang kemungkinan juga diyakini para pendukung Foke-Prijanto kala itu. Namun,
KPU DKI Jakarta yang saat itu diketuai oleh Juri Ardiantoro, menolak permintaan
kubu Foke.
Tak
ada yang bisa menebak apa hasilnya jika KPU DKI Jakarta mengabulkan permintaan
pendukung Foke-Prijanto. Yang pasti, kemenangan Foke-Prijanto saat itu diraih
saat statusnya sebagai pasangan nomor urut dua. Foke-Prijanto yang diusung oleh
sejumlah partai besar seperti PPP, Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, PKB, dan PAN berhasil meraih 2.109.511 suara atau 57,87 persen dari
total pemilih. Sedangkan, pasangan Adang-Dani yang didukung Partai Keadilan
Sejahtera mendulang 1.535.555 suara atau 42,13 persen.
Meski
demikian, harus diakui dan ini yang dikatakan oleh para pengamata waktu itu, bahwa
kekalahan Adang-Dani karena minimnya dukungan partai. Mereka hanya diusung oleh
PKS saja.
Sialnya Angka Satu di Pilkada
DKI
Selama
ini sebenarnya masyarakat kita selalu mengidolakan Nomor SATU ia bagai symbol Kecap
yang tidak punya nomor DUA. Tapi untuk Pilkada DKI Lain lagi. Faktanya nomor
urut satu kembali memakan korban di Pilkada Jakarta berikutnya di tahun 2012.
Kali ini korbannya justru calon petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan
Nachrowi Ramli. Ya waktu itu Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta,
Jumat, 11 Mei 2012 lalu, menetapkan enam pasangan calon gubernur. Secara
sederhana, pasangan petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, yang diusung Partai
Demokrat, akan berhadapan dengan lima pasang penantang. Para penantang itu
ialah Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang diusung Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini oleh Partai
Keadilan Sejahtera, Alex Noerdin-Nono Sampono oleh Partai Golkar, dan dua
pasangan independen, Faisal Basri-Biem Benyamin, serta Hendardji Soepandji-A.
Riza Patria.
Dalam
konstek persaingan waktu itu, banyaknya penantang justru memperkuat positioning
politik petahana, karena mengemukanya realitas persaingan antar-penantang. Para
penantang tentu punya kepentingan yang sama dalam membeberkan kampanye negatif
kepada lawan-lawan mereka, khususnya petahana. Mereka juga berhadapan dengan sesama
penantang, yang bisa jadi saling mengeluarkan jurus kampanye negatif satu sama
lain. Para penantang punya dua pesaing yang harus dihadapi, petahana dan para
penantang lain. Namun, karena ini pemilu langsung, semua pasangan harus mampu
tampil atraktif di depan calon pemilih. Jelas, dalam hal ini petahana punya
posisi yang lebih menguntungkan ketimbang yang lain. Dengan memaparkan
hasil-hasil pembangunan sebelumnya, terutama di sektor-sektor strategis, jelas
Petahana sangat memukau.
Dalam
pemilihan kepala daerah waktu itu, kubu petahana tampak tak mau kalah atraktif
dibanding para penantang. Salah satu kartu yang membuat publik berpikir ulang
untuk tidak berpindah dari petahana adalah pemaparan gagasan Mass Rapid
Transportation yang tampak visioner dan memang sangat ideal untuk Jakarta.
Petahana memang kelebihan “isu-isu visioner” pembangunan, yang sudah berjalan
dan tinggal melanjutkan. Karena itu, kampanye petahana sesungguhnya cukup
bertumpu pada tema misi Tugas Belum Usai atau Belum Tuntas, dan butuh satu
periode lagi untuk melanjutkan semuanya. Persepsi yang potensial berkembang
ialah hanya petahana yang bisa melanjutkan “gagasan-gagasan visioner” itu. Luar
biasa.Dari sisi penantang, tampak belum ada konsep yang begitu berbeda
dibanding tawaran-tawaran kubu petahana. Inilah yang menyebabkan kubu petahana
dikesankan lebih visioner. Dan karena itu, kunci untuk mengalahkan petahana
adalah dengan membeberkan kelemahan kepemimpinan petahana periode sebelumnya.
Kala
itu persaingan jelas tidak seimbang, Patahana jauh diatas angin. Karena sudah
memerintah satu periode, apalagi waktu itu Fauzi Bowo sebelumnya berpasangan
dengan Prijanto, tapi kemudian “pecah Kongsi”, makamudah sekali membeberkan
kelemahan kepemimpinan dan kebijakan petahana. Di sisi ini, masalah utama
petahana ialah soal kepercayaan publik. Sepertinya Petahana tidak bisa
mengoptimalkan wakilnya. Maka jadilah kelemahan ini sebagai sasaran tembak
serta dibumbui dengan Sikap bawaan Foke yang waktu itu selalu dipersonifikasi
sebagai “yang pintar sendiri” dengan sinisme dan Kurang Berempati.
Kubu
petahana memang lebih bertumpu pada potensi pemilih rasional, penikmat berbagai
kebijakan patahana, dan mapan. Mereka menyebutnya, bahwa perubahan tetap dalam
kesinambungan dan itu ternyata banyak disuka. Tapi, dalam hal kepercayaan
publik ditambah lagi persoalan karakter “sinis dan kurang berempati” terus di
tonjolkan, ternyata jadi mengemuka. Meski demikian, benteng pertahanan kubu
petahana tampak masih begitu kuat di tengah gerilya serbuan para penantang.
Walaupun popularitas petahana cenderung menurun, ia tertolong adanya realitas
persaingan antar-penantang dalam meraih yang terbaik. Banyaknya kubu penantang
membuat dinamika persaingan lebih seru. Jadi memang pilkada kali DKI waktu itu
semarak dan seru.
Hasilnya
sungguh mengejutkan, ternyata Petahana
yang demikian kuat dan dominan di segala lini serta didukung dana pencitraan
yang tiada habisnya dan mewakili warga asli Jakarte. Ternyata tidak mampu
mengalahkan Jokowi-Ahok. Pasangan pendatang baru, dua tokoh anak muda yang
sesungguhnya hanya biasa-biasa saja. Tetapi punya nyali luarbiasa. Tapi harus
diakui, orang sudah bosan dengan kepemimpinan tradisional, yang umumnya menebar
berbagai kemudahan dan kelebihan bagi para pengikutnya tetapi sangat arogan dan
tidak peduli pada masyarakat yang tersingkirkan. Pemimpin dari zaman yang
tumpul ke atas tapi sangat tajam ke bawah. Pemimpin yang cenderung “menganiaya”
warganya sendiri ditambah budaya Pungli yang ada di hamper semua Lini. Ternyata kalau jeli, petahana yang kuat
sekalipun bisa dikalahkan di kandangnya sendiri.
Kalau
pada tahun 2007 pasangan nomor urut satu Adang-Dani kalah, dan para pengamat mengatakan kalahnya Adang-Dani
karena minimnya dukungan Partai Politik, karena mereka hanya di dukung oleh PKS
saja. Tetapi kemudian pada tahun 2012, pasangan Patahana Foke- Nachrowi
Ramli dengan momor urut SATU yang juga mewakili warga Betawi serta diunsung
oleh banyak partai ternyata kalah juga. Kita percaya bahwa nomor ya tetaplah
sebuah nomor. Soal bagaimana suatu nomor itu bisa jadi pecundang atau pemenang,
tentu tidak lepas dari siapa si pemilik Nomoe tersebut.
[1] http://www.cnnindonesia.com/politik/20161025100800-32-167721/pilkada-jakarta-dan-kutukan-nomor-urut/