Calon Perseorangan dan Dilema Partai Politik
Opini Sri Budi Eko Wardani
Pasangan calon perseorangan sontak menjadi buah bibir
setelah DPR menyetujui Undang-Undang tentang Pemilihan kepala daerah yang baru
pada Sidang Paripurna DPR 2 Juni lalu.DPR dan Pemerintah memang tidak jadi
menaikkan persentase syarat dukungan pasangan calon perseorangan, yaitu tetap
antara 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih pada Daftar Pemilih
Tetap pemilu sebelumnya.
Tetapi DPR dan Pemerintah sepakat melakukan perbaikan
kualitas verifikasi faktual terhadap syarat dukungan tersebut dengan metode
sensus, atau dengan kata lain pasangan calon harus membuktikan klaim persentase
dukungan secara populasi. Syarat ini dianggap memberatkan pasangan calon non
partai. Karena jika selama masa verifikasi faktual (14 hari) tidak bisa
membuktikan keseluruhan klaim dukungan tersebut, pencalonannya dapat dibatalkan
KPU setempat. Inilah potensi persoalan baru pada pilkada serentak gelombang
kedua tahun 2017.
Pengaturan pasangan calon dari jalur non partai memang
mengundang perdebatan alot dalam pembahasan di Komisi II DPR RI. Isu yang ramai
waktu itu adalah persentase dukungan pasangan calon perseorangan yang memicu
munculnya tiga opsi yaitu dinaikkan, diturunkan, atau tetap. Opsi menaikkan
syarat dukungan sempat mengemuka dan didukung fraksi-fraksi. Mereka beralasan
agar setara dengan syarat pasangan calon dari jalur partai politik. Namun
publik umumnya menolak wacana tersebut, karena dinilai menghambat peluang calon
independen sebagai wujud partisipasi politik warga negara.
Akhirnya persentase dukungan diputuskan tetap seperti diatur
dalam UU Pilkada. Tak dinyana UU justru mengatur verifikasi faktual dengan
sanksi pembatalan pencalonan. DPR beralasan, cara sensus ini untuk menghindari
dukungan fiktif yang ditengarai kerap terjadi. Selain itu ada kesan bahwa DPR
kurang mempercayai cara verifikasi KPU dengan metode sampling yang dianggap
kurang akurat.
Kehadiran pasangan calon perseorangan dalam pemilihan umum
untuk memperebutkan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, secara
langsung telah menjadi keniscayaan dalam demokrasi di Indonesia. Peluang itu
dibuka melalui keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2007, yang mengabulkan
pengujian atas UU No 32 Tahun 2004, bahwa ruang yang sama bagi calon lain di
luar partai politik dalam pemilihan kepala daerah adalah konstitusional. Sejak
saat itu, warga negara yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada memiliki dua
alternatif, bisa melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik, dan
jalur non partai atau perseorangan.
Kedua jalur pencalonan itu memiliki syarat dukungan yang
berbeda. Jika melalui jalur partai politik, syarat dukungan mengacu pada
persentase perolehan suara partai dalam pemilu atau perolehan kursi partai di
DPRD. Calon yang memilih jalur partai politik tentu harus melakukan pendekatan
ke pimpinan partai-partai politik, dari tingkat daerah hingga pusat, untuk
memperoleh rekomendasi pencalonan seperti disyaratkan dalam UU dan PKPU.
Para bakal calon harus giat mencari restu para elit partai
termasuk siap dengan sejumlah besar dana untuk membiayai pencalonannya.
Sementara calon yang memilih jalur perseorangan harus turun ke masyarakat untuk
memperoleh dukungan nyata, yang ditunjukkan dengan bukti KTP dan tanda tangan
pada formulir dukungan. Para bakal calon independen harus giat blusukan dan
siap pula dengan modal dana. Jika dibandingkan, bakal calon dari jalur partai
politik harus lobi ke elit/pimpinan partai di daerah dan pusat untuk memastikan
tiket pencalonannya.
Sedangkan bakal calon perseorangan harus lobi ke warga untuk
memperoleh kepercayaan sehingga warga bersedia memberikan dukungan, dan
bersedia pula datang ke PPS guna verifikasi dukungan agar calonnya dapat
berlaga di pilkada.Berkaca pada pengalaman pilkada sejak 2008, calon
perseorangan dapat dikatakan sepi peminat, dan sangat sedikit yang berhasil
memenangkan pilkada. Beberapa yang berhasil menang seperti: Irwandi Yusuf
(Gubernur Aceh), Aceng Fikri (Bupati Garut), Christian Dillak (Bupati Rote
Ndoru), Arya Zulkarnain (Bupati Batubara).
Tetapi ada
kecenderungan tren peserta pilkada dari jalur perseorangan meningkat.
Pada pilkada serentak 2015, menurut survei SSI, ada 35 persen pasangan calon
dari jalur perseorangan, dan sebanyak 14 persen di antaranya berhasil menang. Gejala
tersebut tentu menjadi tantangan bagi partai politik yang semakin dihadapkan
pada tuntutan kaderisasi dan demokratisasi internal.
Dibalik pengaturan baru tentang calon perseorangan,
sebetulnya tercermin dilema partai politik menghadapi pilkada. Ada kekhawatiran
partai mengalami krisis kader untuk berlaga di pilkada. Salah satu sumber
potensial kader partai untuk pilkada adalah anggota DPR dan DPRD, tetapi mereka
harus mundur jika menjadi calon kepala daerah. Padahal anggota DPR atau DPRD
dianggap sebagai kader partai yang siap dari sisi modal jaringan dan terutama
dana.
Di sisi lain, para tokoh potensial yang bukan kader partai
sangat terbatas yang bersedia mengikuti penjaringan partai karena membutuhkan
dana besar dan lobi ke pimpinan tertinggi partai. Kondisi itu tentu saja
mempersempit ruang rekrutmen partai untuk pilkada.Fenomena relawan untuk
mendukung seseorang dalam pilkada yang ditemui di beberapa daerah menjadi
dilema lain bagi partai. Tentu yang fenomenal adalah di DKI Jakarta dengan
hadirnya kelompok relawan pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (Gubernur
DKI saat ini), yang kebetulan saat ini bukan lagi kader partai.
Partai pun dihadapkan pada realita bahwa kekuatan relawan yang
terorganisir potensial menjadi tantangan bagi konsolidasi partai-partai
politik. Buktinya hingga pertengahan tahun 2016 ini, partai-partai besar di DKI
masih sibuk menjaring bakal calon untuk pilkada 2017 mendatang. UU Pilkada yang
baru tinggal menunggu pengesahan Presiden RI dan dicatat pada Lembaran Negara.
KPU pun segera bersiap merevisi PKPU No. 9 tahun 2015 tentang Pencalonan untuk
mengakomodasi ketentuan baru.
Bagi yang tidak puas pun bersiap untuk mengajukan gugatan UU
Pilkada ke MK. Tetapi yang pasti, tahapan pilkada serentak terus bergulir, dan
setelah lebaran nanti jadwal pilkada di 110 daerah akan memasuki tahap penting
yaitu pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah.