Media
Sosial Dalam Kampanye Pilkada
Menyadari media sosial tak lagi bisa dipandang
sebelah mata, Komisi Pemilihan Umum mengatur penggunaan media sosial sebagai
sarana kampanye pemilihan kepala daerah serentak 2015. Calon kepala daerah pun
serius menggarap kampanye di linimasa. Mampukah kampanye di media sosial
membuat calon-calon kepala daerah mendulang suara pemilih?Mas'ud Ridwan, calon
Wakil Bupati Semarang, Jawa Tengah, tertawa saat ditanya tentang berapa dana
yang dikeluarkan tim kampanyenya untuk membayar tim khusus yang mengurusi
kampanye media sosial.
"Rahasia
itu, ha-ha-ha. Tentu jumlahnya lebih kecil dibanding dana buat rapat umum dan
rapat terbuka. Kampanye media sosial lebih murah," kata Mas'ud saat
dihubungi dari Jakarta, Selasa (22/9).Mas'ud yang mundur dari jabatannya
sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Semarang
lantaran maju bersama calon Bupati Nur Jatmiko memang berniat bertarung
habis-habisan. Dia berhadapan dengan Mundjirin, bupati petahana yang
berpasangan dengan Ngesti Nugraha, juga anggota DPRD Kabupaten Semarang."Saya
percaya kampanye di media sosial juga efektif dari sisi waktu dan biaya,
sepanjang bisa dikelola dengan baik," tutur Mas'ud.
Namun,
ia menambahkan, daya jangkau media sosial di Kabupaten Semarang masih terbatas.
Jangkauannya belum setinggi kota-kota besar di Indonesia yang penetrasi internetnya
sudah jauh lebih tinggi.Di Indonesia, pengguna media sosial memang terus
tumbuh. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2013 menunjukkan,
setidaknya ada 63 juta pengguna internet di Indonesia. Sebanyak 95 persen di
antaranya menggunakan internet untuk mengakses situs jejaring sosial. Oleh
karena itu, kemunculan ruang publik digital tersebut juga membuka kesempatan
bagi politisi untuk berkampanye.
Interaksi
multiarah. Douglas Hagar (2014) dalam Campaigning Online: Social Media in the
2010 Niagara Municipal Elections menuturkan, media sosial bisa berkontribusi
pada keberhasilan politik. Ini karena media sosial membuat kandidat dalam
sebuah pemilihan bisa berinteraksi dengan para calon pemilih dengan skala dan
intensitas yang tak bisa dicapai lewat pola kampanye tradisional seperti
kampanye dari pintu ke pintu, brosur, bahkan peliputan oleh media cetak dan
televisi.
Selain
itu, biaya kampanye media sosial juga jauh lebih murah karena tidak ada biaya
yang langsung diasosiasikan dengan media sosial semacam Facebook, Twitter, dan
Youtube.Media sosial juga unggul karena memberi kesempatan para calon pemilih
untuk berdialog dua arah dengan kandidat, tidak seperti model kampanye
tradisional yang cenderung searah, dari kandidat ke calon pemilih. Sifat
komunikasi politik antara kandidat dan calon pemilih bisa menjadi multiarah,
seperti dari kandidat ke pemilih, pemilih ke kandidat, atau antarpemilih.
Modal
komunikasi multiarah ini, menurut Tasente Tanase (2015) dalam The Electoral
Campaign through Social Media: A Case Study-2014 Presidential Election in
Romania, menjadi salah satu modal bagi kandidat untuk bisa meraih suara dalam
pemilihan. Tasente berargumen, peluang dukungan media sosial menjadi suara
dalam pemilihan lebih besar jika ada keterlibatan atau partisipasi aktif calon pemilih.
Partisipasi aktif ini tidak harus berlangsung di akun media sosial si kandidat.
Bisa saja pendukung kandidat itu menyebarluaskan materi kampanye dari akun
kandidat, tetapi dengan pesan yang dipersonalisasi lalu memancing perbincangan
dengan teman-temannya di dunia maya. Dengan kata lain, keaktifan itu lebih
penting dari banyaknya orang yang menjadi "pengikut" di akun media
sosial.
Tasente
juga mengatakan dukungan di dunia maya tidak berdiri sendiri. Tidak selalu
kesuksesan kampanye di media sosial otomatis membuat kandidat menang dalam
sebuah pemilihan. Kampanye di media sosial juga harus diikuti dengan
triangulasi metode kampanye. Artinya, kampanye media sosial yang gencar juga
harus diikuti kampanye tatap muka ataupun bentuk kampanye tradisional lainnya.
Ini karena penelitian di beberapa negara juga menunjukkan modal kampanye yang
besar justru mendominasi tingkat keterpilihan ketimbang media sosial.
Pengaturan
kampanye. Di Indonesia, penggunaan media sosial untuk kampanye bukan hal yang
benar-benar baru. Hanya saja, baru pada pemilihan kepala daerah serentak 2015,
Komisi Pemilihan Umum mengatur penggunaannya di dalam Peraturan Komisi
Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pilkada. PKPU itu
menyebutkan, tim sukses wajib mendaftarkan akun resmi di media sosial kepada
KPU daerah paling lambat sehari sebelum pelaksanaan kampanye. Selain itu,
diatur pula konten kampanye serta durasi kampanye di media sosial.
Pada
pemilihan kepala daerah serentak kali ini, Badan Pengawas Pemilihan Umum
(Bawaslu) mencatat sebanyak 26 persen dari 105 calon kepala daerah di 58
kabupaten dan kota dijadikan sample pengawasan menggunakan media sosial sebagai
sarana kampanye. Dari jumlah itu, sebanyak 57 persen menggunakan Facebook dan
27 persen menggunakan Twitter.
Ketua
Bawaslu Muhammad menuturkan, kesempatan kampanye media sosial bagi para calon
juga memberi tantangan bagi pengawas pemilihan umum. Ini karena panitia
pengawas juga punya keterbatasan dalam menertibkan secara langsung akun media
sosial.Untuk itu, kata Muhammad, pihaknya menggandeng lembaga negara terkait
yang berhubungan dengan media secara umum dan jurnalisme khususnya."Sosialisasi
aturan sudah dilakukan lebih awal sehingga partai politik, pasangan calon, dan
tim sukses juga berupaya secara serius mengikuti aturan itu (kampanye di media
sosial). Akan menjadi lebih tertib," kata Muhammad.
Kampanye
media sosial juga membuka peluang/potensi munculnya konsultan-konsultan media
sosial yang menggerakkan pasangan calon.Mengenai hal itu, Komisioner KPU Hadar
Nafis Gumay mengaku belum ada pengaturan khusus. Hanya saja, jika
konsultan-konsultan media sosial masuk dalam tim kampanye atau jasa konsultasi
itu bagian dari lembaga survei, mereka harus mendaftar ke KPU.
Langkah
KPU mengatur kampanye media sosial ini harus diapresiasi, tetapi penyelenggara
pemilu juga harus responsif menghadapi perubahan di linimasa. Ini dimaksudkan
agar mereka tidak keteteran menghadapi kampanye model baru.Tentu ada syaratnya.
Mereka pun harus melek media sosial. Persoalannya, apakah syarat itu sudah
terpenuhi? Atau, jangan-jangan masih ada yang tak punya akun media sosial? (Sumber
:Antony Lee, Kompas.com, Media Sosial Makin Jadi Primadona Kampanye Pilkada
tanggal 25 September 2015)
No comments:
Post a Comment