November 13, 2017

E-Pilkades Untuk Gresik yang Lebih Baik



Oleh Adi Sucipto Kisswara   

Kabupaten Gresik, Jawa Timur, kini mulai menerapkan e-pilkades. Teknologi informasi ini membuat risiko kecurangan makin kecil. Dengan e-pilkades, pelaksanaan pemilihan kepala desa pun lebih aman dari manipulasi. Warga hanya bisa memilih sekali karena sudah tercatatdi sistem digital. Pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak di Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Minggu (29/10), dilakukan dengan sistem e-pilkades. Ada lima dari 19 desa yang sudah menerapkan e-pilkades di Gresik. E-pilkades adalah aplikasi digital untuk mengenali pemilih. Sistem aplikasi itu mencegah terjadinya kecurangan, terutama menghindari pemilih mencoblos lebih dari satu kali. E-pilkades juga bisa menyaring warga yang tidak memiliki hak pilih. Pelaksanaan pemilihan kepala desa dengan menggunakan e-pilkades sudah dimulai pada hari Minggu (29/10). Dari 19 desa yang punya hajatan menggelar pilkades serentak, lima di antaranya sudah menjajal e-pilkades.


Bupati Gresik Sambari Halim Radianto mengatakan, lima desa itu ialah Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom; Desa Tulung, Kecamatan Kedamean; Desa Daun, Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean; Desa Panjunan dan Desa Kandangan, Kecamatan Duduksampean.Dalam pemilihan itu setiap warga yang mempunyai hak pilih harus menempelkan sidik jari ke mesin pemindai (scanner) yang terhubung dengan perangkat komputer.

Mesin pemindai itu akan mengenali pemilik hak suara. Warga dari luar desa, atau yang tak memiliki hak pilih, tidak akan terbaca sistem. Pemindai itu juga membuat warga hanya bisa memilih satu kali, karena mesin akan menandai warga yang sudah menggunakan hak pilih. Data pemilih juga lebih akurat, karena data berbasis pada kartu tanda penduduk elektronik yang sudah dilakukan pembersihan data sehingga terhindar dari data ganda. Sebelum masuk proses e-pilkades, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Gresik memang telah melakukan pembersihan data penduduk. Hal itu dilakukan untuk memvalidasi data ganda atau data penduduk yang tidak terbaca.

Hanya saja, saat pemungutan suara, antrean lebih lama karena pemindai yang digunakan tak langsung bisa mengenali sidik jadi pemilik hak suara. Di Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, misalnya, ada warga yang butuh waktu lama untuk dideteksi sidik jarinya. Akibatnya warga di belakangnya tidak sabar mengantre. Mereka berdesakan dan saling dorong. Akhirnya sebagian warga pun dicatat manual. Dalam e-pilkades ini warga dua kali dibaca sidik jarinya, yakni sebelum memilih dan setelah menggunakan hak pilihnya. Dalam kasus di Kepuhlagen, satu pemilih harus menempelkan jarinya beberapa kali ke perangkat pemindai sampai bisa terbaca. Ternyata, saat dicek, pemantau sidik jari sulit membaca sidik jari pemilih karena terkena keringat dan kotor. Akibatnya dalam satu jam mesin baru bisa memindai 100 orang. Sistem aplikasi e-pilkades menggunakan sidik jari itu, tambah Sambari, akan terus dievaluasi dan dibenahi.

Tren digital

Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman, saat meninjau pelaksanaan e-pilkades di Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Minggu (29/10), menyatakan, tren penyelenggaraan pemilu di banyak negara ke depan tidak lagi manual. Digitalisasi diterapkan mulai dari logistik, data pemilih, sumber daya, hingga pemungutan suara, dan rekapitulasi. Di Indonesia, pemutakhiran data pemilih pada 2004 dan rekapitulasi suara pada Pemilihan Umum 2014 sudah mulai masuk proses digitalisasi. “Pada 2014, data digital bisa diakses siapa pun melalui e-rekap. Bahkan, pada pelaksanaan Pilkada DKI lalu, rekapitulasi digital bisa diakses 1×24 jam pasca-pemungutan,” kata Arief.



Proses digitalisasi pemilihan juga diterapkan di pilkades hingga pilkada. Digitalisasi dimulai di beberapa desa atau kecamatan. Salah satu daerah yang melakukan terobosan e-voting atau pemungutan suara elektronik adalah Bali. Di Gresik, program aplikasi e-pilkades sementara hanya digunakan untuk mengecek data pemilih secara digital. Pengecekan itu dilakukan saat sebelum memilih (in) dan seusai memilih (out) dengan deteksi sidik jari. “Satu orang tidak bisa mencoblos dua kali karena jika sudah mencoblos, sistem akan menyimpan bahwa pemilih sudah mencoblos. Warga lain juga tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena sidik jarinya tidak terbaca sistem,” ujar Arief.
Menurut Arief, ke depan aplikasi bisa diintegrasikan dengan pemungutan, perhitungan, hingga rekapitulasi. Tetapi, tidaklah mudah beralih dari manual ke digital. Arief menambahkan, perlu kesiapan biaya, teknologi, dan sumber daya. Tuntutan digitalisasi butuh anggaran yang cukup. Listrik mati atau sistem error juga harus diantisipasi. Mengubah kultur manual ke digital lebih sulit lagi. Kemudahan teknologi dalam pemilihan berpotensi ditolak. Ke depan bisa jadi pemilih tinggal klik gawai di rumah tahu hasilnya. Tetapi, kultur guyub masyarakat, termasuk dalam merayakan kemenangan, sulit diubah.
Arief memaparkan, saat ini, negara lain kagum dengan pola demokrasi dan pemilihan di Indonesia yang begitu terbuka dan melibatkan banyak orang. Karena itu, ke depan perlu dikombinasikan cara pemilu yang cermat, akurat, dan tepat. “Penggunaan teknologi informasi penting, tetapi kultur masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Model yang pas perlu dilihat perkembangannya,” katanya. Arief sempat menguji e-pilkades. Saat Arief mencoba aplikasi e-pilkades, datanya tidak muncul. Pemutakhiran data pemilih serta pemanggilan pemilih berbasis TI, menurut dia, menjadi inovasi besar. Kini tinggal perbaikan serta penambahan agar e-pilkades bisa lebih baik dan terhubung dengan pemungutan dan penghitungan suara.


Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali menyambut baik inovasi di Gresik yang telah memulai pemilihan digital. “Ke depan, proses pemilihan termasuk pemilihan umum akan beralih dari sistem manual ke sistem digital. Di luar negeri pemilu sudah memaksimalkan teknologi digital,” katanya. Terobosan daerah, termasuk Gresik, juga akan disampaikan dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan KPU agar nantinya digitalisasi pemilihan bisa didukung pemerintah pusat ( Sumber : Kompas, 13 November 2017)