Pilkada Calon Tunggal
Oleh Khairul Fahmi
Sampai batas akhir perpanjangan
pendaftaran pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah, sembilan dari 269
daerah yang akan menyelenggarakan pilkada hanya diikuti calon tunggal. Kondisi
ini memantik silang pendapat ihwal bagaimana menyikapinya. Opsi yang tersedia,
menunda pilkada hingga tahun 2017 sebagaimana diatur KPU atau tetap
melaksanakan pilkada dengan calon tunggal. Dua
pilihan tersebut sama-sama tak memiliki landasan hukum yang kuat. Sekalipun
opsi menunda pilkada telah dimuat dalam peraturan KPU, hal itu sesungguhnya
masih bermasalah secara hukum karena UU Pilkada tidak mengatur demikian. Begitu
juga pilihan melaksanakan pilkada dengan calon tunggal, UU Pilkada pun tak
mengaturnya. Kondisi tersebut sesungguhnya menuntut hadirnya produk hukum darurat
guna mewadahi penyelesaian masalah yang ada.
Pemerintah
memang telah menginisiasi lahirnya peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).
Saat yang sama, KPU dan Bawaslu juga telah memberi sinyal perlunya pemerintah
segera menerbitkan perppu. Hanya saja, sampai saat ini produk hukum darurat itu
belum muncul. Salah satu soal yang menghambat, belum tuntasnya pilihan sikap
dan kebijakan yang nantinya akan diintroduksi ke dalam perppu.
Tunda
atau lanjut. Opsi
menunda pilkada hingga tahun 2017 kiranya perlu ditinjau kembali. Segala dampak
hukum dan kerugian yang akan timbul akibat penundaan haruslah dipertimbangkan
matang. Setidaknya, enam catatan berikut dapat mengonfirmasi sisi lemah
kebijakan penundaan pilkada dengan calon tunggal.
Pertama, UU Pilkada tegas menentukan limitasi waktu penundaan tahapan
pencalonan jika hanya ada satu pasangan calon, yaitu tiga hari. Apabila
limitasi tersebut dipelajari lebih jauh, ketentuan maksimal perpanjangan waktu
menghendaki agar penyelenggara pilkada sudah harus menetapkan pasangan calon
ketika batas waktu dilampaui. Dengan demikian, berakhirnya batas waktu akan
linear dengan munculnya kewajiban hukum KPU untuk menetapkan pasangan calon,
sekalipun hanya satu pasangan.
Kedua,
UU Pilkada juga mengatur, pemilihan hanya dapat ditunda apabila terjadi
kegagalan dalam melaksanakan proses pemilihan di daerah atau bagian daerah yang
melangsungkan pilkada. Secara a contrario dipahami, selain ihwal gagalnya
pelaksanaan pemilihan, tidak ada kondisi lainnya yang dapat dijadikan dasar
penundaan pilkada, termasuk calon tunggal.
Ketiga,
Pasal 201 UU Pilkada tegas menentukan, bagi daerah yang masa jabatan kepala
daerahnya berakhir pada 2015 dan Januari hingga Juni 2016, pemilihan
dilaksanakan pada Desember 2015, bukan 2017. Norma tersebut secara tegas
menutup ruang diundurnya pilkada bagi daerah yang jatuh tempo pada 2015.
Keempat,
kebijakan penundaan dapat mengganggu berjalannya desain pilkada serentak
nasional 2027. Dengan potensi calon tunggal yang akan selalu muncul pada
sejumlah pilkada dalam rentang 2015-2027, eksistensi pilkada serentak nasional
akan terancam. Bukankah calon tunggal juga mungkin muncul di Pilkada 2027
nanti? Lalu, apakah juga harus dilakukan penundaan?
Kelima,
penundaan diyakini akan memunculkan kerugian, baik bagi calon yang telah
mendaftarkan diri maupun daerah. Calon (apalagi petahana) akan kehilangan
peluang memperpanjang masa jabatannya secara berkelanjutan melalui pilkada. Di
pihak lain, kondisi tersebut justru akan menjadi bola liar yang tidak sehat
bagi proses politik daerah.
Keenam,
bagi daerah, jeda waktu kekosongan jabatan kepala daerah akan menyebabkan
terganggunya proses pembangunan yang sedang berjalan. Sebab, berbagai kebijakan
strategis pembangunan dipastikan tidak akan dapat diambil seorang penjabat
kepala daerah.
Alternatif
lain. Berbagai
alasan sebagaimana dikemukan di atas merupakan kondisi yang mengharuskan
pengambil kebijakan meninggalkan opsi penundaan pilkada. Pilkada tetap harus
dilaksanakan di daerah yang sampai saat ini masih dengan calon tunggal. Untuk
menyikapinya, beberapa alternatif kebijakan berikut perlu dipertimbangkan untuk
diadopsi ke dalam perppu.
Pertama,
membuka perpanjangan pendaftaran tahap kedua yang dilengkapi kewajiban partai
politik mengajukan pasangan calon. Hanya saja, pilihan ini tetap mengandung
sejumlah risiko, seperti terganggunya tahapan pilkada serentak atau hadirnya
calon boneka dari perselingkuhan kepentingan pragmatis parpol.
Kedua,
melaksanakan pilkada calon tunggal dengan sistem bumbung kosong. Pilihan ini
memiliki titik lemah yang amat krusial. Jika yang menang bumbung kosong,
pilkada dengan biaya yang demikian mahal harus berakhir sia-sia.
Ketiga,
pilkada calon tunggal tanpa pemilihan. Dalam sistem ini, calon tunggal disahkan
sebagai calon kepala daerah terpilih tanpa harus dipilih. Tentu akan muncul
pertanyaan, bukankah esensi pilkada adalah pemberian suara? Ya, tetapi hadirnya
calon tunggal bukanlah kehendak penyelenggara, melainkan kehendak masyarakat
politik yang merepresentasikan kemauan politik rakyat secara umum.
Dalam
konteks itu, tidak dilakukannya tahap pemungutan suara bukan karena kegagalan
pelaksanaan, melainkan tersebab kondisi alamiah pilkada yang menghendaki. Jika
memang kehendak umum daerah yang membiarkan calon tunggal, lalu bagaimana
mungkin hukum memaksanya menjadi dua calon?
Dari
tiga pilihan tersebut, opsi memperpanjang pendaftaran tentu dapat digabung dengan
opsi kedua atau ketiga. Guna memberikan kesempatan lebih luas untuk mengajukan
calon, kiranya perppu perlu mengatur perpanjangan pendaftaran dengan waktu yang
lebih panjang dan tetap memperhitungkan tahapan pilkada yang telah diatur
secara nasional. Pada saat yang sama, perppu juga harus memilih apakah
melaksanakan pilkada calon tunggal dengan bumbung kosong atau tanpa pemilihan.
Dengan perkembangan yang ada, pilkada tanpa pemilihan dengan tingkat risiko
yang lebih kecil tentu akan lebih tepat guna menyelesaikan kegagalan partai
politik dalam proses pencalonan Pilkada 2015.
Khairul
Fahmi. Dosen Hukum Tata Negara,
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Sumber : Kompas 7 juli 2015)
No comments:
Post a Comment