Oleh : ANUNG WENDYARTAKA
”Saya
berharap Pilkada Sumba Barat Daya nanti berlangsung aman, tidak ada kekerasan
seperti tahun 2013 lalu,” kata Rudi (27) tahun), warga Weetebula, Sumba Barat
Daya, Nusa Tenggara Timur. Trauma kekerasan yang terjadi pada pilkada bupati
lima tahun lalu masih melekat di masyarakat Sumba Barat Daya hingga sekarang
ini.
Saat
itu, di beberapa wilayah terjadi tindak kekerasan antar-pendukung kandidat
hingga pembakaran gedung KPU Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD). Hal itu dipicu
oleh ketidakpuasan pendukung kandidat bupati petahana Kornelis Kodi Mete-Daud
Lende Umbu Moto terhadap keputusan KPU Sumba Barat Daya.
KPU
Sumba Barat Daya saat itu memenangkan pasangan Markus Dairo Talu-Dara Tanggu
Kaha. Keputusan KPU itu menjadi kontroversi karena belakangan terbukti terjadi
penggelembungan suara di tempat pemungutan suara saat diadakan penghitungan
ulang. Ada selisih 11.973 suara yang seharusnya memenangkan pasangan
Kornelis-Daud.
Belakangan
KPU SBD menganulir kemenangan pasangan MDT-Dara dan menetapkan pasangan
Kornelis-Daud sebagai pemenang di Pilkada SBD. Namun, dalam proses sidang
gugatan sengketa pilkada di Majelis Konstitusi (MK) yang diajukan oleh pihak
Kornelis-Daud, majelis hakim MK menolak gugatan tersebut. Dengan demikian, pasangan
MDT-Dara tetap menjadi pemenang pilkada bupati di SBD.
Buntut
dari keputusan-keputusan kontroversial yang dilakukan oleh KPU SBD dan bukti
kecurangan penggelembungan suara, ketua dan beberapa komisioner KPU SBD dicopot
dari jabatannya. Bahkan, mereka harus menjalani proses hukum dan mendapat
hukuman penjara akibat kasus penggelembungan suara tersebut.
Kontroversi
dan sengketa Pilkada Bupati Sumba Barat Daya berlangsung berlarut-larut dan
menguras energi dan emosi warga, terutama kedua pihak pendukung kedua pasangan
kandidat. Warga SBD terbelah, wilayah Kodi satu sisi yang menjadi basis
pendukung bupati petahana Kornelis dan wilayah Weweha yang menjadi basis
pendukung bupati terpilih MDT.
Pastor
Yanto, rohaniwan Katolik yang bertugas di Paroki Kodi, menceritakan situasi
kritis saat itu. ”Waktu itu, saya terpaksa berdiri di tengah-tengah massa
antara kedua pihak yang bertikai untuk mencegah mereka bentrok. Siapa lagi yang
bisa melakukan itu, kecuali rohaniwan. Polisi atau tentara tidak digubris oleh
massa,” kata Pastor Yanto.
Akibat
berlarut-larutnya sengketa Pilkada SBD ini, pasangan bupati dan wakil bupati
terpilih, yakni MDT-Dara, baru dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
pada September 2014 atau lebih kurang
1,5 tahun setelah pilkada.
Pelantikan
oleh Mendagri ini pun masih mengundang kontroversi. Bahkan, DPRD SBD secara
resmi menyerahkan rekomendasi kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu
Raya berisi penolakan pelantikan MDT-Dara sebagai Bupati dan Wakil Bupati SBD.
Kembali
bertarung di Pilkada
Pada
pilkada bupati Juni nanti, Markus Dairo
Talu, bupati petahana SBD, kembali akan mencalonkan diri untuk jabatan kedua.
Namun, kali ini MDT tidak lagi berpasangan dengan wakilnya, Dara Tanggu Kaha.
MDT
kali ini berpasangan dengan Gerson Tanggu Dendo (GTD), anggota DPRD sekaligus
Ketua DPD II Golkar Kabupaten Sumba Barat Daya. Kandidat pasangan MDT-GTD ini
diusung oleh Partai Golkar, Nasdem, dan PKS.
Sementara
itu, wakil bupati petahana Ndara Tanggu Kaha yang pecah kongsi dengan MDT
mencalonkan diri berpasangan dengan Eduard Ndapa Tadi (Hati). Namun, pasangan
ini tidak lolos di tahap pencalonan karena tidak memenuhi syarat jumlah
dukungan kursi DPRD dari partai politik.
Hingga
menjelang batas akhir penetapan calon, pasangan Hati ini hanya didukung tiga
kursi, masih kurang empat kursi lagi atau minimal total tujuh kursi DPRD agar
lolos ke tahap penetapan calon.
Dua
pasangan kandidat lain yang akhirnya lolos pada tahap penetapan adalah pasangan
Dominggus Dama-Kornelis Tanggu Bore (Damai) dan pasangan Kornelis Kodi
Mete-Marthen Christian Taka (Kontak).
Pasangan
kandidat Damai didukung oleh PKB, PPP, PKP, PBBI, dan Gerindra. Sementara
pasangan Kontak diusung oleh PDI-P, Demokrat, Hanura, dan PAN.
Lolosnya
pasangan MDT- GTD dan Kornelis-Taka pada pilkada tahun 2018 ini mengulang
pilkada lima tahun lalu, saat mereka berhadapan dalam pilkada yang penuh
kontroversi kendati dengan pasangan berbeda.
Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian warga di SBD masih traumatik
dengan konflik dan tindak kekerasan yang menyertai Pilkada 2013 lalu. Mereka
merasa waswas dan khawatir karena takut konflik dan tindak kekerasan akan
kembali terulang pada pilkada tahun ini.
”Pilkada
nanti pasangan calon yang lolos ada tiga. Mudah-mudahan dengan tiga calon,
pilkada tahun ini lebih aman. MDT dan Kornelis tidak berhadap-hadapan langsung
seperti lima tahun lalu,” kata Frans, warga Tambolaka.
Munculnya
Dominggus Dama sebagai calon bupati selain MDT dan Kornelis disambut gembira
oleh sebagian warga SBD. Umumnya mereka berharap, dengan adanya tiga calon
pasangan yang akan bertarung dalam pilkada nanti, mereka memiliki lebih banyak
alternatif untuk calon bupati dan wakil bupati yang sesuai dengan harapan dan
aspirasi mereka.
Menilik
jumlah dukungan dari partai politik yang mengusung, pasangan Dominggus
Dama-Kornelis Tanggu Bore tampaknya tidak hanya akan muncul sebagai pelengkap
atau penggembira dalam kontestasi di pilkada nanti.
Dari
jumlah partai pendukung, misalnya, pasangan ini didukung oleh lima partai
politik dengan jumlah suara di DPRD sebanyak 12 kursi. Pasangan ini bukan tidak
mungkin bisa menjadi kuda hitam di tengah persaingan ketat antara dua pasangan
calon MDT-GDT dan Kornelis-Taka.
Bagi
pasangan MDT-GDT, kemunculan pasangan Dominggus Dama-Tanggu Bore sebagai rival
dalam Pilkada SBD perlu diwaspadai, karena seperti halnya dengan MDT, Dama juga
berasal dari wilayah Weweha.
Hal
ini tentu akan menjadi menarik karena wilayah Weweha yang sebelum ini menjadi
lumbung suara bagi MDT di Pilkada 2013 dalam Pilkada 2018 nanti akan
diperebutkan bersama dengan Dominggus Dama yang juga berasal dari Weweha. Suara
MDT di Weweha kemungkinan besar akan tergerus atau sebagian akan berpindah
kepada pasangan Dama-Tanggu.
Meskipun
begitu, sebagai petahana, pasangan MDT-GDT di sisi lain memiliki keuntungan
dibandingkan rival-rivalnya. Selain menguasai birokrasi, posisi MDT sebagai
bupati dipastikan akan mendongkrak popularitasnya di mata publik Sumba Barat
Daya. Kedua hal tersebut akan bermuara meningkatkan elektabilitas dalam pilkada
nanti.
Sementara
itu, peluang pasangan Kornelis-Taka untuk memenangi pilkada juga terbuka lebar.
Merujuk pilkada lima tahun lalu, Kornelis sebenarnya mampu mengungguli
perolehan suara MDT jika tidak ada kasus penggelembungan suara. Hal itu menjadi
modal yang kuat bagi pasangan Kornelis-Taka untuk memenangi pilkada kali ini.
Dari
paparan di atas, kontestasi dalam pilkada bupati di SBD Juni nanti bakal
menarik dan diperkirakan terjadi perebutan suara yang ketat antarkandidat.
Mengingat hal tersebut, KPU sebagai penyelenggara pilkada memiliki peran
krusial agar pilkada nanti bisa berjalan dengan baik, independen, dan tanpa
kecurangan sehingga pesta demokrasi ini tidak tercederai.
Pengalaman
pilkada lima tahun lalu, dengan KPU sebagai pihak yang bertanggung jawab
terhadap kekisruhan proses pilkada, jangan sampai terulang kembali. Pilkada SBD
tahun ini diharapkan bisa berjalan dengan baik dan menghasilkan pasangan bupati
dan wakil bupati yang mampu membawa Kabupaten SBD lebih maju.
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Sumba Barat Daya saat ini masih jauh di bawah
rata-rata nasional. Bahkan, di NTT, IPM SBD tahun 2016 sebesar 61,31 masih
berada di peringkat ke-13 dari 22 kabupaten/kota di provinsi ini.
Artinya,
daerah ini masih serba terbelakang dari parameter kualitas pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan. Pemimpin daerah yang terpilih nanti harus mampu
menyingkirkan isu konflik dan pertentangan antarkelompok demi membangun daerah
yang masih serba berkekurangan. (LITBANG KOMPAS)
Sumber : Kompas.id, 5 Mei 2018
No comments:
Post a Comment