Oleh Adi Sucipto
Kisswara
Kabupaten Gresik, Jawa
Timur, kini mulai menerapkan e-pilkades. Teknologi informasi ini membuat risiko
kecurangan makin kecil. Dengan e-pilkades, pelaksanaan pemilihan kepala desa
pun lebih aman dari manipulasi. Warga hanya bisa memilih sekali karena sudah
tercatatdi sistem digital. Pelaksanaan pemilihan
kepala desa serentak di Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur, Minggu (29/10), dilakukan dengan sistem e-pilkades. Ada
lima dari 19 desa yang sudah menerapkan e-pilkades di Gresik. E-pilkades adalah
aplikasi digital untuk mengenali pemilih. Sistem aplikasi itu mencegah
terjadinya kecurangan, terutama menghindari pemilih mencoblos lebih dari satu
kali. E-pilkades juga bisa menyaring warga yang tidak memiliki hak pilih. Pelaksanaan
pemilihan kepala desa dengan menggunakan e-pilkades sudah dimulai pada hari
Minggu (29/10). Dari 19 desa yang punya hajatan menggelar pilkades serentak,
lima di antaranya sudah menjajal e-pilkades.
Bupati Gresik Sambari
Halim Radianto mengatakan, lima desa itu ialah Desa Kepuhklagen, Kecamatan
Wringinanom; Desa Tulung, Kecamatan Kedamean; Desa Daun, Kecamatan Sangkapura
Pulau Bawean; Desa Panjunan dan Desa Kandangan, Kecamatan Duduksampean.Dalam
pemilihan itu setiap warga yang mempunyai hak pilih harus menempelkan sidik
jari ke mesin pemindai (scanner) yang terhubung dengan perangkat komputer.
Mesin pemindai itu akan
mengenali pemilik hak suara. Warga dari luar desa, atau yang tak memiliki hak
pilih, tidak akan terbaca sistem. Pemindai itu juga membuat warga hanya bisa
memilih satu kali, karena mesin akan menandai warga yang sudah menggunakan hak
pilih. Data pemilih juga lebih akurat, karena data berbasis pada kartu tanda
penduduk elektronik yang sudah dilakukan pembersihan data sehingga terhindar
dari data ganda. Sebelum masuk proses e-pilkades, Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Gresik memang telah melakukan pembersihan data penduduk. Hal itu
dilakukan untuk memvalidasi data ganda atau data penduduk yang tidak terbaca.
Hanya saja, saat
pemungutan suara, antrean lebih lama karena pemindai yang digunakan tak
langsung bisa mengenali sidik jadi pemilik hak suara. Di Desa Kepuhklagen,
Kecamatan Wringinanom, misalnya, ada warga yang butuh waktu lama untuk
dideteksi sidik jarinya. Akibatnya warga di belakangnya tidak sabar mengantre.
Mereka berdesakan dan saling dorong. Akhirnya sebagian warga pun dicatat
manual. Dalam e-pilkades ini warga dua kali dibaca sidik jarinya, yakni sebelum
memilih dan setelah menggunakan hak pilihnya. Dalam kasus di Kepuhlagen, satu
pemilih harus menempelkan jarinya beberapa kali ke perangkat pemindai sampai
bisa terbaca. Ternyata, saat dicek, pemantau sidik jari sulit membaca sidik
jari pemilih karena terkena keringat dan kotor. Akibatnya dalam satu jam mesin
baru bisa memindai 100 orang. Sistem aplikasi e-pilkades menggunakan sidik jari
itu, tambah Sambari, akan terus dievaluasi dan dibenahi.
Tren digital
Ketua Komisi Pemilihan
Umum Arief Budiman, saat meninjau pelaksanaan e-pilkades di Kepuhklagen,
Kecamatan Wringinanom, Minggu (29/10), menyatakan, tren penyelenggaraan pemilu
di banyak negara ke depan tidak lagi manual. Digitalisasi diterapkan mulai dari
logistik, data pemilih, sumber daya, hingga pemungutan suara, dan rekapitulasi.
Di Indonesia, pemutakhiran data pemilih pada 2004 dan rekapitulasi suara pada
Pemilihan Umum 2014 sudah mulai masuk proses digitalisasi. “Pada 2014, data
digital bisa diakses siapa pun melalui e-rekap. Bahkan, pada pelaksanaan
Pilkada DKI lalu, rekapitulasi digital bisa diakses 1×24 jam pasca-pemungutan,”
kata Arief.
Proses digitalisasi
pemilihan juga diterapkan di pilkades hingga pilkada. Digitalisasi dimulai di
beberapa desa atau kecamatan. Salah satu daerah yang melakukan terobosan
e-voting atau pemungutan suara elektronik adalah Bali. Di Gresik, program
aplikasi e-pilkades sementara hanya digunakan untuk mengecek data pemilih
secara digital. Pengecekan itu dilakukan saat sebelum memilih (in) dan seusai
memilih (out) dengan deteksi sidik jari. “Satu orang tidak bisa mencoblos dua
kali karena jika sudah mencoblos, sistem akan menyimpan bahwa pemilih sudah
mencoblos. Warga lain juga tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena sidik
jarinya tidak terbaca sistem,” ujar Arief.
Menurut Arief, ke depan
aplikasi bisa diintegrasikan dengan pemungutan, perhitungan, hingga
rekapitulasi. Tetapi, tidaklah mudah beralih dari manual ke digital. Arief
menambahkan, perlu kesiapan biaya, teknologi, dan sumber daya. Tuntutan
digitalisasi butuh anggaran yang cukup. Listrik mati atau sistem error juga
harus diantisipasi. Mengubah kultur manual ke digital lebih sulit lagi.
Kemudahan teknologi dalam pemilihan berpotensi ditolak. Ke depan bisa jadi
pemilih tinggal klik gawai di rumah tahu hasilnya. Tetapi, kultur guyub
masyarakat, termasuk dalam merayakan kemenangan, sulit diubah.
Arief memaparkan, saat
ini, negara lain kagum dengan pola demokrasi dan pemilihan di Indonesia yang
begitu terbuka dan melibatkan banyak orang. Karena itu, ke depan perlu
dikombinasikan cara pemilu yang cermat, akurat, dan tepat. “Penggunaan
teknologi informasi penting, tetapi kultur masyarakat juga tidak bisa
diabaikan. Model yang pas perlu dilihat perkembangannya,” katanya. Arief sempat
menguji e-pilkades. Saat Arief mencoba aplikasi e-pilkades, datanya tidak
muncul. Pemutakhiran data pemilih serta pemanggilan pemilih berbasis TI,
menurut dia, menjadi inovasi besar. Kini tinggal perbaikan serta penambahan
agar e-pilkades bisa lebih baik dan terhubung dengan pemungutan dan
penghitungan suara.
Ketua Komisi II DPR
Zainuddin Amali menyambut baik inovasi di Gresik yang telah memulai pemilihan
digital. “Ke depan, proses pemilihan termasuk pemilihan umum akan beralih dari
sistem manual ke sistem digital. Di luar negeri pemilu sudah memaksimalkan
teknologi digital,” katanya. Terobosan daerah, termasuk Gresik, juga akan
disampaikan dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan KPU agar
nantinya digitalisasi pemilihan bisa didukung pemerintah pusat ( Sumber : Kompas, 13 November 2017)
No comments:
Post a Comment