Oleh
: Herry Tjahjono
Secara
kontekstual ada dua tipe pemimpin yang menarik untuk dikaji dalam kaitan
praksis kepemimpinan sehari-hari di negeri ini. Pertama, adalah pemimpin
esensial dan kedua, pemimpin sensasional.
Kedua tipe pemimpin ini berhubungan dengan orientasi kehidupan manusia
secara umum. Kehidupan itu secara sederhana terdiri dua elemen, yakni esensi
dan sensasi; isi dan bungkus; inti dan perifer; sejati dan konsekuensi logis.
Kedua elemen itu melahirkan sebuah prinsip bahwa tugas atau orientasi
kehidupan manusia sesungguhnya bagaimana
terus berjuang untuk menjadi esensi, isi, inti atau sejati; bukan sebaliknya.
Jadi,
tujuan hidup manusia sesungguhnya terus berjuang menjadi ”manusia esensi,
manusia isi, manusia inti, manusia sejati”. Jika hal ini dilakukan, maka sensasi,
bungkus, perifer, atau konsekuensi logis akan
hadir dengan sendirinya dalam hidupnya. Demikian juga halnya dengan
hakikat kepemimpinan.
Lebih
mengejar sensasi
Namun,
dalam praktik kehidupan (dan kepemimpinan modern), khususnya di negeri kita, prinsip kehidupan di atas justru telah
diputarbalikkan. Manusia sekarang lebih suka mengejar dulu sensasi, bungkus, perifer atau konsekuensi
logis kehidupan. Seorang pelajar, misalnya, seharusnya dia lebih dulu berjuang
untuk menjadi ”pelajar esensial, pelajar berisi, pelajar inti atau pelajar
sejati” (bukan hanya cerdas otak, tetapi juga karakter, kepribadian bahkan
spiritual). Sebab, jika ia sudah menjadi pelajar esensial atau pelajar
sejati, maka konsekuensi logis akan
datang sendirinya, seperti nilai dan
peringkat yang baik, atau bahkan juara.
Menjadi pelajar esensial atau sejati otomatis jadi pelajar bermanfaat,
pelajar bermakna.
Demikian
pula halnya dengan hakikat kepemimpinan. Seorang pemimpin seyogianya bertugas
atau berorientasi jadi pemimpin esensial (sejati) lebih dulu, bukan yang
berorientasi mengejar konsekuensi logisnya. Panggung kepemimpinan nasional kita
sangat jauh dari prinsip menjadi ”pemimpin esensi(al), pemimpin inti atau
pemimpin sejati.” Kebanyakan pemimpin itu cenderung atau bahkan membabi-buta
lebih dulu mengejar sensasi, bungkus, perifer atau konsekuensi logisnya:
kekuasaan! Pemimpin tipe ini disebut pemimpin sensasional. Berbagai sensasi
kepemimpinan dibuatnya tanpa menoleh pada esensi kepemimpinannya. Sensasi
kepemimpinan itu tak bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau
pengikutnya.
Padahal,
jika becermin pada Viktor Frankl, bahwasannya kekuasaan itu hanyalah konsekuensi logis dari upaya seseorang untuk
menjadi ”pemimpin esensial”. Kekuasaan bukan tujuan, melainkan sarana untuk
menjadi pemimpin esensial. Jika seseorang sudah mampu jadi pemimpin esensial
(yang bernuansakan nilai-nilai dan kepentingan kemanusiaan, bangsa, umat
manusia, rakyat), maka kekuasaan beserta segenap kenikmatan hidup akan datang dengan sendirinya.
Namun,
yang terjadi adalah sebongkah nafsu dan pertanyaan: ”Apa kenikmatan kekuasaan
yang bisa didapat bagi diri sendiri dulu?” Karena itu, kita berlimpah dengan
pemimpin sensasional dibandingkan pemimpin esensial alias pemimpin sejati.
Ada
beberapa elemen kepemimpinan yang berbeda antar- kedua tipe pemimpin sehingga
memberikan implikasi kepemimpinan yang berlainan pula. Pertama, pemimpin
esensial biasanya bekerja, berinteraksi, dan memimpin berlandaskan asas
transformasional dengan para pengikut (rakyat). Dengan asas tranformasional,
nyaris sebagian besar aksi kepemimpinannya diarahkan agar rakyat mengalami
transformasi (perubahan) kehidupan yang lebih baik. Dia hampir tak memikirkan
kepentingan dirinya sendiri, berani menghadapi risiko, dan kepemimpinan baginya
adalah amanah—bahkan panggilan hidup.
Sementara
pemimpin sensasional biasanya bekerja, berinteraksi, dan memimpin berlandaskan
asas transaksional. Asas transaksional itu lebih dulu ditujukan untuk berbagai
”transaksi” yang menguntungkan dirinya, bukan rakyat. Jika itu terpenuhi, baru
keuntungan rakyat dipikirkan. Dia cenderung mendahulukan dan menempatkan
kepentingan diri di atas rakyatnya, menghindari risiko dengan cara melemparkan
berbagai tanggung jawab ke pihak lain (termasuk pada pemimpin terdahulu), dan
kepemimpinan baginya adalah fasilitas—bukan panggilan hidup atau amanah.
Dia
cenderung berorientasi pada konsekuensi logis kepemimpinan, yaitu kekuasaan
beserta segenap kemudahan dan kenikmatannya. Celakanya, pentas kepemimpinan
nasional di negeri ini lebih banyak dimainkan para pemimpin sensasional—di
segenap dimensi: eksekutif, legislatif, yudikatif,—yang oportunis, menempatkan
syahwatnya di atas kepentingan rakyat. Jadi, jangan heran jika para pemimpin
koruptor bergentayangan di segenap dimensi, termasuk salah satunya kasus ketua
lembaga legislatif yang menggegerkan. Agak jauh sebelumnya adalah ketua salah
satu lembaga yudikatif. Banyak sekali jika mau dirinci. Mereka adalah para
pemimpin sensasional yang lebih dulu mengejar konsekuensi logis: kekuasaan!
Perbedaan elemen kepemimpinan di atas memberikan
implikasi kepemimpinan yang berbeda pula. Melalui hubungan transformasionalnya,
pemimpin esensial akan mendapatkan kesetiaan (loyalty) daripada pengikut atau
rakyat yang ia pimpin. Kesetiaan akan melahirkan rasa segan kepada sang
pemimpin. Sementara pemimpin sensasional dengan hubungan transaksionalnya akan
menerima kepatuhan (obedience) dari pengikut atau rakyatnya. Dan, kepatuhan itu
lebih dilandasi oleh rasa takut.
Sebuah
ilustrasi
Ada
ilustrasi praktikal yang menarik terkait uraian tentang elemen kepemimpinan di
atas. Pemimpin esensial yang memiliki kesetiaan dan rasa segan dari rakyat atau
pengikutnya relatif tak memerlukan kehadiran fisikal dari sang pemimpin. Artinya,
meski sang pemimpin tak hadir secara fisik, pengikut akan tetap menjalankan
semua instruksi atau kebijakan kepemimpinan sang pemimpin. Bahkan pada titik
ekstrem, ketika sang pemimpin telah berlalu (meninggal sekalipun),
kepemimpinannya tetap hadir, dikenang, dan dijalankan oleh para pengikutnya. Kepemimpinan
seorang pemimpin esensial akan berlangsung lebih panjang dibandingkan umur sang
pemimpin sendiri. Beberapa contoh berikut adalah sebagian kecil tipe pemimpin
esensial: Nelson Mandela, Soekarno atau dalam skala lebih terbatas: Basuki
Tjahaja Purnama, mantan gubernur DKI Jakarta.
Sementara
pemimpin sensasional yang mengandalkan kepatuhan serta rasa takut, relatif
butuh kehadiran fisikal sang pemimpin. Sebab, ketika sang pemimpin tak hadir
secara fisik, pengikut akan cenderung tak menjalankan instruksi atau kebijakan
sang pemimpin. Tanpa sosok sang pemimpin, para pengikut tak takut lagi.
Istilahnya: kucing tak ada, tikus berlarian berpesta pora. Ketika pemimpin
berbalik, pengikut mencibirkan bibirnya di belakang punggungnya. Kepemimpinan
nasional kita lebih banyak dihuni para pemimpin sensasional. Ini cukup
menyulitkan Presiden Joko Widodo yang bertipe pemimpin esensial. Namun,
berbagai peneladanan kepemimpinan esensial yang dipertontonkannya selama ini
cukup memberikan harapan. Dan, itu ibarat seteguk air di tengah hamparan padang
gurun kepemimpinan sensasional di negeri yang kita cintai ini.
Bisa Lihat Videonya Di Sini
Herry
Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan Sumber : Merindukan Pemimpin Essensial Kompas.id, 25 November 2017
No comments:
Post a Comment