Menangkan Pilkada, Demokratisasi Calon
Tunggal
Oleh Tommi A Legowo
Sampai hari pengumuman hasil
verifikasi pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah untuk pilkada serentak
Desember 2015 oleh KPU (24/8/2015), belum ada rancangan solusi bijaksana final masalah
pasangan calon tunggal. Yang tersedia adalah penundaan pilkada hingga 2017
sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12/2015 tentang Pencalonan
Kepala Daerah. Mungkin pertimbangannya, rentang waktu dua tahun cukup untuk
mempersiapkan lebih dari satu pasangan calon, meski tak ada jaminannya.
Lemah.
Dari sisi kekuatan peraturan, PKPU
berada di bawah undang-undang (UU). Pertimbangannya adalah hal-hal teknis
pelaksanaan UU, bukan hal-hal substansial dalam UU. Fenomena calon tunggal
mengandung hal-hal substansial yang alpa diselesaikan para legislator. Kealpaan
terlihat dari tak ditemukan satu pun rujukan pasal dan ayat dalam UU No 8/2015
tentang Pilkada yang dapat dijadikan dasar membuat peraturan menunda pilkada. Pasal
48, 49, 52 menganjurkan penundaan dalam hitungan hari untuk masa pendaftaran
pasangan calon. KPU betul dalam mengantisipasi persoalan ini, tetapi melangkah
melampaui UU.Dari masa laku peraturan,PKPU itu berjangka pendek, hingga 2017.
Padahal, fenomena calon tunggal bukan spesifik pilkada serentak 2015. Potensi
permasalahan pernah ada di Pilkada Provinsi Gorontalo September 2006 dan
mungkin muncul lagi dalam putaran pilkada serentak selanjutnya, bahkan setelah pilkada
serentak raya 2027.
Memang ada putaran-putaran bertahap
menuju 2027. Namun, jika kemunculan pasangan calon tunggal pada setiap putaran
mengharuskan penundaan pilkada pada putaran berikutnya, ini menghadirkan
”ketidakadilan politik” bagi pasangan calon tunggal dan masyarakat pemilih.
Sebab, jarak waktu antarputaran pilkada berbeda-beda: putaran pertama Desember
2015, kedua Februari 2017, ketiga Juni 2018, keempat 2020, kelima 2022, keenam
2023, dan terakhir serentak 2027.Karena sifatnya teknis, PKPU terlihat tidak
mempertimbangkan perlakuan adil terhadap hak-hak dasar warga negara, dalam hal
ini hak memilih dan dipilih, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum,
serta hak politik dan pemerintahan.
Dalam perspektif negara republik
demokrasi yang menghormati hak-hak warga negara, pengabaian hak-hak tersebut
membuat hak-hak dasar jutaan warga negara tak terlayani jika solusi calon tunggal
adalah penundaan pilkada.Mustahil melarang pasangan calon tunggal karena hanya
akan menjadi pintu banyak siasat politik sekadar memenuhi persyaratan
prosedural dan atau untuk kepentingan pragmatis. Lebih buruk lagi, pelarangan
ini berpotensi menghadirkan ancaman darurat nasional ketika banyak daerah dalam
pilkada serentak ”dibuat” gagal menghadirkan lebih dari satu pasangan calon.
Solusi.
Solusi bijak-final masalah calon
tunggal memang bisa terhambat oleh preposisi deterministik anti calon tunggal.
Pertama, prinsip demokrasi meniscayakan keberagaman pilihan; calon tunggal
potensial meniadakan keberagaman. Kedua, prinsip integritas pemilu meniscayakan
proses dan hasil pilkada yang bersih dan absah; calon tunggal dicurigai muncul
dari proses kotor yang keabsahannya diragukan. Ketiga, prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik meniscayakan pengelolaan pemerintahan secara demokratis;
calon tunggal bisa melahirkan pemimpin pemerintahan anti demokrasi.
Preposisi yang membentuk sikap anti
calon tunggal perlu diubah untuk membuka jalan penyelesaian bijak, menyeluruh,
dan final. Adakah metode yang memastikan bahwa calon tunggal terpilih secara
absah sebagai pemimpin pemerintahan daerah lewat proses yang mematuhi prinsip
pilkada demokratis?Ada jalan untuk mengembangkan metode itu. Pertama, jika
pilkada demokratis mensyaratkan proses bersih mulai dari persiapan, pelaksanaan,
sampai pengumuman hasil, calon tunggal harus dipastikan muncul dari proses
bersih seperti itu.Kedua, jika pilkada demokratis menuntut keberagaman pilihan,
calon tunggal harus dipastikan lahir dari proses yang tidak anti keberagaman.
Artinya, calon tunggal muncul dari proses prakontestasi yang terbuka menawarkan
jalan untuk hadirnya banyak pilihan, bukan hasil rekayasa yang menghalangi munculnya
pasangan calon pesaing.Ketiga, perlu institusi tepercaya untuk memverifikasi
proses lahirnya calon tunggal yang bersih dan memberikan keabsahan atas
”kebersihan” calon tunggal.
Bawaslu.
Dalam penyelenggaraan pilkada
serentak, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di bawah supervisi Dewan Kehormatan
Penyelenggaraan Pemilu tepat untuk tugas ini.Mengabsahkan calon tunggal tak
berarti menyelesaikan proses pilkada. Proses ini harus berlanjut dengan
kampanye. Langkah ini penting untuk mengenalkan calon tunggal kepada publik.Kelima,
meski tanpa pesaing, pemberian suara seyogianya dilakukan. Tujuannya bukan
membatalkan keabsahan keterpilihan calon tunggal, melainkan menyatakan tingkat
keabsahannya di hadapan pemilih (rakyat). Belum tentu calon tunggal didukung
mayoritas mutlak pemilih.
Keenam, peluang calon tunggal menjadi
pemimpin pemerintahan daerah yang anti demokrasi harus dicegah dengan berbagai
peraturan perundang-undangan yang membatasi dan mengawasi penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.Ketujuh, langkah fundamental lain terkait pembaruan
sumber-sumber rekrutmen kepemimpinan publik. Masyarakat adalah sumber rekrutmen
untuk calon independen. Kegagalan parpol menyediakan kader-kader kepemimpinan
pemerintahan merupakan kesalahan fatal yang tak tertoleransi dan, karena itu,
harus ada sanksi berat.
Terakhir, perppu tentang calon tunggal
dengan alasan darurat hak-hak politik warga negara dan kandungan substansi
demokratisasi calon tunggal mendesak dilahirkan sebagai penyelesaian masalah
yang menyeluruh dan final untuk tegaknya keadilan warga negara.
Tommi A Legowo, Pendiri dan Peneliti
Senior Formappi (Sumber : Kompas, September5,2015)
No comments:
Post a Comment