Oleh
: M Alfan Alfian
Harian
Kompas (17/7) mengulas pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang kembali
berlarut-larut, dan akhirnya baru disetujui menjadi UU pada Jumat (21/7) dini
hari, molor empat bulan dari target yang sudah ditetapkan. Seperti yang pernah
terjadi, pembuat UU kembali berkutat pada isu-isu elitis untuk mengamankan
kepentingan elektoral jangka pendek. Apakah UU tentang Penyelenggaraan Pemilu
yang dihasilkan lebih ideal ketimbang aturan main sebelumnya? Belum tentu.
Ikhtiar mencari aturan main pemilu terbaik dalam sistem demokrasi segera
dihadapkan pada sederet kalkulasi kepentingan para aktor yang terlibat proses
penyusunan regulasinya. Hasil atau resultantenya justru tak bisa dijamin
sebagai yang paling sempurna atau ideal. Hal ini tampak selaras dengan komentar
Edward Banfield, ”Any political system is an acccident. If the system works
well on the whole it is a lucky accident.”
Perspektif
tersebut menjelaskan mengapa proses pembahasan UU ini bertele-tele sehingga
kontraproduktif bagi kesiapan penyelenggaraannya oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), tak terelakkan mengarah ke ”kecelakaan sistem”. Terlepas apakah kelak ia
menguntungkan atau menyurutkan kualitas penyelenggaraan pemilu. Dalam konteks
inilah, kalau revisi regulasi pemilu dilakukan lagi, masalah dan hal sama pun
bisa berulang lagi.
Sistem
politik penyelenggaraan pemilu, keterbatasan atau ketidaksempurnaannya, lazim
terletak pada dua hal. Pertama, setiap pilihan mengandung konsekuensi. Inilah
yang oleh Banfield disebut ”kecelakaan” kendati ia bisa menguntungkan atau
sebaliknya. Kedua, kecenderungan partai-partai yang tak merasa perlu mengambil
langkah perubahan yang lebih maju, kecuali apabila dianggap memberi peluang
kemenangan lebih besar. Regulasi pemilu pun sesungguhnya mencerminkan suatu
kenyataan politik yang belum tentu mampu mencerminkan fenomena kecelakaan yang
menguntungkan.
Kotak pandora
Perubahan
kembali regulasi kali ini berkonsekuensi terbukanya kotak pandora politik oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengabulkan sebagian tuntutan uji materi
pada Januari 2014. MK merekomendasikan agar Pemilu 2019 sebagai pemilu
serentak; penyelenggaraan pemilu legislatif diserentakkan pilpres. Alasannya
agar sistem pemerintahan presidensial menguat mengingat bekerjanya apa yang
disebut coattail effect. Efek tersebut bermakna presiden terpilih otomatis
didukung partai-partai pemenang pemilu legislatif sehingga presiden punya basis
dukungan politik kuat di parlemen. Dalam perbandingan sistem politik, beberapa
negara di Amerika Latin dipandang merupakan contoh baiknya. Model Brasil,
misalnya, menegaskan pemilu serentak membuahkan coattail effect.
Sementara
model Filipina, kendati pemilunya serentak, tak menjamin terjadinya coattail
effect. Di Filipina, pilpresnya agak aneh karena capres dan cawapres tidak
diajukan secara berpasangan. Model AS lain lagi. Di sana pemilunya serentak,
tetapi sebenarnya tidak semua serentak karena ada pemilu-pemilu negara bagian.
Hal-hal itu menunjukkan setiap pilihan sistem mengandung konsekuensi elektoral
masing-masing.
Belum komprehensif
Salah
satu isu krusial pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu adalah masalah ambang
batas presidensial. Fraksi-fraksi politik di DPR terbelah pendapat. Mereka yang
tergabung sebagai pendukung pemerintah condong mempertahankan prasyarat semula,
di mana yang berhak mencalonkan pasangan kandidat dalam pilpres ialah partai
politik dan atau gabungannya yang mampu memperoleh dukungan 20 persen kursi
atau 25 persen suara pemilu legislatif secara nasional. Yang dipakai sebagai
patokan ialah hasil Pemilu 2014.
Akan
tetapi, hal demikian dipandang tidak adil oleh yang lain. Bahwa pemilu serentak
harus dimulai dari nol, di mana semua partai peserta pemilu berhak untuk
mengajukan pasangan capres masing-masing. Perbedaan pendapat ini meruncing dan
cenderung bertele-tele. Semua pilihan sama-sama punya argumentasinya. Kelompok
pertama biasanya mengaitkannya dengan penguatan sistem presidensial, memastikan
coattail effect terjadi. Kelompok kedua mengedepankan harapan bahwa potensi
kepemimpinan nasional yang beragam harus diakomodasi.
Kata
akhirnya kelak tetap pada keputusan MK. Dalam proses pembahasan RUU di DPR, MK
menolak ikut campur. MK mempersilakan pembuat UU memutuskannya (open legal
policy). Kelak kalau ada pihak yang mengajukan uji materi, MK harus memutuskan
ketentuan mana yang harus dipakai. Apabila dikembalikan ke adagium Banfield,
tentu apa pun ketentuannya, ia tetap mencerminkan suatu ”kecelakaan sistem”,
dimensi spekulasinya tetap terbuka.
Tak
hanya ambang batas presidensial, sejumlah ketentuan lain juga berimplikasi
terhadap praktik pemilu serentak kelak. Karena mencakup tiga ranah penting,
yakni penyelenggara pemilu, pemilu legislatif, dan pemilihan presiden, maka
beragam isu krusial bersifat implikatif. Kelembagaan penyelenggara pemilu tak
kalah kompleks masalahnya. Juga pilihan sistem pemilu, ambang batas parlemen,
metode konversi suara ke kursi, rentang jumlah kursi per daerah pemilihan
(district magnitude), dan yang lain. Regulasi pemilu kali ini dipandang masih
memiliki sejumlah keterbatasan, belum cukup komprehensif dalam konteks pemilu
serentak. Karena itu, pasca-Pemilu 2019, regulasi pemilunya juga masih terbuka
untuk berubah lagi.
M Alfan Alfian Dosen Pascasarjana Ilmu
Politik Universitas Nasional ( Sumber :
Kompas.id, 22 Juli 2017)
No comments:
Post a Comment