November 26, 2017

Merindukan Pemimpin Alamiah



Oleh : Herry Tjahjono  

Secara kontekstual ada dua tipe pemimpin yang menarik untuk dikaji dalam kaitan praksis kepemimpinan sehari-hari di negeri ini. Pertama, adalah pemimpin esensial dan kedua, pemimpin sensasional.  Kedua tipe pemimpin ini berhubungan dengan orientasi kehidupan manusia secara umum. Kehidupan itu secara sederhana terdiri dua elemen, yakni esensi dan sensasi; isi dan bungkus; inti dan perifer; sejati dan konsekuensi logis. Kedua elemen itu melahirkan sebuah prinsip bahwa tugas atau orientasi kehidupan  manusia sesungguhnya bagaimana terus berjuang untuk menjadi esensi, isi, inti atau sejati; bukan sebaliknya.

Jadi, tujuan hidup manusia sesungguhnya terus berjuang menjadi ”manusia esensi, manusia isi, manusia inti, manusia sejati”. Jika hal ini dilakukan, maka sensasi, bungkus, perifer, atau konsekuensi logis akan  hadir dengan sendirinya dalam hidupnya. Demikian juga halnya dengan hakikat kepemimpinan.

Lebih mengejar sensasi

Namun, dalam praktik kehidupan (dan kepemimpinan modern), khususnya di negeri kita, prinsip  kehidupan di atas justru telah diputarbalikkan. Manusia sekarang lebih suka mengejar dulu  sensasi, bungkus, perifer atau konsekuensi logis kehidupan. Seorang pelajar, misalnya, seharusnya dia lebih dulu berjuang untuk menjadi ”pelajar esensial, pelajar berisi, pelajar inti atau pelajar sejati” (bukan hanya cerdas otak, tetapi juga karakter, kepribadian bahkan spiritual). Sebab, jika ia sudah menjadi pelajar esensial atau pelajar sejati,  maka konsekuensi logis akan datang sendirinya,  seperti nilai dan peringkat yang baik, atau bahkan juara.  Menjadi pelajar esensial atau sejati otomatis jadi pelajar bermanfaat, pelajar bermakna.

Demikian pula halnya dengan hakikat kepemimpinan. Seorang pemimpin seyogianya bertugas atau berorientasi jadi pemimpin esensial (sejati) lebih dulu, bukan yang berorientasi mengejar konsekuensi logisnya. Panggung kepemimpinan nasional kita sangat jauh dari prinsip menjadi ”pemimpin esensi(al), pemimpin inti atau pemimpin sejati.” Kebanyakan pemimpin itu cenderung atau bahkan membabi-buta lebih dulu mengejar sensasi, bungkus, perifer atau konsekuensi logisnya: kekuasaan! Pemimpin tipe ini disebut pemimpin sensasional. Berbagai sensasi kepemimpinan dibuatnya tanpa menoleh pada esensi kepemimpinannya. Sensasi kepemimpinan itu tak bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau pengikutnya.

Padahal, jika becermin pada Viktor Frankl, bahwasannya kekuasaan itu hanyalah  konsekuensi logis dari upaya seseorang untuk menjadi ”pemimpin esensial”. Kekuasaan bukan tujuan, melainkan sarana untuk menjadi pemimpin esensial. Jika seseorang sudah mampu jadi pemimpin esensial (yang bernuansakan nilai-nilai dan kepentingan kemanusiaan, bangsa, umat manusia, rakyat), maka kekuasaan beserta segenap kenikmatan  hidup akan datang dengan sendirinya.

Namun, yang terjadi adalah sebongkah nafsu dan pertanyaan: ”Apa kenikmatan kekuasaan yang bisa didapat bagi diri sendiri dulu?” Karena itu, kita berlimpah dengan pemimpin sensasional dibandingkan pemimpin esensial alias pemimpin  sejati.

Ada beberapa elemen kepemimpinan yang berbeda antar- kedua tipe pemimpin sehingga memberikan implikasi kepemimpinan yang berlainan pula. Pertama, pemimpin esensial biasanya bekerja, berinteraksi, dan memimpin berlandaskan asas transformasional dengan para pengikut (rakyat). Dengan asas tranformasional, nyaris sebagian besar aksi kepemimpinannya diarahkan agar rakyat mengalami transformasi (perubahan) kehidupan yang lebih baik. Dia hampir tak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, berani menghadapi risiko, dan kepemimpinan baginya adalah amanah—bahkan panggilan hidup.

Sementara pemimpin sensasional biasanya bekerja, berinteraksi, dan memimpin berlandaskan asas transaksional. Asas transaksional itu lebih dulu ditujukan untuk berbagai ”transaksi” yang menguntungkan dirinya, bukan rakyat. Jika itu terpenuhi, baru keuntungan rakyat dipikirkan. Dia cenderung mendahulukan dan menempatkan kepentingan diri di atas rakyatnya, menghindari risiko dengan cara melemparkan berbagai tanggung jawab ke pihak lain (termasuk pada pemimpin terdahulu), dan kepemimpinan baginya adalah fasilitas—bukan panggilan hidup atau amanah.

Dia cenderung berorientasi pada konsekuensi logis kepemimpinan, yaitu kekuasaan beserta segenap kemudahan dan kenikmatannya. Celakanya, pentas kepemimpinan nasional di negeri ini lebih banyak dimainkan para pemimpin sensasional—di segenap dimensi: eksekutif, legislatif, yudikatif,—yang oportunis, menempatkan syahwatnya di atas kepentingan rakyat. Jadi, jangan heran jika para pemimpin koruptor bergentayangan di segenap dimensi, termasuk salah satunya kasus ketua lembaga legislatif yang menggegerkan. Agak jauh sebelumnya adalah ketua salah satu lembaga yudikatif. Banyak sekali jika mau dirinci. Mereka adalah para pemimpin sensasional yang lebih dulu mengejar konsekuensi logis: kekuasaan!

Perbedaan  elemen kepemimpinan di atas memberikan implikasi kepemimpinan yang berbeda pula. Melalui hubungan transformasionalnya, pemimpin esensial akan mendapatkan kesetiaan (loyalty) daripada pengikut atau rakyat yang ia pimpin. Kesetiaan akan melahirkan rasa segan kepada sang pemimpin. Sementara pemimpin sensasional dengan hubungan transaksionalnya akan menerima kepatuhan (obedience) dari pengikut atau rakyatnya. Dan, kepatuhan itu lebih dilandasi oleh rasa takut. 

Sebuah ilustrasi

Ada ilustrasi praktikal yang menarik terkait uraian tentang elemen kepemimpinan di atas. Pemimpin esensial yang memiliki kesetiaan dan rasa segan dari rakyat atau pengikutnya relatif tak memerlukan kehadiran fisikal dari sang pemimpin. Artinya, meski sang pemimpin tak hadir secara fisik, pengikut akan tetap menjalankan semua instruksi atau kebijakan kepemimpinan sang pemimpin. Bahkan pada titik ekstrem, ketika sang pemimpin telah berlalu (meninggal sekalipun), kepemimpinannya tetap hadir, dikenang, dan dijalankan oleh para pengikutnya. Kepemimpinan seorang pemimpin esensial akan berlangsung lebih panjang dibandingkan umur sang pemimpin sendiri. Beberapa contoh berikut adalah sebagian kecil tipe pemimpin esensial: Nelson Mandela, Soekarno atau dalam skala lebih terbatas: Basuki Tjahaja Purnama, mantan gubernur DKI Jakarta.

Sementara pemimpin sensasional yang mengandalkan kepatuhan serta rasa takut, relatif butuh kehadiran fisikal sang pemimpin. Sebab, ketika sang pemimpin tak hadir secara fisik, pengikut akan cenderung tak menjalankan instruksi atau kebijakan sang pemimpin. Tanpa sosok sang pemimpin, para pengikut tak takut lagi. Istilahnya: kucing tak ada, tikus berlarian berpesta pora. Ketika pemimpin berbalik, pengikut mencibirkan bibirnya di belakang punggungnya. Kepemimpinan nasional kita lebih banyak dihuni para pemimpin sensasional. Ini cukup menyulitkan Presiden Joko Widodo yang bertipe pemimpin esensial. Namun, berbagai peneladanan kepemimpinan esensial yang dipertontonkannya selama ini cukup memberikan harapan. Dan, itu ibarat seteguk air di tengah hamparan padang gurun kepemimpinan sensasional di negeri yang kita cintai ini.

Bisa Lihat Videonya Di Sini



Herry Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan Sumber : Merindukan Pemimpin Essensial Kompas.id, 25 November 2017