October 26, 2016

Nomor Urut Satu Simbol Sial di Pilkada DKI?




Kalau soal Nama, semua orang sudah tahu dengan istilah Apalah arti sebuah Nama. Tapi soal Angka? Semua orang juga tahu ada Angka 13 sebagai symbol angka sial. Di jalan komplek perumahan yang saya tinggali, tidak ada angka 13 nya. Pa Pos sih sudah lama tahu soal tidak adanya nomor itu. Warga nggak mau memakainya. Buat Pilkada DKI beda lagi. Dua kali pemilu belakangan ini, pemilik Nomor Satu selalu kalah. Pasangan calon yang merasakan kutukan nomor urut satu untuk kali pertama adalah pasangan Adang Darajatun-Dani Anwar[1] yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera. Saat itu, Adang-Dani yang tak menghadiri acara pengundian nomor urut di KPU DKI Jakarta mendapat nomor urut satu setelah pesaingnya, pasangan Fauzi Bowo-Prijanto mendapat nomor urut dua ketika mengambil undian nomor.
Peristiwa itu sempat memicu sedikit kericuhan karena sebagian pendukung Foke-Prijanto memprotes ketidakhadiran Adang-Dani. Mereka meminta KPU DKI Jakarta menyerahkan nomor urut satu kepada Foke-Prijanto dengan alasan bentuk penghormatan atas kehadiran pasangan tersebut. Protes dan permintaan para pendukung Foke-Prijanto sebenarnya dapat dipahami mengingat nomor satu kerap diasosiasikan dengan segala hal yang berbau positif. Oleh sebagian masyarakat, nomor satu lazim diyakini sebagai nomor pembawa keberuntungan atau simbol kemenangan. Hal inilah yang kemungkinan juga diyakini para pendukung Foke-Prijanto kala itu. Namun, KPU DKI Jakarta yang saat itu diketuai oleh Juri Ardiantoro, menolak permintaan kubu Foke.
Tak ada yang bisa menebak apa hasilnya jika KPU DKI Jakarta mengabulkan permintaan pendukung Foke-Prijanto. Yang pasti, kemenangan Foke-Prijanto saat itu diraih saat statusnya sebagai pasangan nomor urut dua. Foke-Prijanto yang diusung oleh sejumlah partai besar seperti PPP, Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, PKB, dan PAN berhasil meraih 2.109.511 suara atau 57,87 persen dari total pemilih. Sedangkan, pasangan Adang-Dani yang didukung Partai Keadilan Sejahtera mendulang 1.535.555 suara atau 42,13 persen.
Meski demikian, harus diakui dan ini yang dikatakan oleh para pengamata waktu itu, bahwa kekalahan Adang-Dani karena minimnya dukungan partai. Mereka hanya diusung oleh PKS saja.

Sialnya Angka Satu di Pilkada DKI
Selama ini sebenarnya masyarakat kita selalu mengidolakan Nomor SATU ia bagai symbol Kecap yang tidak punya nomor DUA. Tapi untuk Pilkada DKI Lain lagi. Faktanya nomor urut satu kembali memakan korban di Pilkada Jakarta berikutnya di tahun 2012. Kali ini korbannya justru calon petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli. Ya  waktu itu  Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta, Jumat, 11 Mei 2012 lalu, menetapkan enam pasangan calon gubernur. Secara sederhana, pasangan petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, yang diusung Partai Demokrat, akan berhadapan dengan lima pasang penantang. Para penantang itu ialah Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini oleh Partai Keadilan Sejahtera, Alex Noerdin-Nono Sampono oleh Partai Golkar, dan dua pasangan independen, Faisal Basri-Biem Benyamin, serta Hendardji Soepandji-A. Riza Patria.
Dalam konstek persaingan waktu itu, banyaknya penantang justru memperkuat positioning politik petahana, karena mengemukanya realitas persaingan antar-penantang. Para penantang tentu punya kepentingan yang sama dalam membeberkan kampanye negatif kepada lawan-lawan mereka, khususnya petahana. Mereka juga berhadapan dengan sesama penantang, yang bisa jadi saling mengeluarkan jurus kampanye negatif satu sama lain. Para penantang punya dua pesaing yang harus dihadapi, petahana dan para penantang lain. Namun, karena ini pemilu langsung, semua pasangan harus mampu tampil atraktif di depan calon pemilih. Jelas, dalam hal ini petahana punya posisi yang lebih menguntungkan ketimbang yang lain. Dengan memaparkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya, terutama di sektor-sektor strategis, jelas Petahana sangat memukau.
Dalam pemilihan kepala daerah waktu itu, kubu petahana tampak tak mau kalah atraktif dibanding para penantang. Salah satu kartu yang membuat publik berpikir ulang untuk tidak berpindah dari petahana adalah pemaparan gagasan Mass Rapid Transportation yang tampak visioner dan memang sangat ideal untuk Jakarta. Petahana memang kelebihan “isu-isu visioner” pembangunan, yang sudah berjalan dan tinggal melanjutkan. Karena itu, kampanye petahana sesungguhnya cukup bertumpu pada tema misi Tugas Belum Usai atau Belum Tuntas, dan butuh satu periode lagi untuk melanjutkan semuanya. Persepsi yang potensial berkembang ialah hanya petahana yang bisa melanjutkan “gagasan-gagasan visioner” itu. Luar biasa.Dari sisi penantang, tampak belum ada konsep yang begitu berbeda dibanding tawaran-tawaran kubu petahana. Inilah yang menyebabkan kubu petahana dikesankan lebih visioner. Dan karena itu, kunci untuk mengalahkan petahana adalah dengan membeberkan kelemahan kepemimpinan petahana periode sebelumnya.
Kala itu persaingan jelas tidak seimbang, Patahana jauh diatas angin. Karena sudah memerintah satu periode, apalagi waktu itu Fauzi Bowo sebelumnya berpasangan dengan Prijanto, tapi kemudian “pecah Kongsi”, makamudah sekali membeberkan kelemahan kepemimpinan dan kebijakan petahana. Di sisi ini, masalah utama petahana ialah soal kepercayaan publik. Sepertinya Petahana tidak bisa mengoptimalkan wakilnya. Maka jadilah kelemahan ini sebagai sasaran tembak serta dibumbui dengan Sikap bawaan Foke yang waktu itu selalu dipersonifikasi sebagai “yang pintar sendiri” dengan sinisme dan Kurang Berempati.
Kubu petahana memang lebih bertumpu pada potensi pemilih rasional, penikmat berbagai kebijakan patahana, dan mapan. Mereka menyebutnya, bahwa perubahan tetap dalam kesinambungan dan itu ternyata banyak disuka. Tapi, dalam hal kepercayaan publik ditambah lagi persoalan karakter “sinis dan kurang berempati” terus di tonjolkan, ternyata jadi mengemuka. Meski demikian, benteng pertahanan kubu petahana tampak masih begitu kuat di tengah gerilya serbuan para penantang. Walaupun popularitas petahana cenderung menurun, ia tertolong adanya realitas persaingan antar-penantang dalam meraih yang terbaik. Banyaknya kubu penantang membuat dinamika persaingan lebih seru. Jadi memang pilkada kali DKI waktu itu semarak dan seru.
Hasilnya sungguh mengejutkan,  ternyata Petahana yang demikian kuat dan dominan di segala lini serta didukung dana pencitraan yang tiada habisnya dan mewakili warga asli Jakarte. Ternyata tidak mampu mengalahkan Jokowi-Ahok. Pasangan pendatang baru, dua tokoh anak muda yang sesungguhnya hanya biasa-biasa saja. Tetapi punya nyali luarbiasa. Tapi harus diakui, orang sudah bosan dengan kepemimpinan tradisional, yang umumnya menebar berbagai kemudahan dan kelebihan bagi para pengikutnya tetapi sangat arogan dan tidak peduli pada masyarakat yang tersingkirkan. Pemimpin dari zaman yang tumpul ke atas tapi sangat tajam ke bawah. Pemimpin yang cenderung “menganiaya” warganya sendiri ditambah budaya Pungli yang ada di hamper semua Lini.  Ternyata kalau jeli, petahana yang kuat sekalipun bisa dikalahkan di kandangnya sendiri.
Kalau pada tahun 2007 pasangan nomor urut satu Adang-Dani kalah,  dan para pengamat mengatakan kalahnya Adang-Dani karena minimnya dukungan Partai Politik, karena mereka hanya di dukung oleh PKS saja. Tetapi kemudian pada tahun 2012, pasangan Patahana Foke- Nachrowi Ramli dengan momor urut SATU yang juga mewakili warga Betawi serta diunsung oleh banyak partai ternyata kalah juga. Kita percaya bahwa nomor ya tetaplah sebuah nomor. Soal bagaimana suatu nomor itu bisa jadi pecundang atau pemenang, tentu tidak lepas dari siapa si pemilik Nomoe tersebut.






[1] http://www.cnnindonesia.com/politik/20161025100800-32-167721/pilkada-jakarta-dan-kutukan-nomor-urut/