Oleh Harmen Batubara
Pada tahun 1980-an, ketika saya masih muda dan bertugas sebagai penjaga perbatasan Indonesia-Malaysia di Kampung Seluas, Kalimantan Barat, saya sering menyaksikan langsung arus masuk pakaian bekas. Hampir setiap malam, 10-15 pemikul menyeberang membawa barang-barang ini secara diam-diam. Setelah terkumpul banyak, mereka dikirim ke Pontianak, lalu dikapalkan ke Jakarta. Fenomena ini bukan hal baru; bisnis thrifting atau perdagangan pakaian bekas impor telah berlangsung puluhan tahun, dan kini semakin marak di berbagai pasar tradisional Indonesia.
“Pasar Thrifting
di Filipina sebagai Contoh Nyata”
Di
Filipina, pasar thrifting seperti Divisoria atau UKAY-UKAY di pusat-pusat kota
seperti Manila sangat populer. Warga Filipina, terutama kalangan muda dan kelas
menengah bawah, antusias memburu pakaian bekas berkualitas dari Eropa dan
Amerika. Harga sangat murah—sepatu branded yang aslinya jutaan rupiah bisa
dijual hanya Rp100.000-200.000. Ini menjadi solusi modis bagi anak muda yang
ingin tampil stylish tanpa menguras kantong. Kekuatan thrifting di sini: “aksesibilitas
harga rendah, variasi barang unik (sering kali branded ori), dan ramah
lingkungan karena mendaur ulang”. Namun, kelemahannya jelas: “kualitas tidak
merata (bisa rusak atau aus), risiko kesehatan dari bahan kimia lama, serta
dampak lingkungan dari transportasi jarak jauh”.
Di Indonesia, thrifting menggerus sektor
tekstil. Data BPS via Katadata: impor pakaian bekas (HS 63090000) Jan-Agustus
2025 capai 1.243 ton, naik dari 7 ton (2021), 12 ton (2022-2023), hingga 3.600
ton (2024). Kementerian Koperasi: potensi kerugian negara Rp100 triliun/tahun
(2018-2022). Bea Cukai sita 21.054 bal (Rp120,6 miliar) Okt 2024-Okt 2025, dan
17.200 bal (1.720 ton/8,6 juta pcs) 2024-2025. Dampak: Tekstil GDP turun (studi
2025), pabrik seperti Sritex tutup, jutaan pekerja terdampak, karena harga
thrifting 50-70% lebih murah.
Di
Indonesia, thrifting memang menekan industri tekstil lokal. Data Kementerian
Perindustrian menunjukkan impor pakaian bekas mencapai ribuan ton per tahun,
membuat produk pabrikan lokal sulit bersaing karena harga thrifting 50-70%
lebih murah. Ini ironi: sepatu bekas premium jadi terjangkau, tapi pabrik lokal
kehilangan pasar, menutup peluang produk baru dan lapangan kerja—sektor garmen
menyerap jutaan pekerja. Fakta sejarah mendukung: di negara seperti Filipina, larangan
thrifting sementara pada 2010-an justru mendorong produk lokal laku karena
konsumen beralih, membuka lapangan kerja baru. Namun, larangan total sering
gagal karena smuggler beradaptasi, seperti yang saya lihat di perbatasan dulu.
“Contoh Regulasi
Sukses di Negara Lain”
“Kenya
& Tanzania[1]
(Afrika Timur)”: Naikkan pajak impor SHC 300% (2005), hasilkan pendapatan
signifikan sambil lindungi tekstil lokal; Ghana/Kenya impor 60% SHC Sub-Sahara
tapi pajak tinggi ciptakan keseimbangan.
“Chile[2]
(Amerika Latin)”: Tarif nol tapi perketat fumigasi/traceability via RETC &
Circular Economy Strategy; minimalkan limbah tekstil, dorong daur ulang &
aliansi publik-swasta untuk lapangan kerja.
“South Africa[3]”: Insentif pajak targeted (METR rendah) untuk tekstil, hindari ban total agar saingi impor China/India. Pelajaran: Ban cepat (Rwanda) gagal, gradual + insentif sukses.
“Pandangan Tidak
Memihak dan Solusi Praktis”
Thrifting
bukan musuh mutlak; ia demokratisasi fashion tapi juga ancaman bagi UMKM lokal.
Solusi seimbang:
-
“Regulasi ketat”: Pajak impor tinggi, kuota masuk, dan sertifikasi kualitas
untuk thrifting, sambil beri insentif subsidi bagi produsen lokal agar harga
kompetitif.
-
“Inovasi lokal”: Dorong desainer muda ciptakan produk affordable dengan desain
unik, kolaborasi dengan thrifter untuk hybrid (bekas + lokal).
-
“Edukasi konsumen”: Kampanye "beli lokal untuk lapangan kerja" tanpa
larang total, seperti model Filipina yang kini gabungkan thrifting legal dengan
dukungan UMKM.
Pendekatan ini hindari ironisnya larangan yang malah picu pasar gelap, sambil jaga manfaat thrifting bagi masyarakat bawah.
[1] [subr.edu](https://www.subr.edu/assets/subr/COBJournal/Second-Hand-Clothing-in-the-Developing-World.pdf)[sciencedirect.com](https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1364032124008426)
[2] [greenpolicyplatform.org](https://www.greenpolicyplatform.org/sites/default/files/downloads/resource/Reversing%20direction%20in%20the%20used%20clothing%20crisis-%20Global%2C%20European%20and%20Chilean%20perspectives.pdf)
[3] [openscholar.dut.ac.za](https://openscholar.dut.ac.za/bitstreams/85101f95-8b21-4516-99db-3e58b4d9a694/download)[fashionlawacademyafrica.com](https://www.fashionlawacademyafrica.com/post/a-review-of-the-economic-impact-of-second-hand-clothing-bans-in-africa)

