November 28, 2025

Benarkah Bisnis Thrifting Menggerus Pasar Produksi Lokal?

 Oleh  Harmen Batubara 

Pada tahun 1980-an, ketika saya masih muda dan bertugas sebagai penjaga perbatasan Indonesia-Malaysia di Kampung Seluas, Kalimantan Barat, saya sering menyaksikan langsung arus masuk pakaian bekas. Hampir setiap malam, 10-15 pemikul menyeberang membawa barang-barang ini secara diam-diam. Setelah terkumpul banyak, mereka dikirim ke Pontianak, lalu dikapalkan ke Jakarta. Fenomena ini bukan hal baru; bisnis thrifting atau perdagangan pakaian bekas impor telah berlangsung puluhan tahun, dan kini semakin marak di berbagai pasar tradisional Indonesia.

“Pasar Thrifting di Filipina sebagai Contoh Nyata”  

Di Filipina, pasar thrifting seperti Divisoria atau UKAY-UKAY di pusat-pusat kota seperti Manila sangat populer. Warga Filipina, terutama kalangan muda dan kelas menengah bawah, antusias memburu pakaian bekas berkualitas dari Eropa dan Amerika. Harga sangat murah—sepatu branded yang aslinya jutaan rupiah bisa dijual hanya Rp100.000-200.000. Ini menjadi solusi modis bagi anak muda yang ingin tampil stylish tanpa menguras kantong. Kekuatan thrifting di sini: “aksesibilitas harga rendah, variasi barang unik (sering kali branded ori), dan ramah lingkungan karena mendaur ulang”. Namun, kelemahannya jelas: “kualitas tidak merata (bisa rusak atau aus), risiko kesehatan dari bahan kimia lama, serta dampak lingkungan dari transportasi jarak jauh”.


“Masalah Fakta: Apakah Thrifting Menggerus Produksi Lokal?”  

Di Indonesia, thrifting menggerus sektor tekstil. Data BPS via Katadata: impor pakaian bekas (HS 63090000) Jan-Agustus 2025 capai 1.243 ton, naik dari 7 ton (2021), 12 ton (2022-2023), hingga 3.600 ton (2024). Kementerian Koperasi: potensi kerugian negara Rp100 triliun/tahun (2018-2022). Bea Cukai sita 21.054 bal (Rp120,6 miliar) Okt 2024-Okt 2025, dan 17.200 bal (1.720 ton/8,6 juta pcs) 2024-2025. Dampak: Tekstil GDP turun (studi 2025), pabrik seperti Sritex tutup, jutaan pekerja terdampak, karena harga thrifting 50-70% lebih murah.

Di Indonesia, thrifting memang menekan industri tekstil lokal. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan impor pakaian bekas mencapai ribuan ton per tahun, membuat produk pabrikan lokal sulit bersaing karena harga thrifting 50-70% lebih murah. Ini ironi: sepatu bekas premium jadi terjangkau, tapi pabrik lokal kehilangan pasar, menutup peluang produk baru dan lapangan kerja—sektor garmen menyerap jutaan pekerja. Fakta sejarah mendukung: di negara seperti Filipina, larangan thrifting sementara pada 2010-an justru mendorong produk lokal laku karena konsumen beralih, membuka lapangan kerja baru. Namun, larangan total sering gagal karena smuggler beradaptasi, seperti yang saya lihat di perbatasan dulu.

“Contoh Regulasi Sukses di Negara Lain”  

“Kenya & Tanzania[1] (Afrika Timur)”: Naikkan pajak impor SHC 300% (2005), hasilkan pendapatan signifikan sambil lindungi tekstil lokal; Ghana/Kenya impor 60% SHC Sub-Sahara tapi pajak tinggi ciptakan keseimbangan.

 “Chile[2] (Amerika Latin)”: Tarif nol tapi perketat fumigasi/traceability via RETC & Circular Economy Strategy; minimalkan limbah tekstil, dorong daur ulang & aliansi publik-swasta untuk lapangan kerja.

 “South Africa[3]”: Insentif pajak targeted (METR rendah) untuk tekstil, hindari ban total agar saingi impor China/India. Pelajaran: Ban cepat (Rwanda) gagal, gradual + insentif sukses.

“Pandangan Tidak Memihak dan Solusi Praktis”  

Thrifting bukan musuh mutlak; ia demokratisasi fashion tapi juga ancaman bagi UMKM lokal. Solusi seimbang:  

- “Regulasi ketat”: Pajak impor tinggi, kuota masuk, dan sertifikasi kualitas untuk thrifting, sambil beri insentif subsidi bagi produsen lokal agar harga kompetitif.  

- “Inovasi lokal”: Dorong desainer muda ciptakan produk affordable dengan desain unik, kolaborasi dengan thrifter untuk hybrid (bekas + lokal).  

- “Edukasi konsumen”: Kampanye "beli lokal untuk lapangan kerja" tanpa larang total, seperti model Filipina yang kini gabungkan thrifting legal dengan dukungan UMKM.  

Pendekatan ini hindari ironisnya larangan yang malah picu pasar gelap, sambil jaga manfaat thrifting bagi masyarakat bawah.



[1] [subr.edu](https://www.subr.edu/assets/subr/COBJournal/Second-Hand-Clothing-in-the-Developing-World.pdf)[sciencedirect.com](https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1364032124008426)

[2] [greenpolicyplatform.org](https://www.greenpolicyplatform.org/sites/default/files/downloads/resource/Reversing%20direction%20in%20the%20used%20clothing%20crisis-%20Global%2C%20European%20and%20Chilean%20perspectives.pdf)

[3] [openscholar.dut.ac.za](https://openscholar.dut.ac.za/bitstreams/85101f95-8b21-4516-99db-3e58b4d9a694/download)[fashionlawacademyafrica.com](https://www.fashionlawacademyafrica.com/post/a-review-of-the-economic-impact-of-second-hand-clothing-bans-in-africa)