December 29, 2017

Menjaga Persaudaraan Dan Netralitas PNS Dalam Pilkada


Menjaga Persaudaraan Dan Netralitas PNS Dalam Pilkada

Presiden Joko Widodo meminta warga tetap menjaga silaturahim dan persaudaraan saat berlangsung pemilihan kepala daerah serentak 2018. Presiden mengingatkan agar perbedaan pilihan jangan sampai membuat hubungan silaturahim terputus. ”Saya titip, tahun depan ada 171 pilkada di seluruh Indonesia, termasuk Jawa Barat. Jangan sampai karena berbeda pilihan calon gubernur, bupati, dan wali kota, kita jadi terpecah. Jangan!” kata Presiden dalam peringatan Hari Ulang Tahun Ke-51 Angkatan Muda Siliwangi (AMS) di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (28/12).
Turut hadir dalam acara itu Ny Iriana Joko Widodo, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, dan Ketua Umum AMS Noeri Ispandji Firman.

Presiden menekankan, jangan karena proses demokrasi yang memperkenankan perbedaan pendapat dan pilihan politik, Indonesia malah terpecah. ”Kita ini semua saudara sebangsa dan setanah air. Mari kita jaga terus persaudaraan saat sebelum dan setelah pilkada. Saat pilkada usai juga, mari kita kembali bersatu karena kita semua saudara,” ujar Presiden. Pesan Presiden ini relevan untuk diantisipasi oleh semua pihak. Mengacu pada Indeks Kerawanan Pilkada (IKP) yang dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), akhir November lalu, 81 dari 171 daerah penyelenggara pilkada serentak 2018 punya kerawanan tinggi dan sedang.

IKP disusun berdasarkan tiga dimensi besar, yakni partisipasi (35 persen), kontestasi (35 persen), dan penyelenggaraan (30 persen). Dimensi besar itu diterjemahkan menjadi 30 indikator, di antaranya pemilih yang tidak menggunakan hak pilih pada pemilihan terdahulu, kekerasan terhadap pemilih, konflik antarpeserta, pelaporan politik uang, identifikasi kekerabatan calon, dan dukungan ganda partai politik. Indeks dibagi dalam tiga kluster kerawanan, yaitu tinggi (3,0-5,0), sedang (2,00-2,99), dan rendah (di bawah 2,00).

Dari 17 daerah yang menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 3 provinsi tercatat dalam tingkat kerawanan tinggi, yakni Papua (3,41), Maluku (3,25), dan Kalimantan Barat (3,04). Sebanyak 14 provinsi lainnya dalam kategori kerawanan sedang. Sementara dari 154 kabupaten dan kota, 6 daerah tergolong kategori tinggi, yakni Kabupaten Mimika (3,43), Paniai (3,41), Jayawijaya (3,40), Puncak (3,28), Konawe (3,07), dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (3,05). Selain itu, 58 daerah masuk dalam kategori sedang dan 90 daerah lainnya tergolong kategori rendah.

Noeri Ispandji Firman sangat menghargai kehadiran Presiden Jokowi dalam peringatan HUT Ke-51 AMS. Menurut Noeri, pihaknya akan berperan aktif menjaga agar semangat persaudaraan sebagai bangsa Indonesia tidak hilang akibat pilkada serentak 2018. Jawa Barat merupakan satu dari 17 provinsi yang menggelar pemilihan kepala daerah pada Juni 2018. Sejumlah kandidat sudah muncul sebagai bakal calon peserta Pilkada Jabar.

Partai Golkar dan Partai Demokrat akan mengusung Dedi Mulyadi (Bupati Purwakarta yang juga Ketua DPD Partai Golkar Jabar) dan Dedi Mizwar
(Wakil Gubernur Jawa Barat 2013-2018). Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional mengusung Mayor Jenderal (Purn) Sudrajat dan Ahmad Syaikhu (Wakil Wali Kota Bekasi). Adapun Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mendapat dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Nasdem.

Pengawasan diperketat

Memasuki tahun politik seiring penyelenggaraan pilkada serentak 2018, pengawasan terhadap aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil (PNS) diperketat. Semua menteri, pemimpin lembaga, gubernur, hingga bupati/wali kota diminta meningkatkan pengawasan terhadap pegawai negeri sipil agar tetap netral, tidak turut dalam dukung-mendukung kandidat pada pemilihan kepala daerah serentak 2018 ataupun pemilihan umum serentak 2019.

Permintaan itu tertuang dalam Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Asman Abnur yang ditandatangani pada Rabu (27/12). ”Pimpinan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah agar melakukan pengawasan terhadap aparatur sipil negara di instansi masing-masing,” kata Asman di Jakarta, Kamis.

Surat bernomor B/71.M.SM. 00.00/2017 tersebut dikirimkan kepada semua instansi pemerintah di pusat dan daerah. Asman mengingatkan ada sanksi bagi aparatur sipil negara yang tidak netral. Secara terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Sunanto mengatakan, regulasi soal netralitas aparatur sipil negara sudah banyak. Namun, regulasi itu belum efektif selama sanksi tegas tidak diterapkan. ”Harus ada sanksi tegas dengan mekanisme penanganan kasus pelibatan PNS dalam politik yang berlangsung cepat sehingga bisa menimbulkan efek jera,” katanya. (BKY/NTA/Mhd)


Sumber : Kompas.id Persaudaraan Tetap Dijaga Dalam Pilkada. Menpan dan RB Ingatkan Netralitas Aparatur Sipil Negara ; 29 Desember 2017


November 26, 2017

Merindukan Pemimpin Alamiah



Oleh : Herry Tjahjono  

Secara kontekstual ada dua tipe pemimpin yang menarik untuk dikaji dalam kaitan praksis kepemimpinan sehari-hari di negeri ini. Pertama, adalah pemimpin esensial dan kedua, pemimpin sensasional.  Kedua tipe pemimpin ini berhubungan dengan orientasi kehidupan manusia secara umum. Kehidupan itu secara sederhana terdiri dua elemen, yakni esensi dan sensasi; isi dan bungkus; inti dan perifer; sejati dan konsekuensi logis. Kedua elemen itu melahirkan sebuah prinsip bahwa tugas atau orientasi kehidupan  manusia sesungguhnya bagaimana terus berjuang untuk menjadi esensi, isi, inti atau sejati; bukan sebaliknya.

Jadi, tujuan hidup manusia sesungguhnya terus berjuang menjadi ”manusia esensi, manusia isi, manusia inti, manusia sejati”. Jika hal ini dilakukan, maka sensasi, bungkus, perifer, atau konsekuensi logis akan  hadir dengan sendirinya dalam hidupnya. Demikian juga halnya dengan hakikat kepemimpinan.

Lebih mengejar sensasi

Namun, dalam praktik kehidupan (dan kepemimpinan modern), khususnya di negeri kita, prinsip  kehidupan di atas justru telah diputarbalikkan. Manusia sekarang lebih suka mengejar dulu  sensasi, bungkus, perifer atau konsekuensi logis kehidupan. Seorang pelajar, misalnya, seharusnya dia lebih dulu berjuang untuk menjadi ”pelajar esensial, pelajar berisi, pelajar inti atau pelajar sejati” (bukan hanya cerdas otak, tetapi juga karakter, kepribadian bahkan spiritual). Sebab, jika ia sudah menjadi pelajar esensial atau pelajar sejati,  maka konsekuensi logis akan datang sendirinya,  seperti nilai dan peringkat yang baik, atau bahkan juara.  Menjadi pelajar esensial atau sejati otomatis jadi pelajar bermanfaat, pelajar bermakna.

Demikian pula halnya dengan hakikat kepemimpinan. Seorang pemimpin seyogianya bertugas atau berorientasi jadi pemimpin esensial (sejati) lebih dulu, bukan yang berorientasi mengejar konsekuensi logisnya. Panggung kepemimpinan nasional kita sangat jauh dari prinsip menjadi ”pemimpin esensi(al), pemimpin inti atau pemimpin sejati.” Kebanyakan pemimpin itu cenderung atau bahkan membabi-buta lebih dulu mengejar sensasi, bungkus, perifer atau konsekuensi logisnya: kekuasaan! Pemimpin tipe ini disebut pemimpin sensasional. Berbagai sensasi kepemimpinan dibuatnya tanpa menoleh pada esensi kepemimpinannya. Sensasi kepemimpinan itu tak bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat atau pengikutnya.

Padahal, jika becermin pada Viktor Frankl, bahwasannya kekuasaan itu hanyalah  konsekuensi logis dari upaya seseorang untuk menjadi ”pemimpin esensial”. Kekuasaan bukan tujuan, melainkan sarana untuk menjadi pemimpin esensial. Jika seseorang sudah mampu jadi pemimpin esensial (yang bernuansakan nilai-nilai dan kepentingan kemanusiaan, bangsa, umat manusia, rakyat), maka kekuasaan beserta segenap kenikmatan  hidup akan datang dengan sendirinya.

Namun, yang terjadi adalah sebongkah nafsu dan pertanyaan: ”Apa kenikmatan kekuasaan yang bisa didapat bagi diri sendiri dulu?” Karena itu, kita berlimpah dengan pemimpin sensasional dibandingkan pemimpin esensial alias pemimpin  sejati.

Ada beberapa elemen kepemimpinan yang berbeda antar- kedua tipe pemimpin sehingga memberikan implikasi kepemimpinan yang berlainan pula. Pertama, pemimpin esensial biasanya bekerja, berinteraksi, dan memimpin berlandaskan asas transformasional dengan para pengikut (rakyat). Dengan asas tranformasional, nyaris sebagian besar aksi kepemimpinannya diarahkan agar rakyat mengalami transformasi (perubahan) kehidupan yang lebih baik. Dia hampir tak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, berani menghadapi risiko, dan kepemimpinan baginya adalah amanah—bahkan panggilan hidup.

Sementara pemimpin sensasional biasanya bekerja, berinteraksi, dan memimpin berlandaskan asas transaksional. Asas transaksional itu lebih dulu ditujukan untuk berbagai ”transaksi” yang menguntungkan dirinya, bukan rakyat. Jika itu terpenuhi, baru keuntungan rakyat dipikirkan. Dia cenderung mendahulukan dan menempatkan kepentingan diri di atas rakyatnya, menghindari risiko dengan cara melemparkan berbagai tanggung jawab ke pihak lain (termasuk pada pemimpin terdahulu), dan kepemimpinan baginya adalah fasilitas—bukan panggilan hidup atau amanah.

Dia cenderung berorientasi pada konsekuensi logis kepemimpinan, yaitu kekuasaan beserta segenap kemudahan dan kenikmatannya. Celakanya, pentas kepemimpinan nasional di negeri ini lebih banyak dimainkan para pemimpin sensasional—di segenap dimensi: eksekutif, legislatif, yudikatif,—yang oportunis, menempatkan syahwatnya di atas kepentingan rakyat. Jadi, jangan heran jika para pemimpin koruptor bergentayangan di segenap dimensi, termasuk salah satunya kasus ketua lembaga legislatif yang menggegerkan. Agak jauh sebelumnya adalah ketua salah satu lembaga yudikatif. Banyak sekali jika mau dirinci. Mereka adalah para pemimpin sensasional yang lebih dulu mengejar konsekuensi logis: kekuasaan!

Perbedaan  elemen kepemimpinan di atas memberikan implikasi kepemimpinan yang berbeda pula. Melalui hubungan transformasionalnya, pemimpin esensial akan mendapatkan kesetiaan (loyalty) daripada pengikut atau rakyat yang ia pimpin. Kesetiaan akan melahirkan rasa segan kepada sang pemimpin. Sementara pemimpin sensasional dengan hubungan transaksionalnya akan menerima kepatuhan (obedience) dari pengikut atau rakyatnya. Dan, kepatuhan itu lebih dilandasi oleh rasa takut. 

Sebuah ilustrasi

Ada ilustrasi praktikal yang menarik terkait uraian tentang elemen kepemimpinan di atas. Pemimpin esensial yang memiliki kesetiaan dan rasa segan dari rakyat atau pengikutnya relatif tak memerlukan kehadiran fisikal dari sang pemimpin. Artinya, meski sang pemimpin tak hadir secara fisik, pengikut akan tetap menjalankan semua instruksi atau kebijakan kepemimpinan sang pemimpin. Bahkan pada titik ekstrem, ketika sang pemimpin telah berlalu (meninggal sekalipun), kepemimpinannya tetap hadir, dikenang, dan dijalankan oleh para pengikutnya. Kepemimpinan seorang pemimpin esensial akan berlangsung lebih panjang dibandingkan umur sang pemimpin sendiri. Beberapa contoh berikut adalah sebagian kecil tipe pemimpin esensial: Nelson Mandela, Soekarno atau dalam skala lebih terbatas: Basuki Tjahaja Purnama, mantan gubernur DKI Jakarta.

Sementara pemimpin sensasional yang mengandalkan kepatuhan serta rasa takut, relatif butuh kehadiran fisikal sang pemimpin. Sebab, ketika sang pemimpin tak hadir secara fisik, pengikut akan cenderung tak menjalankan instruksi atau kebijakan sang pemimpin. Tanpa sosok sang pemimpin, para pengikut tak takut lagi. Istilahnya: kucing tak ada, tikus berlarian berpesta pora. Ketika pemimpin berbalik, pengikut mencibirkan bibirnya di belakang punggungnya. Kepemimpinan nasional kita lebih banyak dihuni para pemimpin sensasional. Ini cukup menyulitkan Presiden Joko Widodo yang bertipe pemimpin esensial. Namun, berbagai peneladanan kepemimpinan esensial yang dipertontonkannya selama ini cukup memberikan harapan. Dan, itu ibarat seteguk air di tengah hamparan padang gurun kepemimpinan sensasional di negeri yang kita cintai ini.

Bisa Lihat Videonya Di Sini



Herry Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan Sumber : Merindukan Pemimpin Essensial Kompas.id, 25 November 2017


November 13, 2017

E-Pilkades Untuk Gresik yang Lebih Baik



Oleh Adi Sucipto Kisswara   

Kabupaten Gresik, Jawa Timur, kini mulai menerapkan e-pilkades. Teknologi informasi ini membuat risiko kecurangan makin kecil. Dengan e-pilkades, pelaksanaan pemilihan kepala desa pun lebih aman dari manipulasi. Warga hanya bisa memilih sekali karena sudah tercatatdi sistem digital. Pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak di Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Minggu (29/10), dilakukan dengan sistem e-pilkades. Ada lima dari 19 desa yang sudah menerapkan e-pilkades di Gresik. E-pilkades adalah aplikasi digital untuk mengenali pemilih. Sistem aplikasi itu mencegah terjadinya kecurangan, terutama menghindari pemilih mencoblos lebih dari satu kali. E-pilkades juga bisa menyaring warga yang tidak memiliki hak pilih. Pelaksanaan pemilihan kepala desa dengan menggunakan e-pilkades sudah dimulai pada hari Minggu (29/10). Dari 19 desa yang punya hajatan menggelar pilkades serentak, lima di antaranya sudah menjajal e-pilkades.


Bupati Gresik Sambari Halim Radianto mengatakan, lima desa itu ialah Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom; Desa Tulung, Kecamatan Kedamean; Desa Daun, Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean; Desa Panjunan dan Desa Kandangan, Kecamatan Duduksampean.Dalam pemilihan itu setiap warga yang mempunyai hak pilih harus menempelkan sidik jari ke mesin pemindai (scanner) yang terhubung dengan perangkat komputer.

Mesin pemindai itu akan mengenali pemilik hak suara. Warga dari luar desa, atau yang tak memiliki hak pilih, tidak akan terbaca sistem. Pemindai itu juga membuat warga hanya bisa memilih satu kali, karena mesin akan menandai warga yang sudah menggunakan hak pilih. Data pemilih juga lebih akurat, karena data berbasis pada kartu tanda penduduk elektronik yang sudah dilakukan pembersihan data sehingga terhindar dari data ganda. Sebelum masuk proses e-pilkades, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Gresik memang telah melakukan pembersihan data penduduk. Hal itu dilakukan untuk memvalidasi data ganda atau data penduduk yang tidak terbaca.

Hanya saja, saat pemungutan suara, antrean lebih lama karena pemindai yang digunakan tak langsung bisa mengenali sidik jadi pemilik hak suara. Di Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, misalnya, ada warga yang butuh waktu lama untuk dideteksi sidik jarinya. Akibatnya warga di belakangnya tidak sabar mengantre. Mereka berdesakan dan saling dorong. Akhirnya sebagian warga pun dicatat manual. Dalam e-pilkades ini warga dua kali dibaca sidik jarinya, yakni sebelum memilih dan setelah menggunakan hak pilihnya. Dalam kasus di Kepuhlagen, satu pemilih harus menempelkan jarinya beberapa kali ke perangkat pemindai sampai bisa terbaca. Ternyata, saat dicek, pemantau sidik jari sulit membaca sidik jari pemilih karena terkena keringat dan kotor. Akibatnya dalam satu jam mesin baru bisa memindai 100 orang. Sistem aplikasi e-pilkades menggunakan sidik jari itu, tambah Sambari, akan terus dievaluasi dan dibenahi.

Tren digital

Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman, saat meninjau pelaksanaan e-pilkades di Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, Minggu (29/10), menyatakan, tren penyelenggaraan pemilu di banyak negara ke depan tidak lagi manual. Digitalisasi diterapkan mulai dari logistik, data pemilih, sumber daya, hingga pemungutan suara, dan rekapitulasi. Di Indonesia, pemutakhiran data pemilih pada 2004 dan rekapitulasi suara pada Pemilihan Umum 2014 sudah mulai masuk proses digitalisasi. “Pada 2014, data digital bisa diakses siapa pun melalui e-rekap. Bahkan, pada pelaksanaan Pilkada DKI lalu, rekapitulasi digital bisa diakses 1×24 jam pasca-pemungutan,” kata Arief.



Proses digitalisasi pemilihan juga diterapkan di pilkades hingga pilkada. Digitalisasi dimulai di beberapa desa atau kecamatan. Salah satu daerah yang melakukan terobosan e-voting atau pemungutan suara elektronik adalah Bali. Di Gresik, program aplikasi e-pilkades sementara hanya digunakan untuk mengecek data pemilih secara digital. Pengecekan itu dilakukan saat sebelum memilih (in) dan seusai memilih (out) dengan deteksi sidik jari. “Satu orang tidak bisa mencoblos dua kali karena jika sudah mencoblos, sistem akan menyimpan bahwa pemilih sudah mencoblos. Warga lain juga tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena sidik jarinya tidak terbaca sistem,” ujar Arief.
Menurut Arief, ke depan aplikasi bisa diintegrasikan dengan pemungutan, perhitungan, hingga rekapitulasi. Tetapi, tidaklah mudah beralih dari manual ke digital. Arief menambahkan, perlu kesiapan biaya, teknologi, dan sumber daya. Tuntutan digitalisasi butuh anggaran yang cukup. Listrik mati atau sistem error juga harus diantisipasi. Mengubah kultur manual ke digital lebih sulit lagi. Kemudahan teknologi dalam pemilihan berpotensi ditolak. Ke depan bisa jadi pemilih tinggal klik gawai di rumah tahu hasilnya. Tetapi, kultur guyub masyarakat, termasuk dalam merayakan kemenangan, sulit diubah.
Arief memaparkan, saat ini, negara lain kagum dengan pola demokrasi dan pemilihan di Indonesia yang begitu terbuka dan melibatkan banyak orang. Karena itu, ke depan perlu dikombinasikan cara pemilu yang cermat, akurat, dan tepat. “Penggunaan teknologi informasi penting, tetapi kultur masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Model yang pas perlu dilihat perkembangannya,” katanya. Arief sempat menguji e-pilkades. Saat Arief mencoba aplikasi e-pilkades, datanya tidak muncul. Pemutakhiran data pemilih serta pemanggilan pemilih berbasis TI, menurut dia, menjadi inovasi besar. Kini tinggal perbaikan serta penambahan agar e-pilkades bisa lebih baik dan terhubung dengan pemungutan dan penghitungan suara.


Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali menyambut baik inovasi di Gresik yang telah memulai pemilihan digital. “Ke depan, proses pemilihan termasuk pemilihan umum akan beralih dari sistem manual ke sistem digital. Di luar negeri pemilu sudah memaksimalkan teknologi digital,” katanya. Terobosan daerah, termasuk Gresik, juga akan disampaikan dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan KPU agar nantinya digitalisasi pemilihan bisa didukung pemerintah pusat ( Sumber : Kompas, 13 November 2017)

September 20, 2017

Membangun Tim Sukses Pilkada Yang Tangguh



Membangun Tim Sukses Pilkada Yang Tangguh

Pembentukan Tim Sukses. Dalam proses mencapai kesuksesan, setiap orang tidak akan terlepas dari faktor dukungan orang lain. Bagaimana pun juga, setiap orang sukses yang Anda lihat hari ini, adalah mereka yang berhasil karena didukung penuh oleh banyak orang di sekitarnya. Baik dari dukungan moral maupun dukungan teknis. Begitupun dengan diri kita hari ini. agar bisa meraih kesuksesan seperti yang kita impikan dan mencapai tujuan yang sudah kita rancang, kita tidak bisa lepas dari dukungan orang lain. Pertanyaan selanjutnya, apakah mudah untuk mendapatkan dukungan tulus seperti itu dari orang lain? Bagaimana cara orang-orang sukses tersebut bisa mendapatkan dukungan yang hebat dan tulus dari orang sekitarnya?  Menarik kan? Dan di sanalah kuncinya. Apakah anda tergolong orang yang suka menolong orang lain? Atau malah sukanya justeru menyakiti orang lain.

Salah satu cara untuk mendapatkan dukungan yang tulus dari orang di sekitar kita adalah dengan memiliki hubungan yang berkualitas dengan siapapun orang yang kita kenal. Hal ini juga disampaikan oleh David J. Schwartz dalam bukunya THE MAGIC OF THINKING BIG yang sudah menjadi best seller tersebut. Dalam buku tersebut, David mengatakan bahwa Sukses sangat tergantung pada dukungan orang lain.  Satu-satunya penghalang di antara Anda dan apa yang Anda inginkan adalah ada tidaknya dukungan dari orang lain. Namun demikian jangan pesimis dahulu. Anda bisa mendapatkan Dukungan orang lain kalau anda memang punya cara yang tepat untuk mendapatkannya.

Mengapa dukungan dari orang lain ini harus bisa kita prioritaskan? Lihatlah, bagainana para pebisnis sukses saat ini yang bisa sampai GO INTERNSIONAL pasti memiliki tim yang baik dan setia di belakannya untuk selalu mendukungnya dan memberikan dukungan yang tiada putus-putusnya. Bagaimana seorang designer ternama saat ini berhasil menggaet investor mancanegara karena ia didukung oleh tim yang solid di belakangnya. Bagaimana seorang suami bisa produktif selama bekerja karena total didukung oleh anak dan istri. Kemudian kita lihat pula, bagaimana seorang pencetus ide bisa begitu dipercaya dan didukung oleh banyak pihak yang awalnya mungkin tidak mengenal dirinya secara personal dan hanya mengetahuinya dari karya-karyanya?

Lalu kita perhatikan, mengapa ada sebagian orang yang mendapatkan dukungan begitu tulus dan malah diberikan kesempatan untuk mendapatkan jabatan atau dipercaya memegang amanah tertentu dari tempat kerjanya, sedangkan di sisi lain ada orang yang tidak pernah diberi kesempatan atau tidak pernah dipercaya untuk memegang jabatan tertentu. Ini semua tidak lepas dari adanya interaksi kita dengan orang lain.
Sekarang anda bersama THINK TANK sudah saatnya membentuk TIM SUKSES. Tim Sukses inilah nantinya yang akan mengelola dan melaksanakan pemenangan Pilkada secara bersinergi dan berlanjut. Anda tidak lagi harus melaksanakannya semua secara sendiri, tetapi Tim Sukseslah yang melaksanakannya untuk anda. Untuk itu besarnya Tim Sukses akan disesuaikan dengan Tujuan dan Sasaran yang akan dicapai dan dukungan dana yang tersedia.  Mari kita mulai melihat berbagai aspek yang akan ditangani oleh Tim Sukses. Tugas apa-apa saja yang akan dibebankan kepada Tim Sukses. Secara umum untuk pemenangan Pemilukada bisa kita runtut mulai dari proses pemilihan Partai Politik sebagai Kenderaan politik; pencalonan, pemenangan yang terdiri dari kampanye terbuka, kampanye tertutup, kampanye lewat sossial media; kampanye secara tradisional; pengawalan proses pemilihan; proses penghitungan; prosesi pelantikan dan lain-lain termasuk acara syukurannya.

BUKUNYA DAPAT BELI DI SINI

Tim Sukses ini membawahi Unit-unit  Pencalonan Kandidat. Unit ini bertanggung jawab semua legalitas adminsitrasi terkait pencalonan. Mulai dari mempersiapkan dan menginventarisir UU dan peraturan yang terkait dengan Pemilukada. Unit ini juga yang akan mempersiapkan segala sesuatunya sehingga Kandidat berhasil dan terdaftar secara syah sebegai salah satu pasangan pemilukada yang resmi. Setelah mereka selesai dengan tugasnya maka Unit ini bisa bergabung untuk mendukung sukses Unit  lainnya sesuai kebutuhan.

Unit Pemetaan kekuatan politik, unit ini bertanggung jawab memetakan kekuatan Politik baik kandidat sendiri, petahana maupun saingannya. Peta politik ini meliputi kekuatan pendukung termasuk semua Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh formal, non formal; terkait tokoh pemerintahan, politik, agama, sosial dll yang punya akses ke warga atau masyarakat berikut jaringannya (networking) nya baik lewat media sosial tradisional, maupun media sosial Online. Bagaimana Unit ini mengerjakannya? Unit ini diharapkan bisa memanfaatkan berbagai sarana data yang ada di Badan Pusat Stastik Nasional, data yang ada di Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan, RW dan RT, termasuk data yang ada di Sosial Media dari sumber sumber lainnya.Tergantung pada besar kecilnya volume kerjanya. Kalau volumenya besar, maka sudah selayaknya unit ini mencari Lembaga Survei yang kompeten yang prosefesional yang tepat sesuai dengan kebutuhan serta dana yang ada.

Unit Pencitraan Kandidat. Unit ini bertugas melambungkan citra baik tentang Kandidat. Unit ini harus mempunyai kemampuan untuk memonitoring  trending topic di sosial media dan media online, khususnya bila hal itu terkait dengan : mendeteksi ada tidak nya mention negatif, jangan sampai nyebar kemana tanpa ada pembelaan atau upaya menetralisir isu. Selalu melakukan pengukuran tingkat pupularitas kandidat dan pesaingnya; menghimpun dan membuat peringkat mengenai isu yang paling banyak disebutkan di sosial media. Unit inilah perlu membuat panduan dan aturan yang dapat dijadikan sumber referensi oleh tim sosial media dan pendukungnya, panduan yang meliputi seperti : tidak boleh menyerang lawan ( serangan balik hanya ditangani oleh Unit inti yang sudah terlatih ; tidak boleh kampanye negative atau kampanye hitam; tidak membuat konten yang merugikan kandidat tetapi sebaliknya membuat konten yang positip dan mendukung kandidat secara proporsional santun dan punya selera yang baik. Dalam memproduksi konten dan isu agar disesuaikan dengan target berdasarkan : demografi ; tingkat pendidikan; pekerjaan ; serta memanfaatkan dan memproduksi gambar dan animasi yang menarik dan menyenangkan.

Unit ini juga punya counter attack, artinya kalau ada yang menjelekkan kandidatnya harus segera di respon secara telak dibantah, dinetralisir dan dipojokkan ulang. Hal seperti ini harus ditangani oleh unit husus yang memang punya kapasitas untuk hal seperti itu. Unit ini juga punya kemampuan memobiliasi opini dan pengalihan issu yang pada intinya secara terus menerus menjaga citra kandidat. Secara sederhana dan konsisten Unit ini membangun citra positip diri Kandidat; kemudian membantuk Opini yang positip tentang kandidat; menghalau Fitnah pada kesempatan pertama; mengajak warga untuk memilih dan menjagokan Kandidat ; melakukan Sentuhan dari dan dengan berbagai Arah sehingga citra Kandidat terus terjaga dan secara konsisten menjalankan fungsi spionase bagi kebaikan Kandidat.

Unit Penggalangan Dana, unit ini mencari dukungan dana darimana saja dan seberapa saja sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku. Ingat kalau Unit ini memang kreatif, maka tidak mustahil mereka akan mampu menghimpun dana sesuai dengan amanat Undang-undang dan menyenangkan bagi semua pihak. Misalnya lewat malam gembira yang menyajika “hiburan” gratis tetapi bisa dimanfaatkan jadi ajang penggalangan dana.
Unit Hukum dan Legalitas Unit ini bertugas untuk memastikan semua kegiatan yang dilakukan oleh Tim Sukses Kandidat sesuai dengan aturan hukum dan peraturan yang berlaku serta melakukan pembelaan secara hukum kalau ada anggota atau simpatisan yang terkena tindakan hukum karena kegiatan Pemilukada. Akan sangat membantu dan baik kalau di dalam unit ini bisa melibatkan Pengacara dan Badan Hukum yang memang sudah professional dalam pelayanannya.
Unit Penguatan Sumber Daya atau Mesin Kampanye, unit ini melakukan berbagai pelatihan kegiatan atau training yang berkaitan dengan mesin kampanye yang dibentuk. Pastikan Mesin Kampanye yang akan dibentuk mempunyai unit-unit yang bisa menyadarkan banyak orang atas kehadiran Kandidat ini. Selanjutnya Baca Bukunya Sendiri DiSini  atau Beli Di Sini



September 11, 2017

KPU: Pilkada 2018 Memang Beda


KPU: Pilkada 2018 Berbeda dari Sebelumnya

Oleh: Yustinus Paat

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menilai pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2018 sangat berbeda dengan Pilkada Serentak 2015 dan 2017. Selain karena daerah dan jumlah daerah berbeda, Pilkada Serentak 2018 akan berhimpitan dengan tahapan Pemilu Serentak 2019. "Pilkada 2018 agak beda dari 2015 dan 2017, karena di tengah-tengah tahapannya akan dilaksanakan bersamaan dengan Pileg dan Pilpres 2019 yang tahapannya dimulai tahun 2018," ujar Arief saat acara peluncuran dimulainya "Tahapan dan Slogan Pilkada 2018" di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/6).

Lantaran tahapannya berhimpitan, kata Arief, pekerjaan KPU dan Bawaslu akan menjadi dobel termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu seperti pemerintah, TNI, Polri, dan partai politik. "Bahkan parpol sepertinya mendahului. Kita baru mikir dan diskusi tentang tahapan, parpol sudah susun strategi. Soalnya, mereka tanya ke KPU bagaimana perolehan suara kami di daerah. Ini kan digunakan untuk menyusun strategi untuk memenangkan pilkada dan pemilu," ungkap dia.

Dari segi jumlah, kata Arief, Pilkada Serentak 2018 akan diselenggarakan di 171 daerah yang di antaranya adalah 17 provinsi. Sementara Pilkada Serentak 2015 diselenggarakan di 269 daerah dengan menyisakan penyelesaian sengketa pilkada di beberapa daerah satu tahun berikutnya. "Sedangkan Pilkada Serentak 2017 diselenggarakan di 101 daerah dengan menyisakan lima daerah yang harus melakukan Pemungutan Suara Ulang. Kelima daerah tersebut terdapat di Papua dan satu di Sultra," ungkap dia.


Lebih lanjut, Arief mengatakan bahwa KPU telah menyelesaikan sembilan draf Peraturan KPU (PKPU). Lima draf PKPU tersebut sudah dikonsultasikan dengan DPR dan Pemerintah. Sedangkan empat lainnya masih menunggu jadwal DPR dan Pemerintah untuk melakukan konsultasi. "Delapan PKPU tersebut merupakan PKPU hasil kodifikasi dan penyempurnaan dari PKPU sebelumnya. Satu merupakan PKPU baru," tutur dia.
PKPU yang sudah dikonsultasikan dengan DPR dan Pemerintah adalah PKPU tentang Tahapan, Jadwal dan Program; Pemutakhiran Data Pemilih; Pencalonan; Kampanye; dan Dana Kampanye. Sementara PKPU yang belum dikonsultasikan adalah tentang Logistik; Pemungutan dan Penghitungan Suara; Rekapitulasi Penghitungan Suara; dan Penetapan Calon Terpilih.

Diketahui, KPU secara resmi meluncurkan tahapan Pilkada Serentak 2018 dengan slogan "KPU Melayani". Pemungutan suara pilkada serentak ini dijadwalkan pada 27 Juni 2018. Pilkada 2018 dilakukan serentak di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. KPU menargetkan partisipasi pemilih di Pilkada 2018 sebesar 77,5 persen.
( Sumber : http://www.beritasatu.com/nasional/436546-kpu-pilkada-2018-berbeda-dari-sebelumnya.html)


August 29, 2017

Peraturan KPU tidak Berpihak ke Parpol Lama


WAKIL Ketua Komisi II DPR Lukman Edy menilai substansi peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang dibuat KPU tidak meringan-kan partai politik lama.Padahal setelah UU No 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara ­Pemilu disahkan pemerintah, 12 partai politik lama secara otomatis menjadi peserta Pemilu 2019.“Kami masih beranggapan ketentuan partai politik dalam PKPU yang diajukan KPU ini masih belum membuat perbedaan antara partai politik lama dan partai politik baru. Kita ingin mengingatkan kembali bahwa dalam UU Penyelenggaraan Pemilu, partai politik lama tidak diverifikasi faktual, hanya partai politik baru yang diverifikasi faktual,” ujar Lukman di Gedung DPR, kemarin.

Anggota Komisi II DPR Sirmadji pun meminta KPU tidak melampaui UU dalam membuat PKPU.
“Norma yang mengatur verifikasi kan sudah tegas. KPU harus menaati. Partai politik yang sudah lolos verifikasi tidak perlu diverifikasi ulang. Jangan disamakan dengan partai politik baru. Peraturan ini sudah ada dalam UU,” ujarnya.Hal senada disampaikan anggota Komisi II dari Fraksi Hanura Rufinus Hotmaulana Hutauruk. Menurutnya, KPU jangan membuat peraturan yang multitafsir dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri Bachtiar menambahkan pada prinsipnya aturan mengenai verifikasi partai politik sebagai landasan hukum bagi KPU dalam mengumumkan partai politik mana yang lolos pada Pemilu 2019.“Ujungnya kan ini mau menyatakan lolos atau tidak sebagai peserta Pemilu 2019. Yang sudah lolos kita mau teliti apa lagi? Buat apa itu dibuat macam-macam? Saya usul, aturan itu dipisah jangan dibuat di norma tentang PKPU tentang verifikasi parpol,” ujarnya.
Ikuti aturan
Ketua KPU Arief Budiman meng-akui dalam membuat aturan, pihaknya selalu mengikuti dan mengacu pada UU Penyelenggaraan Pemilu.Ia mengatakan, seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2019 harus melewati fase penetilian administrasi karena hal itu merupakan amanat UU.Arief mengatakan pada UU Nomor 7 Tahun 2017, pada tahapan verifikasi parpol terdapat dua istilah yang berbeda, yakni penelitian administrasi dan verifikasi.
Saya kira di undang-undang ini dijelaskan. Terutama Pasal 174 dan 178 karena itu menggunakan 2 istilah yang berbeda. Ada penelitian administrasi, ada verifikasi. Itu jelas ada di Pasal 174 dan Pasal 178. Tentu kedua proses itu berbeda. Nah karena ada dua istilah tadi, penelitian administrasi tentu tetap harus dilakukan,” terangnya.Menurutnya seluruh parpol tetap perlu diverifikasi karena untuk wilayah baru tersebut kepengurusan parpol belum terverifikasi.
“Bagaimana kita menempatkan provinsi ke 34 dan kabupaten/kota yang baru? Itu kan belum pernah diverifikasi, baik untuk partai baru, partai lama, kalau menggunakan istilah partai baru dan partai lama. Jadi tetap ada bagian yang memang partai itu mengalami verifikasi,” terang Arief. Arief mengakui KPU telah menyiapkan beberapa langkah untuk mengantisipasi jika terjadi dinamika di dalam penyusunan peraturan KPU. Salah satunya skenario jika uji materi undang-undang mengenai aturan verifikasi parpol yang dianggap diskriminatif dikabulkan Mahkamah Konstitusi. (P-2)
Sumber : http://mediaindonesia.com/news/read/119903/peraturan-kpu-tidak-berpihak-ke-parpol-lama/2017-08-29

August 22, 2017

Anggaran Pilkada Mesti Dirasionalisasi

DIRJEN Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono mengatakan masih adanya pemerintah daerah yang belum menandatangani naskah perjanjian hibah dae­rah (NPHD), salah satunya karena usulan anggaran KPU daerah (KPUD) dinilai tidak rasional.


KPUD, sambungnya, tidak mampu menjabarkan secara detail anggaran. “Umumnya (masalahnya) karena usulan KPUD yang kurang rasional sehingga pemda minta rasionali­sasi. Angka itu darimana? Jangan­ gelondongan. KPU sendiri datang dengan proporsal tidak lengkap dan banyak hal pengeluaran yang sifatnya enggak perlu ada uangnya,” terangnya saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (20/8).
Soni, sapaan akrabnya, mencontohkan, di Provinsi Papua, anggaran yang diusulkan KPU Papua sebesar Rp2,6 triliun. Ia menyebutkan di dalam proposal itu banyak item yang sebenarnya tidak memerlukan anggaran sehingga butuh rasionalisasi anggaran.

“Forum penandatanganan NPHD dianggarkan, penyusun­an program pun dianggarkan, juga pamflet, hitungannya enggak ada karena angkanya gelondongan,” terangnya.Masih perlunya rasionali­sasi anggaran dan penjelasan secara rinci angka yang diusulkan KPUD itu, yang membuat pemda menunda proses penan­datanganan NPHD. “Terpaksa kita pending, kita minta detailnya,” ucapnya.
Selain masalah rasionali­sasi anggaran, keterlambatan penandatanganan NPHD juga disebabkan oleh konflik politik lokal, misalnya di Mimika.

Sebelumnya, komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengungkapkan ada 30 daerah yang belum merampungkan NPHD. Penyebabnya mulai kendala teknis sampai dengan permasalahan pembahasan di tingkat pemerintah daerah dan KPU setempat, yakni belum mencapai titik temu terkait jumlah dana yang akan dihibahkan.

Keterlambatan pencairan dana hibah itu, menurut Pramono, akan mengakibatkan masalah terhadap penyelenggaraan pilkada sebab tahapan dibiayai dari dana hibah tersebut.
KPU telah menetapkan tanggal pemungutan suara Pilkada Serentak 2018, yaitu pada 27 Juni 2018. Rencananya, ada 171 daerah yang mengikuti Pilkada 2018, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Peluncuran tahapan Pilkada Se­rentak 2018 pertama kali telah dilakukan KPU Kota Bengkulu, yakni launching Sabtu (19/8) lalu. (Nur/Ant/P-4) 
Sumber : http://mediaindonesia.com/news/read/118531/anggaran-pilkada-mesti-dirasionalisasi/2017-08-21

July 24, 2017

Keterbatasan Regulasi Pemilu

Oleh : M Alfan Alfian

Harian Kompas (17/7) mengulas pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang kembali berlarut-larut, dan akhirnya baru disetujui menjadi UU pada Jumat (21/7) dini hari, molor empat bulan dari target yang sudah ditetapkan. Seperti yang pernah terjadi, pembuat UU kembali berkutat pada isu-isu elitis untuk mengamankan kepentingan elektoral jangka pendek. Apakah UU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang dihasilkan lebih ideal ketimbang aturan main sebelumnya? Belum tentu. Ikhtiar mencari aturan main pemilu terbaik dalam sistem demokrasi segera dihadapkan pada sederet kalkulasi kepentingan para aktor yang terlibat proses penyusunan regulasinya. Hasil atau resultantenya justru tak bisa dijamin sebagai yang paling sempurna atau ideal. Hal ini tampak selaras dengan komentar Edward Banfield, ”Any political system is an acccident. If the system works well on the whole it is a lucky accident.”


Perspektif tersebut menjelaskan mengapa proses pembahasan UU ini bertele-tele sehingga kontraproduktif bagi kesiapan penyelenggaraannya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tak terelakkan mengarah ke ”kecelakaan sistem”. Terlepas apakah kelak ia menguntungkan atau menyurutkan kualitas penyelenggaraan pemilu. Dalam konteks inilah, kalau revisi regulasi pemilu dilakukan lagi, masalah dan hal sama pun bisa berulang lagi.

Sistem politik penyelenggaraan pemilu, keterbatasan atau ketidaksempurnaannya, lazim terletak pada dua hal. Pertama, setiap pilihan mengandung konsekuensi. Inilah yang oleh Banfield disebut ”kecelakaan” kendati ia bisa menguntungkan atau sebaliknya. Kedua, kecenderungan partai-partai yang tak merasa perlu mengambil langkah perubahan yang lebih maju, kecuali apabila dianggap memberi peluang kemenangan lebih besar. Regulasi pemilu pun sesungguhnya mencerminkan suatu kenyataan politik yang belum tentu mampu mencerminkan fenomena kecelakaan yang menguntungkan.

Kotak pandora

Perubahan kembali regulasi kali ini berkonsekuensi terbukanya kotak pandora politik oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengabulkan sebagian tuntutan uji materi pada Januari 2014. MK merekomendasikan agar Pemilu 2019 sebagai pemilu serentak; penyelenggaraan pemilu legislatif diserentakkan pilpres. Alasannya agar sistem pemerintahan presidensial menguat mengingat bekerjanya apa yang disebut coattail effect. Efek tersebut bermakna presiden terpilih otomatis didukung partai-partai pemenang pemilu legislatif sehingga presiden punya basis dukungan politik kuat di parlemen. Dalam perbandingan sistem politik, beberapa negara di Amerika Latin dipandang merupakan contoh baiknya. Model Brasil, misalnya, menegaskan pemilu serentak membuahkan coattail effect.

Sementara model Filipina, kendati pemilunya serentak, tak menjamin terjadinya coattail effect. Di Filipina, pilpresnya agak aneh karena capres dan cawapres tidak diajukan secara berpasangan. Model AS lain lagi. Di sana pemilunya serentak, tetapi sebenarnya tidak semua serentak karena ada pemilu-pemilu negara bagian. Hal-hal itu menunjukkan setiap pilihan sistem mengandung konsekuensi elektoral masing-masing.

Belum komprehensif

Salah satu isu krusial pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu adalah masalah ambang batas presidensial. Fraksi-fraksi politik di DPR terbelah pendapat. Mereka yang tergabung sebagai pendukung pemerintah condong mempertahankan prasyarat semula, di mana yang berhak mencalonkan pasangan kandidat dalam pilpres ialah partai politik dan atau gabungannya yang mampu memperoleh dukungan 20 persen kursi atau 25 persen suara pemilu legislatif secara nasional. Yang dipakai sebagai patokan ialah hasil Pemilu 2014.

Akan tetapi, hal demikian dipandang tidak adil oleh yang lain. Bahwa pemilu serentak harus dimulai dari nol, di mana semua partai peserta pemilu berhak untuk mengajukan pasangan capres masing-masing. Perbedaan pendapat ini meruncing dan cenderung bertele-tele. Semua pilihan sama-sama punya argumentasinya. Kelompok pertama biasanya mengaitkannya dengan penguatan sistem presidensial, memastikan coattail effect terjadi. Kelompok kedua mengedepankan harapan bahwa potensi kepemimpinan nasional yang beragam harus diakomodasi.

Kata akhirnya kelak tetap pada keputusan MK. Dalam proses pembahasan RUU di DPR, MK menolak ikut campur. MK mempersilakan pembuat UU memutuskannya (open legal policy). Kelak kalau ada pihak yang mengajukan uji materi, MK harus memutuskan ketentuan mana yang harus dipakai. Apabila dikembalikan ke adagium Banfield, tentu apa pun ketentuannya, ia tetap mencerminkan suatu ”kecelakaan sistem”, dimensi spekulasinya tetap terbuka.

Tak hanya ambang batas presidensial, sejumlah ketentuan lain juga berimplikasi terhadap praktik pemilu serentak kelak. Karena mencakup tiga ranah penting, yakni penyelenggara pemilu, pemilu legislatif, dan pemilihan presiden, maka beragam isu krusial bersifat implikatif. Kelembagaan penyelenggara pemilu tak kalah kompleks masalahnya. Juga pilihan sistem pemilu, ambang batas parlemen, metode konversi suara ke kursi, rentang jumlah kursi per daerah pemilihan (district magnitude), dan yang lain. Regulasi pemilu kali ini dipandang masih memiliki sejumlah keterbatasan, belum cukup komprehensif dalam konteks pemilu serentak. Karena itu, pasca-Pemilu 2019, regulasi pemilunya juga masih terbuka untuk berubah lagi.


M Alfan Alfian  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional  ( Sumber : Kompas.id, 22 Juli 2017)

March 24, 2017

Selisih Suara dan Keadilan Pemilu

Selisih Suara dan Keadilan Pemilu
 Oleh Fadli Ramadhanil   


Thomas Meyer dalam karyanya yang berjudul Democracy: An Introduction for Democratic Parties (2002) mengatakan, demokrasi tidak hanya prosedur dalam mengambil keputusan. Demokrasi adalah suatu sistem nilai. Alasan hampir semua negara memilih sistem demokrasi adalah untuk membangun sistem politik yang berdasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk semua orang.

Meski demikian, demokrasi bisa tergelincir jika hanya digunakan sebagai alat legitimasi keputusan suara terbanyak dan pada ujungnya mengarah pada hasil yang dapat melanggar martabat dan nilai-nilai individu atau bahkan banyak orang. Oleh sebab itu, demokrasi perlu dilengkapi dengan sebuah sistem hukum. Menyambung apa yang disampaikan Meyer, sistem hukum dalam sebuah demokrasi, terutama pemilu, bertujuan untuk mewujudkan keadilan dalam pemilu. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, pemilih, penyelenggara pilkada, dan peserta pilkada (pasangan calon) adalah aktor utama yang mesti dilindungi sistem hukum. Hal ini untuk mendapatkan keadilan dalam sebuah pemilihan kepala daerah. Sejak Pilkada 2015, ambang batas selisih suara sebagai syarat untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sebuah anomali.
Ruang persidangan yang disediakan di MK untuk pencari keadilan adalah untuk menguji apakah proses dan hasil demokrasi bernama pemilihan kepala daerah sudah sesuai dengan prinsip, asas, dan aturan main yang sudah disepakati. Alasan utama meletakkan fungsi penyelesaian hasil pemilihan pemilu atau pilkada di MK adalah karena MK merupakan lembaga yang diberi mandat oleh UUD 1945 sebagai pelindung hak konstitusional warga negara.
Dalam konteks pilkada, perlindungan hak konstitusional warga negara dalam menunaikan hak pilihnya merupakan aspek yang wajib dilindungi MK. Pada titik ini, kekakuan MK dalam melaksanakan ketentuan ambang batas selisih suara di dalam Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah perlu ditinjau kembali.
Pintu masuk penentuan
Pengalaman penyelesaian perselisihan hasil Pilkada 2015, ambang batas selisih suara dijadikan MK sebagai pintu masuk satu-satunya untuk menentukan apakah suatu permohonan perselisihan hasil pilkada dapat diperiksa lebih lanjut di tingkat pembuktian atau tidak. Artinya, setiap permohonan yang masuk akan diteliti terlebih dahulu apakah syarat ambang batas selisih suara 0,5 persen-2 persen terpenuhi atau tidak. Intinya, MK hendak memastikan apakah selisih suara yang tipis antara pemenang pemilihan yang ditetapkan KPU dan pasangan calon yang kalah sesuai dengan syarat selisih suara dalam Pasal 158 UU No 8/2015.
Jika selisih suara antara pasangan calon yang menang dan pasangan calon yang kalah sebagaimana keputusan KPU di luar ketentuan Pasal 158 UU No 8/2015, MK akan langsung memutus permohonan itu tidak dapat diterima. Praktik inilah yang dirasa menjauhkan tujuan awal perselisihan hasil pilkada di MK, yakni mewujudkan keadilan pemilu.

Pertama, langkah MK menyatakan permohonan perselisihan hasil pilkada tak dapat diterima berdasarkan keputusan KPU tentang penetapan hasil pilkada merupakan cara tak fair jika dilihat dari sudut pandang peradilan. Hal ini karena keputusan KPU tentang penetapan hasil pilkada merupakan obyek sengketa yang dipersoalkan pemohon perselisihan hasil pilkada. Dalam mengajukan permohonan sengketa, setiap pemohon pada galibnya akan menguraikan alasan permohonan disertai bukti yang mengatakan ada persoalan dari hasil pilkada yang ditetapkan oleh KPU.
Hal itu menjadi tidak adil bagi pemohon sebagai salah satu pihak yang bersengketa di MK ketika alasan permohonan dan bukti yang diajukan sama sekali tidak diperiksa dan dinilai oleh MK karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara sebagaimana diatur di dalam Pasal 158 UU No 8/2015.
Sebaliknya, MK serta-merta menyatakan permohonan tidak dapat diterima, berangkat dari hasil pemilihan kepala daerah yang ditetapkan oleh KPU, yang juga merupakan salah satu pihak dalam persidangan di MK. Apalagi, keputusan KPU tentang penetapan hasil pilkada tersebut adalah obyek sengketa utama yang dipersoalkan oleh setiap pemohon dalam perselisihan hasil pilkada di MK.
Langkah MK
Kedua, langkah MK dengan tidak memeriksa alasan permohonan dan bukti awal yang diajukan pemohon akan membuat MK tidak mungkin menjawab dan menyelesaikan pertanyaan, bagaimana jika hasil pilkada yang ditetapkan oleh KPU yang di luar ambang batas selisih suara seperti diatur di dalam Pasal 158 UU No 8/2015 berasal dari rangkaian proses yang tidak sesuai dengan prinsip, asas, dan aturan main pilkada? Bukankah peran hakiki MK adalah untuk menyelamatkan setiap hak konstitusional pemilih agar tidak dipimpin oleh kepala daerah yang terpilih dari sebuah proses demokrasi yang penuh dengan praktik lancung?
Melindungi MK dari arus deras permohonan perselisihan pilkada dari pasangan calon yang ”coba-coba” tentu menjadi keniscayaan. Namun, menjadikan penetapan hasil pilkada oleh KPU sebagai rujukan utama dan kemudian tidak memeriksa alasan permohonan dan bukti pemohon karena tidak memenuhi ambang batas selisih suara adalah praktik yang juga tidak bisa dibenarkan.
Menghadapi hal ini, MK mestinya bisa memaksimalkan proses pemeriksaan pendahuluan dalam rangkaian hukum acara perselisihan hasil pilkada. Dalam tahapan pemeriksaan pendahuluan, supporting system dan hakim MK mesti bekerja keras untuk tidak hanya memeriksa selisih suara, tetapi juga dalil permohonan dan bukti awal yang disampaikan pemohon perselisihan hasil pilkada.
Dengan demikian, MK akan mempunyai pertimbangan hukum utuh untuk memutuskan apakah suatu permohonan mesti dinyatakan tidak dapat diterima atau dapat dilanjutkan pemeriksaannya ke tingkat pembuktian. Dengan langkah ini,  akan terbuka kemungkinan MK memeriksa suatu permohonan ke tingkat pembuktian dengan ambang batas selisih suara yang melewati prasyarat, tetapi terdapat dalil permohonan dan bukti kuat yang disampaikan oleh pemohon.
Sebaliknya, jika memang permohonan itu tidak memiliki alasan permohonan yang kuat dan mendalam, bukti pun tidak memadai, sudah selayaknya MK menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima. Namun, untuk sampai ke kesimpulan tersebut, MK mesti memeriksa alasan permohonan dan bukti awal yang disampaikan pemohon. Fungsi utama MK adalah menjaga konstitusi dan melindungi demokrasi. Atas fungsi itu jualah, mekanisme perselisihan hasil pilkada ”ditumpangkan” di pundak kelembagaan MK. Oleh sebab itu, melindungi hak konstitusional warga negara dan mewujudkan keadilan pemilu adalah tugas mulia yang harus terus dirawat oleh MK.

Fadli Ramadhanil Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Sumber : Harian Kompas, 14 Maret 2017

February 27, 2017

Menakar Putaran Kedua Pilkada Jakarta




Menakar Putaran Kedua Pilkada Jakarta

Oleh : Djayadi Hanan 

Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan hasil real count yang ditayangkan laman Komisi Pemilihan Umum, putaran kedua pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 tinggal menunggu penghitungan dan pengumuman resmi saja.Tidak ada satu pasangan calon pun yang berhasil memperoleh suara lebih dari 50 persen. Pasangan calon nomor urut satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, hampir pasti berada di posisi ketiga. Putaran kedua akan diikuti pasangan calon nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan calon nomor urut tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Perhatian kini tertuju pada dinamika kompetisi putaran kedua. Pertanyaan utamanya ada dua: ke manakah partai-partai pendukung Agus-Sylvi akan mengalihkan dukungannya dan ke manakah pemilih pasangan calon ini akan berlabuh? Dua pertanyaan ini disebut utama dengan asumsi pemilih pasangan calon nomor urut dua dan tiga akan tetap solid mendukung mereka di putaran kedua.

Jika melihat karakteristik pemilih dan partai pendukung pasangan calon nomor urut satu, pasangan calon nomor urut tiga memang punya peluang lebih besar untuk memperoleh limpahan suara karena karakteristik pemilihnya mirip. Namun, putaran kedua baru akan berlangsung sekitar dua bulan lagi, yakni 19 April 2017. Banyak hal bisa terjadi selama dua bulan tersebut. Sejumlah kejutan bisa saja muncul.
Maka, untuk sementara kita harus mengatakan putaran kedua akan berlangsung sangat ketat, bahkan sengit. Kedua pasangan calon memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Di atas kertas, kedua hal ini bisa membuat pertarungan pasangan calon nomor urut dua melawan pasangan calon nomor urut tiga berimbang, seperti pada putaran pertama.
Koalisi partai
Meski pergerakan di tingkat elite belum tentu diikuti oleh pendukungnya di kalangan pemilih, dukungan partai tetap penting sebagai simbol, sebagai tambahan potensi mesin politik, dan untuk tambahan suara dari pendukung partai yang masih punya kedekatan emosional dengan partai atau elite partai. Sekecil apa pun tambahan dukungan diperoleh tetap akan penting mengingat putaran kedua diasumsikan berlangsung ketat dan sengit.
Yang juga penting, meraih dukungan partai minimal mengurangi potensi partai tersebut untuk membantu pihak lawan. Dengan kata lain, partai-partai yang mendukung pasangan calon nomor urut satu jelas akan menjadi rebutan pasangan calon nomor urut dua dan nomor urut tiga. Di atas kertas, ada tiga partai yang paling mungkin bergabung dengan pasangan calon nomor urut dua: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Ketiga partai ini bagian dari koalisi besar pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla bersama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Nasdem, dan Hanura. Atas dasar itu, ketiga partai pengusung pasangan calon nomor urut satu lebih masuk akal diprioritaskan oleh pasangan calon nomor urut dua yang diusung dan didukung keempat partai pendukung pemerintah tersebut.
Namun, jika benar ketiga partai berpindah ke pasangan calon nomor urut dua, tantangan besarnya adalah bagaimana mentransformasi sikap elite partai menjadi sikap para pemilih pendukung partai. Mengingat kecenderungan pemilih Jakarta yang lebih independen dan biasanya ketokohan figur lebih penting bagi pemilih dalam pilkada, sangat tidak mudah melakukan transformasi ini. Misalnya, menurut berbagai survei SMRC sepanjang 2016 hingga awal 2017, lebih dari 75 persen pemilih Jakarta memutuskan sendiri pilihannya.
PKB secara tradisional mungkin menunjukkan kaitan emosional yang cukup dekat antara elite dan para pendukungnya. Ini bisa menjadi peluang bagi pasangan calon nomor urut dua. Dengan menggandeng PKB, warga Nahdlatul Ulama (NU) yang biasanya cenderung memilih PKB diharapkan juga akan mengikuti pergerakan elite partai. Tantangannya adalah sejumlah tokoh NU, seperti Kiai Ma’ruf Amin, kelihatan cenderung kurang berpihak kepada pasangan Basuki-Djarot. Sampai tingkat tertentu hal yang sama bisa juga terjadi pada PPP, yang sebagian pemilihnya mirip dengan pemilih PKB.
Yang juga sangat mungkin, partai-partai pendukung pasangan calon nomor urut satu akan menentukan sikap berdasarkan kecenderungan pilihan pendukungnya di putaran pertama. Data untuk ini pasti tersedia di partai masing-masing. Dalam exit poll SMRC pada hari pemungutan suara lalu, sekitar 70 persen pemilih PAN, 60 persen pemilih PKB, dan 50 persen pemilih PPP memilih pasangan calon tiga.
Ini artinya pemilih ketiga partai tersebut punya kecenderungan memilih Anies-Sandi. Kalau kecenderungan ini yang dipakai, maka ketiga partai ini juga sangat mungkin bergabung dengan pasangan calon nomor urut tiga. Dengan kata lain, tarik-menarik terhadap dukungan tiga partai pendukung Agus-Sylvi ini akan berlangsung sengit.
Menurut logika politik konvensional, Partai Demokrat adalah yang paling sulit diajak bergabung ke pasangan calon nomor urut dua. Selain bukan bagian dari koalisi pendukung pemerintah yang dimotori PDI-P, hubungan ketua umum partai ini dengan Ketua Umum PDI-P masih belum mulus. Beberapa peristiwa politik menjelang hari pemungutan suara 15 Februari makin menguatkan ketegangan antara Partai Demokrat dan PDI-P beserta pendukung masing-masing, bahkan antara Ketua Umum Partai Demokrat dan pihak Istana.
Apakah ini berarti Partai Demokrat akan lebih mudah ke Anies-Sandi? Mungkin saja, tapi belum tentu. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum biasanya sangat memperhatikan kecenderungan pilihan politik publik, yang dalam hal ini berarti pemilih partainya. Di antara pendukung pasangan calon nomor urut satu, pemilih Demokrat adalah yang paling solid. Menurut data exit poll SMRC, sekitar 64 persen pemilih Demokrat mendukung Agus-Sylvi, 24 persen mendukung Anies-Sandi, dan 12 persen mendukung Basuki-Djarot.

Soliditas pendukung Demokrat memang mungkin terjadi karena ketokohan SBY yang masih mendominasi. Pergerakan SBY berpotensi untuk diikuti pendukungnya. Mengingat dukungan elektoral partai ini ada di kisaran 10 persen, maka posisi Demokrat, dan SBY, kembali penting, mungkin juga seksi.
Memahami pemilih dan pergerakannya
Exit poll SMRC menemukan lima alasan utama masyarakat memilih pasangan calon nomor urut satu. Kelimanya secara berurutan adalah karena program yang meyakinkan (27,4 persen), alasan terkait agama (17,7 persen), karena pilihan keluarga (16,5 persen), karena dianggap memperjuangkan rakyat kecil (13,4 persen), dan karena kampanyenya paling diingat (11 persen). Ada sejumlah alasan lain dengan persentase yang jauh lebih kecil.
Alasan agama tampaknya langsung dapat kita gunakan sebagai alat prediksi. Perolehan suara pasangan calon satu ada di kisaran 17 persen. Ini berarti, ada sekitar 3 persen pemilih pasangan calon satu memilih karena alasan agama. Di putaran kedua, sangat besar kemungkinan pasangan calon tiga memperoleh tambahan 3 persen dari pergerakan pemilih ini. Jika analisis ini benar, tersisa 14 persen pemilih Agus-Sylvi yang masih bisa diperebutkan.
Jika menggunakan agama sebagai predictor, kemungkinan besar cara berpikir pemilih di putaran pertama dilakukan secara dua tingkat. Pemilih Muslim yang banyak dipengaruhi agama dalam keputusan memilih pertama-tama memilah ketiga pasangan calon menjadi dua bagian: calon gubernur Muslim dan calon gubernur non-Muslim. Selanjutnya, karena ada dua calon gubernur Muslim, maka pilihan dijatuhkan atas pertimbangan faktor-faktor di luar agama.
Menurut exit poll yang sama, Anies- Sandi dipilih karena alasan memiliki program yang meyakinkan (39 persen), alasan agama (20,3 persen), pilihan keluarga (11,2 persen), kampanyenya paling diingat (10 persen), memperjuangkan rakyat kecil (9 persen), dan sejumlah alasan lain. Jadi, kalau kita bandingkan alasan memilih pasangan calon nomor urut satu versus pasangan calon nomor urut tiga, tampak faktor agama tidak begitu menonjol.
Akan tetapi, kalau kita rinci distribusi pemilih berdasarkan agama kepada ketiga pasangan calon, di kalangan Muslim, menurut exit poll itu, 47 persen memilih Anies-Sandi, 34 persen memilih Basuki- Djarot, dan 19 persen memilih Agus-Sylvi. Dengan kata lain, 66 persen pemilih Muslim memilih calon gubernur Muslim. Jumlah pemilih Muslim di Jakarta ada sekitar 86 persen.
Dengan asumsi angka partisipasi pemilih secara demografi terdistribusi secara proporsional dibandingkan yang tidak memilih, ini berarti ada sekitar 56,7 persen pemilih Muslim (di antara 86 persen) yang memilih atas dasar keyakinan agama. Angka ini dikonfirmasi oleh data lain dari exit poll yang menemukan bahwa sekitar 56 persen pemilih Jakarta setuju bahwa orang Islam tidak boleh dipimpin oleh orang bukan Islam. Kesimpulannya, faktor agama menjadi faktor yang penting dalam pilkada DKI putaran pertama.
Sementara itu, kekuatan utama pasangan calon nomor urut dua adalah posisinya sebagai petahana. Alasan utama Basuki-Djarot dipilih adalah karena program yang paling meyakinkan (67,4 persen), paling memperjuangkan rakyat kecil (15,6 persen), pilihan keluarga (8,8 persen), kampanyenya paling diingat (5 persen), dan sejumlah alasan lain. Data exit poll juga menemukan hal yang konsisten dengan data berbagai survei sebelum pilkada soal tingkat kepuasan publik kepada petahana, yaitu di kisaran 70 persen.
Inilah alasan mengapa petahana masih bisa unggul tipis dari lawan-lawannya. Namun, keunggulan sebagai petahana ini memperoleh tantangan serius, antara lain, dari faktor sosiologis.
Kalau kita sederhanakan, ada dua faktor utama yang bertarung dalam pilkada DKI putaran pertama: faktor sosiologis dan faktor ekonomi-politik (evaluasi terhadap petahana). Tentu saja kedua faktor ini dalam kenyataannya bukan faktor tunggal. Keduanya berjalin berkelindan dengan faktor lain.
Pada putaran kedua nanti, kedua faktor utama ini tetap akan berpengaruh. Namun, seberapa besar pengaruhnya, masih bergantung pada banyak hal lainnya. Faktor personalitas atau kualitas personal kandidat, baik dari segi kapasitas maupun emosional, juga memengaruhi sikap pemilih. Faktor pengaruh agama, menurut temuan berbagai survei hingga exit poll, tidak bersifat tetap. Sebelum akhir Oktober atau November, jumlah pemilih Jakarta yang meyakini orang Islam tidak boleh dipimpin non-Muslim ada di kisaran maksimal 30-35 persen.
Namun, berbagai peristiwa, seperti dugaan penodaan agama, membuat sentimen ini meningkat, hingga ke angka 50-an persen. Ia sempat turun lagi setelah pertengahan Desember ketika suasana panas politik mulai turun. Menjelang hari pemungutan suara, faktor ini kembali menguat. Sejumlah faktor lain juga mungkin berpengaruh: manajemen isu di kedua pasangan calon (termasuk di dalamnya sidang dugaan penodaan agama), intensitas proses sosialisasi selama dua bulan ke depan, dan peristiwa-peristiwa yang muncul secara tidak terduga. Maka, belum ada kandidat yang bisa ongkang-ongkang kaki menuju 19 April 2017. Putaran kedua is still anybody’s game!


Oleh Djayadi Hanan-Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina ( Sumber : Harian Kompas, 22 Februari 2017)