December 24, 2019

Politik Uang Masih Menjadi Isu Utama Jelang Pilkada 2020



Politik Uang Masih Menjadi Isu Utama Jelang Pilkada 2020

Politik uang dinilai masih akan menjadi isu utama dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 mendatang. Rendahnya pendidikan politik bagi pemilih menjadi penyebab politik uang masih berkuasa. Data Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menunjukkan, selama masa tenang pada Pemilihan Umum 2019 setidaknya ada 36 praktik politik uang. Praktik ini pun dinilai akan kembali terulang pada Pilkada 2020 yang akan dilaksanakan serentak pada 23 September 2020.

Kerawanan politik uang itu dipaparkan dalam diskusi akhir tahun ”Konsolidasi Masyarakat Sipil dan Proyeksi Pemantauan Pilkada 2020”, di Jakarta, Senin (23/12/2019). Diskusi itu dihadiri Koordinator Nasional JPPR Alwan Ola Riantoby, Peneliti Senior JPPR Nurlia Dian Paramita, dan anggota Badan Pengawas Pemilu, Mochammad Afifuddin.

Selain itu, hadir pula Koordinator Nasional JPPR Tahun 2009 Jerry Sumampow dan Koordinator Nasional JPPR Tahun 2011 Daniel Zuchron sebagai narasumber dalam diskusi itu. Alwan menyampaikan, perlu dibangun tradisi pendidikan politik agar tercipta pemilih yang cerdas dan rasional. Dalam konteks ini, rakyat diharapkan menjadi pelaku utama yang memberikan pendidikan politik.
”Perlu diingat bahwa pada rezim pilkada serentak, demokrasi menjadi kelebihan, tetapi menyisakan persoalan, salah satunya politik uang. Kita pun berharap Pilkada 2020 bisa menjadi proyeksi untuk memotret dan memangkas jumlah politik uang yang sangat tinggi,” jelasnya. Sementara itu, tingginya angka partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019, disampaikan Nurlia, ternyata tidak diikuti dengan kesadaran masyarakat atas siapa yang mereka pilih. Pemilih masih terkooptasi dengan sistem yang ada sehingga hanya sebatas formalitas.


”Mereka memilih karena memang harus memilih. Untuk itu, kontrol masyarakat menjadi penting, harus sadar siapa yang akan dipilih dan tahu benar siapa orangnya,” ujar Nurlia. Jerry Sumampow pun menyatakan, politik uang dalam pilkada menandakan demokrasi kita semakin oligarki. Sebab, kekuatan finansial yang kemudian menentukan apakah bisa terpilih atau tidak. Fokus masyarakat pun dialihkan oleh kekuatan uang yang dimiliki segelintir elite politik.
”Kalau oligarki semakin kuat, masyarakat menjadi enggak penting karena hanya akan menjadi legitimator dalam pemilu ataupun pilkada ke depan. Maka, penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa politik uang tidak akan menyejahterakan,” kata Jerry.

Konsolidasi sipil

Guna mengatasi politik uang, konsolidasi masyarakat sipil dalam rangka penguatan kapasitas pemilih dipandang menjadi mutlak dilakukan. Penguatan kapasitas pemilih, menurut para narasumber yang hadir, dapat ditempuh dengan menggalang pendidikan politik. Dengan adanya konsolidasi ini diharapkan polarisasi tidak terjadi di masyarakat selama menjelang Pilkada 2020.
Mochammad Afifuddin mengatakan, Bawaslu pun memiliki pandangan bahwa pendidikan politik bagi masyarakat memang harus terus digalakkan. Dari beberapa pemilu sebelumnya, ada kecenderungan sukarelawan yang berfungsi sebagai pemantau tidak lagi bersikap netral, tetapi menjadi bagian yang memenangkan calon tertentu. ”Kita akan menghadapi pilkada serentak yang paling besar sepanjang sejarah. Bisa dikatakan, kita akan mengadakan pilkada di setengah negara pada 2020 dalam satu hari,” terangnya.

Untuk itu, menurut Afifuddin, ada empat unsur yang harus dipenuhi dalam menunjang Pilkada 2020 berjalan lancar.
Pertama, soal aturan, khususnya aturan dalam berkampanye di media sosial harus diatur lebih detail. Selain itu, penyelenggara, dalam konteks ini Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu, juga dipastikan dapat menjalankan fungsinya dengan tepat.
Kedua, soal peserta, bahwa masih ada peluang calon tunggal akan marak terjadi. Jika tidak diantisipasi, kekuatan lokal akan menciptakan kondisi agar tidak ada kompetisi. Hal ini tentu dapat mengancam demokrasi.
Terakhir, harus dipastikan bagaimana masyarakat sebagai pemilih mendapatkan informasi yang tepat terkait siapa calon kepala daerahnya. ”Solidaritas pemilih harus dijaga. Memilih bukan kewajiban, tetapi bagaimana hak ini mau dipakai untuk aktivitas pemilu,” kata Afifuddin.
Sumber :    Politik Uang Masih Menjadi Isu Utama Jelang Pilkada 2020  Oleh: Sharon Patricia kompas.id., 23 Desember 2019 19:34 WIB

August 12, 2019

UU Pilkada Perlu Direvisi



UU Pilkada Perlu Direvisi
Oleh Prayogi Dwi Sulistyo

Badan Pengawas Pemilu mendorong dilakukannya revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota jelang pelaksanaan Pilkada 2020. Undang-undang tersebut perlu disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena terdapat sejumlah perbedaan signifikan terkait pengawas pemilihan. Perbedaan itu antara lain, pada UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada, pengawas penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Panitia Pengawas yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi (Pasal 1 Angka 17).
Sementara di dalam UU Pemilu disebutkan, badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Bawaslu Kabupaten/Kota. Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutus sengketa administrasi pemilihan, sedangkan Panwaslu dalam UU Pilkada hanya memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi.

Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menegaskan, Panwas berbeda dengan Bawaslu. Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi persoalan tersebut yakni harus ada undang-undang pilkada yang baru yang sesuai dengan UU Pemilihan Umum. “Undang-undang (Pilkada) yang ada sekarang tidak bisa digunakan untuk Pilkada yang akan datang,” kata Fritz saat dihubungi di Jakarta, Minggu (11/8/2019).
Hal tersebut terjadi karena nama Panwas sudah tidak ada lagi dan sudah berubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Menurut Fritz, pembentukan undang-undang baru dibutuhkan mengingat revisi terbatas UU Pilkada tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang ada dalam UU Pemilu.
Lebih maju
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, ada beberapa pengaturan di Pemilu yang sudah maju seperti soal pengawasan karena telah belajar dari proses pelaksanaan Pilkada. Oleh karena itu, UU Pemilu sebenarnya adalah penyempurnaan dari proses yang ada sebelumnya. Permasalahannya, hingga saat ini belum ada perbaikan di dalam UU Pilkada berdasarkan evaluasi dari pelaksanaan-pelaksanaan pilkada sebelumnya. Veri mencontohkan tentang pengawasan kelembagaan penyelenggaraan pemilihan.

Kelembagaan pengawasan pemilihan dalam UU Pemilu sudah diatur sebagai badan permanen. Namun, UU Pilkada masih mengatur penyelenggaraan pengawasan pemilihan di tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh badan ad hoc. “Hal ini akan menimbulkan persoalan dalam pelaksanaan pilkada sebab tidak hanya berpengaruh pada teknis penyelenggaraan, tetapi ada konsekuensi hukum terkait pengaturan seperti ini,” kata Veri.

Selain bentuk lembaga, tambahnya, ada persoalan kewenangan pengawas pemilihan. Di dalam UU Pemilu, Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menangani pelanggaran administrasi dengan sifat putusan yang final dan mengikat. Namun, di UU Pilkada, putusan Panwas berupa rekomendasi. Hal ini akan berdampak pada munculnya masalah dari sisi regulasi dalam penyelenggaraan Pilkada nanti.
Persoalan lain ada pada pemantauan pemilihan. Pada Pemilu 2019, pendaftaran pemantau pemilihan dilakukan di Bawaslu. Begitu pula dengan pengawasannya. Ini berbeda dengan UU Pilkada, dimana pendaftaran pemantau pemilihan ada di KPU. Terhadap persoalan-persoalan tersebut, menurut Veri, perlu dipilah-pilah mana aturan yang harus disesuaikan melalui revisi UU dan mana yang perlu diuji ke Mahkamah Konstitusi.

“Penyelenggara Pemilu dan DPR harus duduk bersama memetakan mana regulasi yang harus diperbaiki dan mana yang bisa dijalankan,” tutur Veri.


Sumber : Kompas.id., 12 Agustus 2019

June 27, 2019

Partai Politik Pasca pemilu 2019



Partai Politik Pasca pemilu 2019
Oleh Salahuddin Wahid

Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan hasil resmi penghitungan suara Pemilu Legislatif 2019. Hasilnya, PDI-P 19,33 persen; Gerindra 12,57 persen; Golkar 12,31 persen; PKB 9,69 persen; Nasdem 9,05 persen; PKS 8,21 persen; Demokrat 7,77 persen; PAN 6,84 persen; PPP 4,52 persen; Perindo 2,67 persen; Partai Berkarya 2,09 persen; PSI 1,89 persen; Hanura 1,54 persen; PBB 0,79 persen; Garuda 0,5 persen; dan PKPI 0,22 persen.
Ada sembilan partai politik yang berhasil masuk ke DPR. Mungkin dua atau tiga partai tidak punya wakil di DPRD.
Partai yang dianggap sebagai partai kiri adalah PDI-P dengan jumlah suara 19,33 persen. Partai yang dianggap sebagai partai kanan adalah PKS dengan jumlah suara 8,21 persen. Partai yang dianggap sebagai partai tengah kanan adalah PKB, PAN, dan PPP dengan jumlah suara 21,05 persen.

Partai yang dianggap sebagai partai tengah adalah Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Gerindra. Golkar dan partai-partai yang merupakan turunan dari  Golkar itu mencapai jumlah suara 41,7 persen. Sejumlah  partai lagi dapat dianggap turunan Golkar, yaitu Perindo, Berkarya, Hanura, dan PKPI, yang jumlah suaranya adalah 7,02 persen. Ternyata koalisi dalam pilpres mengabaikan pengelompokan partai di atas.
PPP masih beruntung bisa lolos ke Senayan, padahal sebulan sebelum pemilu mendapat pukulan berat akibat kasus korupsi ketua umumnya. Kalau pada Pemilu 2024 ambang batas itu dinaikkan lagi, PPP mungkin tidak  mempunyai wakil di DPR. Hal itu bisa dicegah apabila dalam lima tahun ke depan PPP bisa melakukan konsolidasi. Namun, itu tidak mudah dilakukan, bergantung kepada siapa yang akan menjadi ketua umum PPP. Dan, kita tahu sungguh sulit mencari tokoh yang bisa menggantikan posisi Muhammad Romahurmuziy sebagai Ketua Umum PPP

Sumber : Kompas.id.

Partai Berkarya kalau mulai aktif lebih awal, ditata dengan baik, dan mesinnya betul-betul digerakkan masih bisa berharap menembus ambang batas 4 persen. Kegagalan Perindo menunjukkan bahwa dukungan dana dan media elektronik saja tidak cukup kuat menembus jumlah suara 4 persen. Diperlukan tokoh partai yang mampu menarik minat pemilih. Tidak berhasilnya Partai Hanura juga menunjukkan pentingnya peran tokoh partai dalam meraih dukungan pemilih.
Kalau wakil-wakilnya di DPRD bekerja dengan baik dan mampu menjaga integritas mereka, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) punya prospek yang baik karena berpotensi mendapat dukungan milenial dan mereka yang menginginkan perubahan mendasar kehidupan politik Indonesia. PSI bisa dianggap satu arus dengan PDI-P. PBB dan PKPI sebaiknya tidak meneruskan perjuangan mereka dalam pemilu dan bergabung dengan partai lain yang sejenis.
Gerindra identik dengan Prabowo Subianto. Karena itu, Gerindra akan menghadapi masalah besar kalau Prabowo tidak menjabat sebagai ketua umum lagi. Mungkin Prabowo bisa menjadi ketua dewan pembina, tetapi tidak mudah mencari penggantinya sebagai ketua umum.
Partai Demokrat mungkin lebih ringan tantangannya. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa menjadi ketua dewan pembina dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi ketua umum. PDI-P juga akan menghadapi masalah serupa kalau Megawati Soekarnoputri meletakkan jabatan sebagai ketua umum. Sebaiknya, Megawati pindah ke posisi semacam ketua dewan pembina dengan wewenang yang besar. Itu harus dilakukan segera agar PDI-P punya cukup waktu untuk berbenah menghadapi 2024.

Partai berbasis massa Islam

Pemilu 1955 menghasilkan peta partai politik yang selama ini dipakai sebagai acuan dalam dunia politik kepartaian di Indonesia. Saat itu ada empat partai besar, yaitu PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan PKI. Warga PNI dianggap tersebar ke PDI-P dan Golkar. Warga Masyumi dianggap tersebar ke PKS dan PAN. Warga NU dianggap tersebar ke PKB dan PPP. Keturunan PKI kebanyakan bergabung ke PDI-P.

Ternyata anggapan tersebut saat ini tidak sepenuhnya benar. Data hitung cepat (exit poll) dari salah satu lembaga survei mengungkap fakta yang mungkin tidak diketahui  kebanyakan orang. Pilihan mereka yang mengaku sebagai warga NU terbagi sebagai berikut: PKB 15 persen, Gerindra 13 persen; PDI-P 17 persen, Golkar 12 persen, Nasdem 9 persen; PKS 7 persen, Demokrat 8 persen, PAN 5 persen, dan PPP 5 persen.

Gerindra identik dengan Prabowo Subianto. Karena itu, Gerindra akan menghadapi masalah besar kalau Prabowo tidak menjabat sebagai ketua umum lagi.

Hanya 15 persen warga NU yang memilih PKB, di bawah yang memilih PDI-P. Kalau ditambah suara PPP, jumlahnya menjadi 20 persen. Suara warga NU tersebar dengan pola bahwa Golkar dan partai turunannya menguasai suara warga NU.

Pilihan mereka yang mengaku sebagai warga Muhammadiyah adalah seperti berikut: PKB 5 persen, Gerindra 12 persen, PDI-P 1 persen, Golkar 9 persen, Nasdem 8 persen, PKS 12 persen, PAN 19 persen, Demokrat 7 persen, dan PPP 4 persen. Warga Muhammadiyah yang memilih PAN lebih tinggi daripada yang memilih partai lain. Pilihan warga ormas Islam lain adalah sebagai berikut: PKB 7 persen, Gerindra 13 persen, PDI-P 12 persen, Golkar 17 persen, Nasdem 7 persen, PKS 14 persen, PAN 8 persen, Demokrat 8 persen, dan PPP 3 persen.

Jadi, warga NU yang memilih partai Golkar dan partai turunan Golkar lebih tinggi daripada yang memilih PKB dan PPP. Warga Muhammadiyah yang memilih Golkar dan partai turunan Golkar juga lebih tinggi daripada yang memilih PAN atau PKS. Pola yang sama terjadi di dalam kalangan warga ormas Islam yang lain dan juga umat Islam yang tidak ikut ormas Islam apa pun.

Pengurangan jumlah partai

Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi jumlah partai. Ambang batas jumlah pemilih partai untuk bisa lolos ke DPR perlu dinaikkan secara bertahap, paling tidak 1 persen setiap pemilu. Ambang batas 10 persen akan efektif  dalam mengurangi jumlah partai yang lolos ke DPR. Dengan melihat perolehan suara saat ini, hanya ada tiga partai yang lolos. Mungkin ada satu atau dua partai lagi yang bisa lolos.
Partai yang terbukti mampu bertahan dalam jangka waktu lama dan memperoleh jumlah suara tinggi adalah Partai Golkar. Partai itu tidak tergantung kepada satu tokoh tertentu. Maka, diperkirakan Golkar akan menjadi salah satu partai yang tetap bertahan kalau ambang batas jumlah suara partai dinaikkan menjadi 10 persen.



KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Dua pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, bersama pimpinan parpol dan caleg serta Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman dan Ketua Bawaslu RI Abhan melepaskan burung dara saat Deklarasi Kampanye Damai Pemilu Serentak 2019 di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (23/9/2018). Acara yang juga dihadiri perwakilan partai politik dan sejumlah caleg tersebut mendeklarasikan kampanye antipolitisasi SARA, anti-politik uang, dan anti-hoaks.

Partai yang juga akan mampu lolos adalah PDI-P. Tanpa Megawati pun PDI-P akan mampu menembus angka 10 persen. Gerindra bisa melampaui ambang batas 10 persen, tetapi bisa juga tidak. Diperkirakan Nasdem dan Demokrat sulit untuk bisa melampaui ambang batas 10 persen.

Partai berbasis ormas Islam atau berbasis massa politis Islam besar kemungkinan akan ada yang bisa menembus ambang batas 10 persen, yaitu PKB. Diperkirakan massa PPP sebagian besar akan bergabung dengan PKB. Masih diperlukan satu partai lagi yang bisa mewakili aspirasi umat Islam. Untuk bisa menembus ambang batas 10 persen, PKS dan PAN harus bergabung. Namun, kita tahu bahwa tidak mudah untuk membuat mereka bersedia bergabung.

Ke depan tetap diperlukan kehadiran dua partai bernuansa Islam, yaitu partai berbasis ormas Islam dan partai berbasis massa Islam politik.

Sejauh ini belum pernah terjadi penggabungan sukarela di antara dua partai. Penyebab utamanya adalah sulitnya mencapai kata sepakat tentang pembagian posisi pimpinan di semua tingkat kepengurusan.
Jumlah pemilih partai Islam pada Pemilu 1955 mencapai 43 persen. Kini, jumlah pemilih partai bernuansa Islam  hanya sekitar 30 persen. Perlu diteliti, apakah menurunnya jumlah pemilih partai bernuansa Islam itu karena faktor yang bersifat ideologis/pemikiran atau karena tidak adanya tokoh yang diterima berbagai pihak terkait (stakeholders) dan masyarakat atau perilaku negatif para wakil rakyat dan tokoh partai.

Para tokoh partai bernuansa Islam perlu mencari solusi terhadap fenomena tersebut. Kalau itu diabaikan, masa depan partai berbasis ormas Islam atau berbasis massa Islam politik akan menghadapi tantangan berat.

Ke depan tetap diperlukan kehadiran dua partai bernuansa Islam, yaitu partai berbasis ormas Islam dan partai berbasis massa Islam politik. Partai bernuansa Islam akan berperan menjadi penyalur aspirasi massa Islam politik secara konstitusional. Kalau tidak ada saluran aspirasi itu, dikhawatirkan aspirasi massa Islam politik akan disampaikan secara inkonstitusional.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng, Kompas.id., 27 Juni 2019



February 13, 2019

Mesin Partai Untuk Sukseskan Kampanye Capres




Mesin Partai Untuk Sukseskan Kampanye Capres
Oleh : Ridho Imawan Hanafi 
Dua pasangan kandidat presiden dan kandidat wakil presiden (capres- cawapres) dihadapkan pada waktu yang terus berjalan untuk melakukan kampanye menuju hari pemilihan, 17 April 2019. Dengan setiap kandidat memiliki basis dukungan pemilih loyal sebagaimana terpotret dari berbagai rilis hasil survei sejauh ini, bagaimana upaya kandidat dan mesin partai memaksimalkan peluang yang ada untuk merayu simpati pemilih? Untuk ini, dua pasangan kandidat setidaknya memiliki dua pekerjaan: bagaimana tetap bisa mempertahankan calon pemilih loyal dan bagaimana upaya merayu simpati calon pemilih yang kecenderungannya masih mengambang dan yang masih belum menentukan pilihan.
Kampanye bagi kandidat bertujuan meningkatkan peluang kemenangan di pemilu melalui mobilisasi pendukung untuk memilih dan membujuk mereka yang belum loyal agar berada di pihaknya (Hill, 2017). Terhadap calon pemilih loyal, yakni pemilih yang cenderung tak akan mengubah pilihan meski kerap terpapar beragam informasi bujuk rayu, ujian bagi kedua pasangan kandidat adalah merawat, menjaganya, untuk memastikan sebagai modal atau potensi untuk menang. Mereka yang cenderung memiliki loyalitas yang tak goyah ini juga bisa diharapkan membantu kandidat untuk memersuasi kalangan lain guna memutuskan pilihan kepada kandidat yang didukung. Kalangan di luar pemilih loyal adalah calon pemilih yang masih mengambang (swing voters), yakni pemilih yang tak begitu solid berkomitmen pada satu kandidat dan kesetiaan terakhirnya diragukan sampai hari pemilihan (Mayer, 2007).
Dengan kecenderungannya yang masih bisa berubah atau pindah dari satu pilihan ke pilihan lain, membuat siapa yang paling bisa menarik simpati merekalah yang berpeluang dipilih kalangan ini. Pemilih mengambang yang sifatnya rasional instrumental, merujuk Strohmeier (2013), kerap dipengaruhi seperti kompetensi, program partai ataupun kandidat, sementara yang afeksional lebih mudah tertarik dengan hal kepribadian atau karisma kandidat.
Tiap-tiap kandidat sepanjang masa kampanye ini telah mencoba menawarkan apa yang akan dikerjakan jika mereka terpilih. Dengan alokasi waktu yang masih tersedia ditambah dengan diberikannya beberapa kesempatan berdebat dalam satu panggung memungkinkan kandidat bisa menyentuh pada kalangan yang masih mengambang. Substansi ataupun materi kampanye yang diungkapkan ke pemilih bisa jadi sebagian tidak lagi membawa banyak pengaruh bagi mereka yang sudah memastikan pilihannya nanti, tetapi bagi pemilih yang masih mengambang banyaknya masukan informasi atau data tentang kandidat bukan tidak mungkin bisa membawa pengaruh terhadap keputusan memilih.
Bagi kandidat petahana, pencapaian selama memimpin bisa dimaksimalkan untuk dikampanyekan agar publik lebih tahu dan mengerti apa yang sudah dikerjakan dan  menawarkan apa yang akan dilakukan jika terpilih kembali. Petahana dalam kontestasi seperti pemilu umumnya memiliki keuntungan dibandingkan dengan kandidat penantang karena petahana memiliki kesempatan untuk menjelaskan kepada pemilih tentang apa saja yang sudah pernah dikerjakan. Berbagai hal yang menurut petahana dinilai sebagai keberhasilan atas apa yang sudah dikerjakan bisa diluaskan informasinya kepada pemilih.
Sementara itu, dengan posisi yang berbeda dari petahana, kandidat penantang memiliki kesempatan menawarkan program atau apa yang akan dikerjakan ketika terpilih dengan perbedaan-perbedaannya dari petahana. Keuntungan yang dimiliki penantang adalah posisinya bisa mengkritisi atas apa yang sudah dikerjakan petahana dalam kampanyenya sambil menawarkan berbagai alternatif kebijakan yang dinilai lebih baik dari petahana. Baik kandidat petahana maupun penantang di masa-masa menjelang pemilihan akan tertantang menghindari kesalahan-kesalahan yang sifatnya bisa menggerus potensi keterpilihan.
Dengan apa yang dicatat Farrell (2006) bahwa saat ini sebagai era revolusi telekomunikasi yang telah banyak memengaruhi cara berkampanye kandidat ataupun partai di pemilu, melalui berbagai media teknologi informasi kedua kandidat bisa menggunakannya untuk menjangkau sebaran pemilih yang lebih luas. Kampanye tatap muka memiliki kelebihan, tetapi terbatas jangkauannya. Kekurangan ini bisa terbantu dengan mengamplifikasi informasi lewat berbagai media, tidak hanya media konvensional, tetapi juga media sosial, untuk memengaruhi persepsi pemilih. Yang terakhir ini bahkan sudah menjadi instrumen yang memiliki cukup pengaruh dalam politik elektoral di Indonesia.
Dukungan mesin partai
Kampanye dengan berbagai media tidak cukup tanpa dukungan aktif mesin politik kandidat yang terutama partai politik. Relasi kehadiran kandidat dan mesin partai tidak bisa dilepaskan karena kemunculan kandidat diusung dan didukung partai. Sebagai salah satu mesin pemenangan, partai memiliki infrastruktur politik dari level pusat sampai daerah. Dengan kekuatan ini, kampanye kandidat bisa menjangkau pada level kader, simpatisan di lapisan bawah untuk memobilisasi dukungan. Mesin partai pada tingkat bawah menjadi instrumen yang paling depan dalam mengenalkan kandidat kepada pemilih. Intensitas jalinan komunikasi antara mesin partai dan pemilih mendukung bagi upaya pengenalan dan ketertarikan kandidat di mata pemilih.
Tantangan yang dihadapi partai dengan pemilu legislatif dan pemilihan presiden dilaksanakan dalam hari yang sama membuat kampanye mesin partai tidak cukup hanya mempromosikan partai dan kandidat legislatif, tetapi juga kandidat presiden. Dengan kata lain, partai tidak bisa jika hanya berfokus pada target perolehan suara atau agar dapat menembus ambang batas parlemen, tetapi juga pada bagaimana kandidat presidennya memenangi pemilihan. Atau hanya sebaliknya lebih mengonsentrasikan sosialisasi kandidat presiden, sementara program partai atau mengapa partainya harus dipilih dalam pemilu tidak mendapat perhatian yang maksimal. Oleh karena itu, strategi kampanye yang ditempuh partai menjadi ikut menentukan dalam mendukung pencapaian tujuan.
Peran mesin partai dalam mengawal kampanye kandidat presiden juga penting artinya bagi upaya mengurangi potensi terjadinya para pemilih sebuah partai yang memilih kandidat presiden yang berbeda dari kandidat yang didukung partai (split-ticket voting). Upaya mengurangi potensi tersebut memerlukan konsolidasi internal partai dari segala tingkatan dengan tujuan agar pilihan yang sudah ditempuh partai dalam hal keputusan memilih kandidat presiden dan wakilnya untuk didukung juga sejalan dengan pilihan para pemilih partai atau basis pendukungnya. Selain internal partai, dalam kerangka koalisi antarpartai pendukung kandidat juga perlu soliditas di tengah kompetisi antarpartai dalam upaya memperoleh kursi legislatif.

Sumber : Kompas.id Kompas, 13 Februari 2019, Kampanye Capres dan Mesin Partai: Ridho Imawan Hanafi Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI


February 5, 2019

Bangun Personal Branding untuk Tingkatkan Bisnis




Bangun Personal Branding untuk  Tingkatkan Bisnis
           
Sebagai pengusaha, sebuah produk dan cara pemasaran memang penting. Namun, sebagai pemiliknya Anda harus mampu mendukung peningkatan bisnis. Nah, hal itu berarti membutuhkan personal branding yang baik. Bagaimana membuat pribadi Anda menjadi salah satu cara mendorong bisnis ke level selanjutnya?
Dengan tumbuhnya wirausaha, tentunya kita juga ingin tahu, apakah sesuatu yang kita beli berasal dari orang yang tepat. Berikut ini cara bagaimana Anda bisa meningkatkan personal branding.
Hadir di setiap acara

Levidio Personal Branding


Anda tidak akan dikenal jika tidak punya komitmen untuk datang dan tampil ke dalam setiap acara, apalagi acara perusahaan sendiri. Pasar semakin sibuk dan kanal media sosial semakin kencang. Kehadiran Anda, bahkan kalau perlu menampilkan diri melalui konten media sosial, bisa membantu meningkatkan personal branding Anda.
Namun, jangan hanya datang, tetapi juga berbaur dengan pengunjung. Dari situ, Anda bisa memperkenalkan diri dan mencari insight langsung dari calon konsumen atau rekan usaha.
Bangun kredibilitas
Kehadiran memang penting, tetapi kredibilitas Anda bagaimana? Sesaat setelah hadir, Anda membutuhkan kredibilitas untuk menghasilkan kerja sama dan berkolaborasi. Lalu, bagaimana caranya?

Pastikan selalu menepati janji dengan konsumen, bertanggung jawab pada perusahaan, dan memimpin karyawan dengan baik. Kredibilitas juga bisa dibangun dengan menyajikan produk yang memberikan kepuasan pelanggan.
Brand story
Setelah membangun kredibilitas, tentu saja hal ini harus diketahui orang banyak. Ceritakan cerita Anda kepada audiens lewat berbagai kanal. Jika suka menulis, tulislah melalui blog, jika suka foto lakukan di Instagram, atau kalau lebih suka berbicara, Anda bisa melakukan instastory atau bahkan membuat vlog di Youtube.

Ajaklah usaha Anda menjadi bagian dari perjalanan hidup Anda. Apa yang bisa diceritakan? Banyak hal, misalnya keseharian Anda dalam menjalankan usaha, pencapaian, atau bertemu konsumen loyal. Semua menjadi bagian dari cerita Anda.

Sumber : Kompas.id, 4 Februari 2019