December 21, 2025

Berkaca Pada Bencana Banjir Bandang Sumatera, Kita Harus Berbenah Diri

 


Oleh   Harmen Batubara

Tragedi telah menyisakan luka yang mendalam. Angka 1.060 jiwa yang melayang dan 186 orang yang masih dinyatakan hilang bukan sekadar statistik; mereka adalah keluarga, harapan, dan masa depan yang terenggut oleh amukan alam yang kita sebut sebagai Siklon Senyar. Dengan kerugian material mencapai Rp65 triliun, bencana ini menjadi alarm keras bahwa benteng pertahanan kita terhadap bencana masih sangat rapuh.

Realita di Lapangan: Antara Jeritan dan Keterbatasan

Di tengah terjangan banjir bandang, muncul sebuah paradoks yang menyedihkan. Para korban merasa bantuan datang terlambat dan sangat terbatas. Di sisi lain, para petugas penolong di lapangan berjibaku dengan kondisi yang mustahil: jalan nasional, provinsi, hingga jalan desa terputus total akibat longsor.

Jembatan-jembatan hancur, rumah-rumah hanyut, bahkan ada kampung yang hilang dari peta dalam semalam. Ketika infrastruktur hancur, distribusi logistik dan alat berat menjadi mustahil dilakukan dengan cepat. Kita terjebak dalam ketidaksiapan aksesibilitas yang fatal.


Ego Sektoral dan Gap Teknologi

Salah satu kelemahan mendasar yang terungkap adalah sistem kebencanaan nasional yang belum terintegrasi. Kita memiliki lembaga-lembaga hebat seperti BMKG, BRIN, BNPB, dan BIG, namun mereka seolah masih bekerja dalam "ruang" masing-masing.

Data cuaca, riset geologi, eksekusi lapangan, dan data spasial belum menyatu dalam satu sistem komando yang taktis. Kita juga belum memanfaatkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) secara maksimal untuk memprediksi pola bencana secara presisi dan real-time. Tanpa integrasi data dan teknologi AI, kita hanya akan selalu bergerak di belakang bencana, bukan mengantisipasinya.

Alam yang Dijarah dan Pembangunan yang Rapuh

Bencana ini bukan sepenuhnya "takdir" alam. Pengelolaan lingkungan kita jauh dari kata memadai. Sumber Daya Alam kita terus dijarah melalui pertambangan serampangan dan penebangan hutan ilegal. Hutan yang seharusnya menjadi penyerap air justru gundul, mengubah hujan menjadi air bah yang mematikan.

Realitas di lapangan menunjukkan sistem penanggulangan bencana nasional masih jauh dari sempurna. BMKG, BRIN, BNPB, dan BIG belum terintegrasi penuh, meski ada upaya seperti IDRIP untuk peringatan dini multi-hazard. Pemanfaatan AI untuk prediksi cuaca baru tahap awal kolaborasi BMKG dengan mitra swasta, belum optimal. Pengelolaan lingkungan buruk: penebangan hutan ilegal dan tambang liar merusak daerah aliran sungai (DAS), seperti di Batang Toru, sehingga air tak terserap dan longsor masif. Belum ada shelter evakuasi standar nasional yang memadai, infrastruktur tahan bencana absen, dan kesiapan BNPB perlu ditingkatkan signifikan, termasuk respons lambat yang dikritik publik.

Selain belum memiliki shelter evakuasi standar yang tersebar merata di zona merah. Infrastruktur kita pun belum dirancang sebagai "Infrastruktur Tahan Bencana". Kita membangun hanya untuk hari ini, tanpa memikirkan ketahanan terhadap bencana besar yang pasti akan terulang.

Semangat Perbaikan: Bencana Pasti Datang Lagi

Kita harus jujur pada diri sendiri: Kita memang belum siap sama sekali. Namun, pengakuan ini bukanlah untuk melemahkan semangat, melainkan sebagai pijakan untuk berbenah.

BNPB sebagai ujung tombak perlu terus ditingkatkan kapasitas dan kemampuannya, baik dari sisi personel maupun peralatan. Namun, tanggung jawab ini tidak bisa hanya dipikul satu lembaga. Perlu ada kesadaran kolektif untuk berhenti merusak alam dan mulai membangun sistem peringatan dini yang terintegrasi secara nasional.

Bencana sudah terjadi. Mari kita jadikan momentum ini untuk lebih peduli dan memperbaiki sistem yang ada. Mari integrasikan lembaga kebencanaan dengan AI canggih untuk prediksi akurat, awasi ketat SDA cegah illegal logging dan mining, bangun infrastruktur tahan bencana plus shelter standar, serta tingkatkan kapasitas BNPB. Semangat gotong royong dan kepedulian harus jadi budaya. Bencana pasti datang lagi—kita harus lebih siap!