Oleh Harmen Batubara
Tragedi telah menyisakan luka yang mendalam. Angka
1.060 jiwa yang melayang dan 186 orang yang masih dinyatakan hilang bukan
sekadar statistik; mereka adalah keluarga, harapan, dan masa depan yang
terenggut oleh amukan alam yang kita sebut sebagai Siklon Senyar.
Dengan kerugian material mencapai Rp65 triliun, bencana ini menjadi alarm keras
bahwa benteng pertahanan kita terhadap bencana masih sangat rapuh.
Realita di
Lapangan: Antara Jeritan dan Keterbatasan
Di tengah terjangan banjir bandang, muncul sebuah
paradoks yang menyedihkan. Para korban merasa bantuan datang terlambat dan
sangat terbatas. Di sisi lain, para petugas penolong di lapangan berjibaku
dengan kondisi yang mustahil: jalan nasional, provinsi, hingga jalan desa
terputus total akibat longsor.
Jembatan-jembatan hancur, rumah-rumah hanyut,
bahkan ada kampung yang hilang dari peta dalam semalam. Ketika infrastruktur
hancur, distribusi logistik dan alat berat menjadi mustahil dilakukan dengan
cepat. Kita terjebak dalam ketidaksiapan aksesibilitas yang fatal.
Ego Sektoral
dan Gap Teknologi
Salah satu kelemahan mendasar yang terungkap adalah
sistem kebencanaan nasional yang belum terintegrasi. Kita memiliki
lembaga-lembaga hebat seperti BMKG, BRIN, BNPB, dan BIG,
namun mereka seolah masih bekerja dalam "ruang" masing-masing.
Data cuaca, riset geologi, eksekusi lapangan, dan
data spasial belum menyatu dalam satu sistem komando yang taktis. Kita juga
belum memanfaatkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence)
secara maksimal untuk memprediksi pola bencana secara presisi dan real-time. Tanpa integrasi data dan teknologi AI, kita
hanya akan selalu bergerak di belakang bencana, bukan mengantisipasinya.
Alam yang
Dijarah dan Pembangunan yang Rapuh
Bencana ini bukan sepenuhnya "takdir"
alam. Pengelolaan lingkungan kita jauh dari kata memadai. Sumber Daya Alam kita
terus dijarah melalui pertambangan serampangan dan penebangan hutan ilegal.
Hutan yang seharusnya menjadi penyerap air justru gundul, mengubah hujan
menjadi air bah yang mematikan.
Realitas di lapangan menunjukkan sistem
penanggulangan bencana nasional masih jauh dari sempurna. BMKG, BRIN, BNPB, dan
BIG belum terintegrasi penuh, meski ada upaya seperti IDRIP untuk peringatan
dini multi-hazard. Pemanfaatan AI untuk prediksi cuaca baru tahap awal
kolaborasi BMKG dengan mitra swasta, belum optimal. Pengelolaan lingkungan
buruk: penebangan hutan ilegal dan tambang liar merusak daerah aliran sungai
(DAS), seperti di Batang Toru, sehingga air tak terserap dan longsor masif.
Belum ada shelter evakuasi standar nasional yang memadai, infrastruktur tahan
bencana absen, dan kesiapan BNPB perlu ditingkatkan signifikan, termasuk
respons lambat yang dikritik publik.
Selain belum memiliki shelter evakuasi standar
yang tersebar merata di zona merah. Infrastruktur kita pun belum dirancang
sebagai "Infrastruktur Tahan Bencana". Kita membangun hanya untuk
hari ini, tanpa memikirkan ketahanan terhadap bencana besar yang pasti akan
terulang.
Semangat
Perbaikan: Bencana Pasti Datang Lagi
Kita harus jujur pada diri sendiri: Kita memang belum siap sama sekali. Namun, pengakuan
ini bukanlah untuk melemahkan semangat, melainkan sebagai pijakan untuk
berbenah.
BNPB sebagai ujung tombak perlu terus ditingkatkan
kapasitas dan kemampuannya, baik dari sisi personel maupun peralatan. Namun,
tanggung jawab ini tidak bisa hanya dipikul satu lembaga. Perlu ada kesadaran
kolektif untuk berhenti merusak alam dan mulai membangun sistem peringatan dini
yang terintegrasi secara nasional.
Bencana sudah terjadi. Mari kita jadikan momentum
ini untuk lebih peduli dan memperbaiki sistem yang ada. Mari integrasikan lembaga
kebencanaan dengan AI canggih untuk prediksi akurat, awasi ketat SDA cegah
illegal logging dan mining, bangun infrastruktur tahan bencana plus shelter
standar, serta tingkatkan kapasitas BNPB. Semangat gotong royong dan kepedulian
harus jadi budaya. Bencana pasti datang lagi—kita harus lebih siap!


