Menakar
Putaran Kedua Pilkada Jakarta
Oleh : Djayadi Hanan
Berdasarkan
hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan hasil real count yang
ditayangkan laman Komisi Pemilihan Umum, putaran kedua pemilihan gubernur dan
wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 tinggal menunggu penghitungan dan
pengumuman resmi saja.Tidak ada satu pasangan calon pun yang berhasil
memperoleh suara lebih dari 50 persen. Pasangan calon nomor urut satu, Agus
Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, hampir pasti berada di posisi ketiga.
Putaran kedua akan diikuti pasangan calon nomor urut dua, Basuki Tjahaja
Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan calon nomor urut tiga, Anies
Baswedan-Sandiaga Uno.
Perhatian
kini tertuju pada dinamika kompetisi putaran kedua. Pertanyaan utamanya ada
dua: ke manakah partai-partai pendukung Agus-Sylvi akan mengalihkan dukungannya
dan ke manakah pemilih pasangan calon ini akan berlabuh? Dua pertanyaan ini
disebut utama dengan asumsi pemilih pasangan calon nomor urut dua dan tiga akan
tetap solid mendukung mereka di putaran kedua.
Jika
melihat karakteristik pemilih dan partai pendukung pasangan calon nomor urut
satu, pasangan calon nomor urut tiga memang punya peluang lebih besar untuk
memperoleh limpahan suara karena karakteristik pemilihnya mirip. Namun, putaran
kedua baru akan berlangsung sekitar dua bulan lagi, yakni 19 April 2017. Banyak
hal bisa terjadi selama dua bulan tersebut. Sejumlah kejutan bisa saja muncul.
Maka,
untuk sementara kita harus mengatakan putaran kedua akan berlangsung sangat
ketat, bahkan sengit. Kedua pasangan calon memiliki kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Di atas kertas, kedua hal ini bisa membuat pertarungan pasangan
calon nomor urut dua melawan pasangan calon nomor urut tiga berimbang, seperti
pada putaran pertama.
Koalisi partai
Meski
pergerakan di tingkat elite belum tentu diikuti oleh pendukungnya di kalangan
pemilih, dukungan partai tetap penting sebagai simbol, sebagai tambahan potensi
mesin politik, dan untuk tambahan suara dari pendukung partai yang masih punya
kedekatan emosional dengan partai atau elite partai. Sekecil apa pun tambahan
dukungan diperoleh tetap akan penting mengingat putaran kedua diasumsikan
berlangsung ketat dan sengit.
Yang
juga penting, meraih dukungan partai minimal mengurangi potensi partai tersebut
untuk membantu pihak lawan. Dengan kata lain, partai-partai yang mendukung
pasangan calon nomor urut satu jelas akan menjadi rebutan pasangan calon nomor
urut dua dan nomor urut tiga. Di atas kertas, ada tiga partai yang paling
mungkin bergabung dengan pasangan calon nomor urut dua: Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional
(PAN). Ketiga partai ini bagian dari koalisi besar pendukung Joko Widodo-Jusuf
Kalla bersama dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar,
Nasdem, dan Hanura. Atas dasar itu, ketiga partai pengusung pasangan calon
nomor urut satu lebih masuk akal diprioritaskan oleh pasangan calon nomor urut
dua yang diusung dan didukung keempat partai pendukung pemerintah tersebut.
Namun,
jika benar ketiga partai berpindah ke pasangan calon nomor urut dua, tantangan
besarnya adalah bagaimana mentransformasi sikap elite partai menjadi sikap para
pemilih pendukung partai. Mengingat kecenderungan pemilih Jakarta yang lebih
independen dan biasanya ketokohan figur lebih penting bagi pemilih dalam
pilkada, sangat tidak mudah melakukan transformasi ini. Misalnya, menurut
berbagai survei SMRC sepanjang 2016 hingga awal 2017, lebih dari 75 persen
pemilih Jakarta memutuskan sendiri pilihannya.
PKB
secara tradisional mungkin menunjukkan kaitan emosional yang cukup dekat antara
elite dan para pendukungnya. Ini bisa menjadi peluang bagi pasangan calon nomor
urut dua. Dengan menggandeng PKB, warga Nahdlatul Ulama (NU) yang biasanya
cenderung memilih PKB diharapkan juga akan mengikuti pergerakan elite partai.
Tantangannya adalah sejumlah tokoh NU, seperti Kiai Ma’ruf Amin, kelihatan
cenderung kurang berpihak kepada pasangan Basuki-Djarot. Sampai tingkat
tertentu hal yang sama bisa juga terjadi pada PPP, yang sebagian pemilihnya
mirip dengan pemilih PKB.
Yang
juga sangat mungkin, partai-partai pendukung pasangan calon nomor urut satu
akan menentukan sikap berdasarkan kecenderungan pilihan pendukungnya di putaran
pertama. Data untuk ini pasti tersedia di partai masing-masing. Dalam exit poll
SMRC pada hari pemungutan suara lalu, sekitar 70 persen pemilih PAN, 60 persen
pemilih PKB, dan 50 persen pemilih PPP memilih pasangan calon tiga.
Ini
artinya pemilih ketiga partai tersebut punya kecenderungan memilih Anies-Sandi.
Kalau kecenderungan ini yang dipakai, maka ketiga partai ini juga sangat
mungkin bergabung dengan pasangan calon nomor urut tiga. Dengan kata lain,
tarik-menarik terhadap dukungan tiga partai pendukung Agus-Sylvi ini akan
berlangsung sengit.
Menurut
logika politik konvensional, Partai Demokrat adalah yang paling sulit diajak
bergabung ke pasangan calon nomor urut dua. Selain bukan bagian dari koalisi
pendukung pemerintah yang dimotori PDI-P, hubungan ketua umum partai ini dengan
Ketua Umum PDI-P masih belum mulus. Beberapa peristiwa politik menjelang hari
pemungutan suara 15 Februari makin menguatkan ketegangan antara Partai Demokrat
dan PDI-P beserta pendukung masing-masing, bahkan antara Ketua Umum Partai
Demokrat dan pihak Istana.
Apakah
ini berarti Partai Demokrat akan lebih mudah ke Anies-Sandi? Mungkin saja, tapi
belum tentu. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum biasanya sangat
memperhatikan kecenderungan pilihan politik publik, yang dalam hal ini berarti
pemilih partainya. Di antara pendukung pasangan calon nomor urut satu, pemilih
Demokrat adalah yang paling solid. Menurut data exit poll SMRC, sekitar 64
persen pemilih Demokrat mendukung Agus-Sylvi, 24 persen mendukung Anies-Sandi,
dan 12 persen mendukung Basuki-Djarot.
Soliditas
pendukung Demokrat memang mungkin terjadi karena ketokohan SBY yang masih
mendominasi. Pergerakan SBY berpotensi untuk diikuti pendukungnya. Mengingat
dukungan elektoral partai ini ada di kisaran 10 persen, maka posisi Demokrat,
dan SBY, kembali penting, mungkin juga seksi.
Memahami pemilih dan
pergerakannya
Exit
poll SMRC menemukan lima alasan utama masyarakat memilih pasangan calon nomor
urut satu. Kelimanya secara berurutan adalah karena program yang meyakinkan
(27,4 persen), alasan terkait agama (17,7 persen), karena pilihan keluarga
(16,5 persen), karena dianggap memperjuangkan rakyat kecil (13,4 persen), dan
karena kampanyenya paling diingat (11 persen). Ada sejumlah alasan lain dengan
persentase yang jauh lebih kecil.
Alasan
agama tampaknya langsung dapat kita gunakan sebagai alat prediksi. Perolehan
suara pasangan calon satu ada di kisaran 17 persen. Ini berarti, ada sekitar 3
persen pemilih pasangan calon satu memilih karena alasan agama. Di putaran
kedua, sangat besar kemungkinan pasangan calon tiga memperoleh tambahan 3
persen dari pergerakan pemilih ini. Jika analisis ini benar, tersisa 14 persen
pemilih Agus-Sylvi yang masih bisa diperebutkan.
Jika
menggunakan agama sebagai predictor, kemungkinan besar cara berpikir pemilih di
putaran pertama dilakukan secara dua tingkat. Pemilih Muslim yang banyak
dipengaruhi agama dalam keputusan memilih pertama-tama memilah ketiga pasangan
calon menjadi dua bagian: calon gubernur Muslim dan calon gubernur non-Muslim.
Selanjutnya, karena ada dua calon gubernur Muslim, maka pilihan dijatuhkan atas
pertimbangan faktor-faktor di luar agama.
Menurut
exit poll yang sama, Anies- Sandi dipilih karena alasan memiliki program yang
meyakinkan (39 persen), alasan agama (20,3 persen), pilihan keluarga (11,2
persen), kampanyenya paling diingat (10 persen), memperjuangkan rakyat kecil (9
persen), dan sejumlah alasan lain. Jadi, kalau kita bandingkan alasan memilih
pasangan calon nomor urut satu versus pasangan calon nomor urut tiga, tampak
faktor agama tidak begitu menonjol.
Akan
tetapi, kalau kita rinci distribusi pemilih berdasarkan agama kepada ketiga
pasangan calon, di kalangan Muslim, menurut exit poll itu, 47 persen memilih
Anies-Sandi, 34 persen memilih Basuki- Djarot, dan 19 persen memilih
Agus-Sylvi. Dengan kata lain, 66 persen pemilih Muslim memilih calon gubernur
Muslim. Jumlah pemilih Muslim di Jakarta ada sekitar 86 persen.
Dengan
asumsi angka partisipasi pemilih secara demografi terdistribusi secara
proporsional dibandingkan yang tidak memilih, ini berarti ada sekitar 56,7
persen pemilih Muslim (di antara 86 persen) yang memilih atas dasar keyakinan
agama. Angka ini dikonfirmasi oleh data lain dari exit poll yang menemukan
bahwa sekitar 56 persen pemilih Jakarta setuju bahwa orang Islam tidak boleh
dipimpin oleh orang bukan Islam. Kesimpulannya, faktor agama menjadi faktor
yang penting dalam pilkada DKI putaran pertama.
Sementara
itu, kekuatan utama pasangan calon nomor urut dua adalah posisinya sebagai
petahana. Alasan utama Basuki-Djarot dipilih adalah karena program yang paling
meyakinkan (67,4 persen), paling memperjuangkan rakyat kecil (15,6 persen),
pilihan keluarga (8,8 persen), kampanyenya paling diingat (5 persen), dan
sejumlah alasan lain. Data exit poll juga menemukan hal yang konsisten dengan
data berbagai survei sebelum pilkada soal tingkat kepuasan publik kepada
petahana, yaitu di kisaran 70 persen.
Inilah
alasan mengapa petahana masih bisa unggul tipis dari lawan-lawannya. Namun,
keunggulan sebagai petahana ini memperoleh tantangan serius, antara lain, dari
faktor sosiologis.
Kalau
kita sederhanakan, ada dua faktor utama yang bertarung dalam pilkada DKI putaran
pertama: faktor sosiologis dan faktor ekonomi-politik (evaluasi terhadap
petahana). Tentu saja kedua faktor ini dalam kenyataannya bukan faktor tunggal.
Keduanya berjalin berkelindan dengan faktor lain.
Pada
putaran kedua nanti, kedua faktor utama ini tetap akan berpengaruh. Namun,
seberapa besar pengaruhnya, masih bergantung pada banyak hal lainnya. Faktor
personalitas atau kualitas personal kandidat, baik dari segi kapasitas maupun
emosional, juga memengaruhi sikap pemilih. Faktor pengaruh agama, menurut
temuan berbagai survei hingga exit poll, tidak bersifat tetap. Sebelum akhir
Oktober atau November, jumlah pemilih Jakarta yang meyakini orang Islam tidak
boleh dipimpin non-Muslim ada di kisaran maksimal 30-35 persen.
Namun,
berbagai peristiwa, seperti dugaan penodaan agama, membuat sentimen ini
meningkat, hingga ke angka 50-an persen. Ia sempat turun lagi setelah
pertengahan Desember ketika suasana panas politik mulai turun. Menjelang hari
pemungutan suara, faktor ini kembali menguat. Sejumlah faktor lain juga mungkin
berpengaruh: manajemen isu di kedua pasangan calon (termasuk di dalamnya sidang
dugaan penodaan agama), intensitas proses sosialisasi selama dua bulan ke
depan, dan peristiwa-peristiwa yang muncul secara tidak terduga. Maka, belum ada
kandidat yang bisa ongkang-ongkang kaki menuju 19 April 2017. Putaran kedua is
still anybody’s game!
Oleh Djayadi Hanan-Direktur Eksekutif SMRC; Dosen Ilmu
Politik Universitas Paramadina ( Sumber : Harian Kompas, 22 Februari 2017)