February 27, 2018

Lemahnya Pemahaman Aturan Tentang Pilkada



Oleh Bambang Setiawan

Ben Brahim Bahat dan Nafiah Ibnor, pasangan calon untuk Pilkada Kabupaten Kapuas,  Kalimantan Tengah, mungkin tidak menyangka bahwa mereka berpotensi menjadi calon tunggal dalam pilkada ini. Sama seperti ketika kemudian mereka dibuat tidak menyangka bahwa peluang menjadi calon tunggal bisa tiba-tiba hilang.
Berbeda dengan beberapa daerah lain, seperti Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kabupaten Lebak di Banten yang sejak awal memang tidak ada penantang, di Kapuas awalnya ada dua calon. Keduanya diusung partai politik.
Pasangan Ben-Nafiah mendaftar dengan dukungan tujuh partai politik, yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP. Pasangan kedua adalah Mawardi dan Muhajirin yang diusung Partai Demokrat, Hanura, dan PBB. Saat pendaftaran, status keduanya adalah ”diterima”. Bahkan, ketika laporan tahap penelitian diumumkan, kedua pasang calon itu masuk kategori memenuhi syarat (MS).
Akan tetapi, ketika penetapan pencalonan pilkada diumumkan pada 12 Februari lalu, pasangan Mawardi-Muhajirin terpental dari daftar pencalonan dan dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kapuas. Rupanya, meskipun pada awalnya diterima sebagai calon, masih ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan Mawardi-Muhajirin.
Mereka harus secepatnya menyusulkan persyaratan yang kurang, di antaranya surat keterangan tidak pailit, keterangan tidak pernah dihukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), dan ijazah yang sudah dilegalisasi. Selain itu, dukungan Partai Bulan Bintang terhadap pasangan ini juga bermasalah karena sebelumnya telah menerbitkan surat dukungan untuk mengusung pasangan calon lawannya.
Padahal, untuk pengalihan dukungan, semua berkas pencalonan harus ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal (sekjen). Sementara, SK pengusungan PBB terhadap Mawardi-Muhajirin hanya ditandatangani pelaksana tugas (plt). Namun, hingga batas waktu masa pendaftaran ditutup, mereka tetap belum memenuhi sejumlah persyaratan sehingga berkas dikembalikan.
Mereka kemudian diberi waktu perpanjangan pendaftaran untuk dapat memenuhi persyaratan. Rupanya, hingga hari penetapan tiba, tetap ada persyaratan yang belum dipenuhi. Meskipun terpental pada saat pengumuman penetapan, pasangan ini tetap diuntungkan oleh sistem. Jika mereka gagal, pilkada di Kapuas berpotensi hanya diikuti satu pasang calon. Potensi calon tunggal ini membuat pendaftaran calon dibuka kembali.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO (NUT)
Spanduk berukuran besar tentang Pilkada Serentak 2018 terpasang di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Sabtu (17/6/2017). Pilkada serentak pada 27 Juni 2018 itu akan diselenggarakan di 17 Provinsi, 115 Kabupaten dan 39 Kota diseluruh Indonesia.

Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2015, Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2017, dan Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015, KPU Kabupaten Kapuas pun kembali membuka pendaftaran bakal calon bupati-wakil bupati.
Dalam aturan-aturan tersebut dijelaskan bahwa apabila di pemilihan kepala daerah terdapat satu pasang calon saja, dan ada satu atau lebih partai yang memiliki 20 persen kursi di legislatif belum mendaftarkan pasangannya, penyelenggara pemilu kembali membuka atau memperpanjang masa pendaftaran bakal pasangan calon. KPU Kapuas pun membuka kembali pendaftaran dari tanggal 19-21 Februari 2018.
Masalah tak berhenti sampai di situ, karena kemudian pasangan lawannya, Ben-Nafiah yang sebelumnya sudah ditetapkan lolos sebagai peserta pilkada, mengajukan keberatan kepada KPU yang mencabut penetapan nomor urut yang telah dilakukan dan membuka pendaftaran baru untuk pencalonan dari pasangan lain.  Pasangan calon ini pun berencana mengambil langkah hukum. Padahal, nyaris saja mereka menjadi calon tunggal.

Terancam mundur 

Ketidakmengertian pentingnya mempersiapkan secara cermat persyaratan pencalonan, sikap cuek yang menggampangkan urusan persyaratan, ditambah rumitnya penerapan aturan hukum terkait situasi yang dihadapi setelah penetapan calon yang mengarah ke calon tunggal, membuat tahapan pilkada di sejumlah daerah terancam mundur.
Kekurangsiapan  calon dalam menghadapi birokrasi pendaftaran pilkada juga membuat satu dari dua pasang calon di Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua, tersingkir dari gelanggang pilkada saat penetapan calon 12 Februari lalu. Akibatnya, wilayah ini berpotensi hanya memiliki calon tunggal.
Sedianya, pendaftar adalah pasangan Ricky Ham Pagawak-Yonas Kenelak dan Itaman Thago-Onny Pagawak. Ham-Yonas diusung enam partai politik, sementara Itaman-Onny mencalonkan lewat jalur perseorangan. Setelah penetapan oleh KPU, hanya pasangan Ricky-Yonas yang lolos ke tahap berikutnya, sedangkan Itaman-Onny terganjal persyaratan yang tidak dapat dipenuhi.
Kegagalan ini terjadi karena calon wakil Itaman, Onny Pagawak, tidak memiliki surat keterangan tidak pernah terpidana berdasarkan putusan pengadilan dan tidak dapat menyertakan ijazah SD ataupun SMP yang sudah dilegalisasi oleh instansi yang berwenang. Kalau saja syarat itu dipenuhi, nyaris saja kabupaten ini memiliki dua calon.
Demokrasi yang terganjal di lembar-lembar persyaratan terkadang berubah menjadi anarki. Seperti yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Awalnya terdapat tiga pendaftar untuk pilkada di sini. Namun, hanya pasangan Jhon Richard Banua-Marthin Yogobi yang didukung 10 partai politik yang berkasnya dinyatakan lengkap oleh KPU setempat. Dua pasang calon lainnya, yaitu Bartol Paragaye-Ronny Elopere dan Jimmy Asso-Lemban Kogoya ditolak lantaran berkas pencalonan dan berkas calon tidak memenuhi syarat.


KOMPAS/FABIO COSTA
Bupati Intan Jaya Natalis Tabuni (kemeja putih) saat menyampaikan keterangan terkait situasi keamanan di daerahnya.

Dukungan ganda

Silang sengkarut bukti surat dukungan parpol menjadi salah satu penyebab gagalnya kedua calon itu mendaftar. Jimmy Asso dan Lemban Kogoya membawa dua dukungan parpol PDI-P dan PAN. Namun, surat dukungan parpol tersebut dinilai tidak memenuhi syarat. Dua partai tersebut malah kemudian tercatat sebagai pengusung Jhon-Marthin.
Sementara, pasangan Bartol Paragaye-Ronny Elopere, yang juga mendaftar dengan dukungan parpol Gerindra dan Hanura, hanya satu berkas parpol yang memenuhi persyaratan. Hanya berkas dari Partai Gerindra yang lengkap, sementara berkas Partai Hanura dokumennya hanya berupa fotokopi. Kedua pasang bakal calon ini tidak dapat memenuhi perbaikan hingga tutup pendaftaran.
Kegagalan pendaftaran kedua pasang calon itu pun memicu amuk massa, merusak kantor KPU setempat. Pendaftaran calon pun kemudian kembali dilakukan pada 19-21 Januari 2018, tetapi hingga akhir pendaftaran pasangan Bartol Paragaye-Ronny Elopere tidak dapat menunjukkan keotentikan dukungan Partai Hanura. Pilkada Jayawijaya pun hanya diikuti calon tunggal.
Persoalan otentisitas dukungan parpol juga muncul di Kabupaten Puncak, Papua. Perbenturan antara aturan administrasi pendaftaran KPU yang rigid dan pemaknaan atas legalitas setempat menjadikan salah satu pasang calon gagal mengikuti pilkada.
Sebetulnya peminat menjadi calon bupati Puncak terdapat tiga orang, yaitu
Hosea Murib-Mael Murib dari jalur independen, Willem Wandik-Alus UK Murib yang didukung oleh 10 parpol, dan Repinus Telenggen-David Ongomang yang diusung empat parpol. Hanya Hosea-Mael dinyatakan belum memenuhi syarat dukungan KTP ketika mendaftar sehingga ditolak.
Sementara, Telenggen-Ongomang ternyata kemudian bermasalah dengan dukungan parpol. Partai dan berkas yang dicantumkan dalam dukungan untuk pasangan tersebut sudah terlebih dahulu didaftarkan pasangan Willem Wandik-Alus Murib pada hari pertama pendaftaran.
Dualisme dukungan partai ini menyebabkan Telenggen-Ongomang tersingkir dan tahapan Pilkada Puncak pun mengalami perubahan karena pasangan ini kemudian mengajukan gugatan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Jika Telenggen-Ongomang menang, Kabupaten Puncak nyaris saja diikuti calon tunggal. Jika kalah, nyaris saja ada dua calon. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Warga Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, yang berseteru karena berbeda pilihan dalam pemilihan kepala daerah menggelar prosesi perdamaian untuk menyelesaikan masalah.
Sumber : Kompas.id, 25 April 2018