UU Pilkada Perlu
Direvisi
Oleh Prayogi Dwi Sulistyo
Badan Pengawas Pemilu mendorong dilakukannya revisi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota jelang pelaksanaan Pilkada 2020. Undang-undang tersebut perlu disesuaikan
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena terdapat sejumlah
perbedaan signifikan terkait pengawas pemilihan. Perbedaan itu antara lain,
pada UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada, pengawas
penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Panitia Pengawas
yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi (Pasal 1 Angka 17).
Sementara di dalam UU Pemilu disebutkan, badan untuk mengawasi
penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Bawaslu
Kabupaten/Kota. Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutus
sengketa administrasi pemilihan, sedangkan Panwaslu dalam UU Pilkada hanya
memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menegaskan, Panwas berbeda
dengan Bawaslu. Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi persoalan tersebut
yakni harus ada undang-undang pilkada yang baru yang sesuai dengan UU Pemilihan
Umum. “Undang-undang (Pilkada) yang ada sekarang tidak bisa digunakan untuk
Pilkada yang akan datang,” kata Fritz saat dihubungi di Jakarta, Minggu
(11/8/2019).
Hal tersebut terjadi karena nama Panwas sudah tidak ada lagi dan
sudah berubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Menurut Fritz, pembentukan
undang-undang baru dibutuhkan mengingat revisi terbatas UU Pilkada tidak lagi
sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang ada dalam UU Pemilu.
Lebih maju
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi
mengatakan, ada beberapa pengaturan di Pemilu yang sudah maju seperti soal
pengawasan karena telah belajar dari proses pelaksanaan Pilkada. Oleh karena
itu, UU Pemilu sebenarnya adalah penyempurnaan dari proses yang ada sebelumnya.
Permasalahannya, hingga saat ini belum ada perbaikan di dalam UU Pilkada
berdasarkan evaluasi dari pelaksanaan-pelaksanaan pilkada sebelumnya. Veri
mencontohkan tentang pengawasan kelembagaan penyelenggaraan pemilihan.
Kelembagaan pengawasan pemilihan dalam UU Pemilu sudah diatur
sebagai badan permanen. Namun, UU Pilkada masih mengatur penyelenggaraan
pengawasan pemilihan di tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh badan ad hoc. “Hal
ini akan menimbulkan persoalan dalam pelaksanaan pilkada sebab tidak hanya
berpengaruh pada teknis penyelenggaraan, tetapi ada konsekuensi hukum terkait
pengaturan seperti ini,” kata Veri.
Selain bentuk lembaga, tambahnya, ada persoalan kewenangan
pengawas pemilihan. Di dalam UU Pemilu, Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang
menangani pelanggaran administrasi dengan sifat putusan yang final dan
mengikat. Namun, di UU Pilkada, putusan Panwas berupa rekomendasi. Hal ini akan
berdampak pada munculnya masalah dari sisi regulasi dalam penyelenggaraan
Pilkada nanti.
Persoalan lain ada pada pemantauan pemilihan. Pada Pemilu 2019,
pendaftaran pemantau pemilihan dilakukan di Bawaslu. Begitu pula dengan
pengawasannya. Ini berbeda dengan UU Pilkada, dimana pendaftaran pemantau
pemilihan ada di KPU. Terhadap persoalan-persoalan tersebut, menurut Veri,
perlu dipilah-pilah mana aturan yang harus disesuaikan melalui revisi UU dan
mana yang perlu diuji ke Mahkamah Konstitusi.
“Penyelenggara Pemilu dan DPR harus duduk bersama memetakan mana
regulasi yang harus diperbaiki dan mana yang bisa dijalankan,” tutur Veri.
Sumber
: Kompas.id., 12 Agustus 2019
No comments:
Post a Comment