July 8, 2018

Drama demokrasi di Pilkada Makassar, Rakyat Memilih Kotak Kosong



Simbol Kotak Kosong merayakan Kemenangannya-Suara Rakyat Suara Tuhan
Drama demokrasi di Pilkada Makassar, Rakyat Memilih Kotak Kosong
Di antara sekian kabar seputar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 yang beredar beberapa jam setelah pencoblosan. Kemenangan KOTAK KOSONG atas CALON TUNGGAL di Pilkada Makassar adalah kabar yang MENGEJUTKAN. Kabar kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Makassar bersandar kepada hitung cepat (quick count-Celebes Research Centre (CRC), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-yang hasil hitung cepatnya memperlihatkan bahwa calon tunggal dikalahkan oleh kotak kosong. Dengan tingkat partisipasi 60 persen dalam Pilkada Makassar ini, hasil hitung cepat menunjukkan pasangan calon wali kota Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) yang menjadi calon tunggal dalam pemilihan itu  memperoleh 46,51 persen suara. Sedangkan kotak kosong memperoleh 53,49 persen suara.
Tidak pelak lagi, fenomena Pilkada Makassar memang dari awalnya sudah terlihat ada sesuatu yang perlu dicermati. Karena, dilihat dari sisi proses politiknya, merupakan pemilihan yang kontroversial dalam rangkaian Pilkada serentak 2018[1].  Bahkan tidaklah salah jika ada yang memandang Pilkada Makassar sebagai contoh nyata drama yang bisa terjadi dalam praktik politik elektoral di Indonesia. Pada mulanya calon yang dianggap paling kuat dalam Pilkada Makassar adalah Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto. Danny adalah Wali Kota Makassar. Danny dianggap berhasil membangun Makassar selama menjabat Walikota. Itulah faktor yang bisa mengokohkan posisinya jika ikut kembali bertarung dalam Pilkada Makassar 2018. Hampir semua partai politik (Parpol) diperkirakan akan mendukungnya. Bahkan, pada pertengahan 2017, banyak pihak memperkirakan Danny akan bertarung dengan kotak kosong.
Peta politik mulai berubah ketika Partai Golkar mengusung Munafri Arifuddin, CEO PSM Makassar yang juga keponakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagai calon. Situasi berubah begitu cepat. Parpol mengalihkan dukungan ke Munafri. Tidak tanggung-tanggung pada akhir 2017, Munafri mendapat dukungan dari 10 Parpol. Appi-Cicu diusung Partai Nasdem, Golkar, PDI-Perjuangan, Gerindra, Hanura, PKB, PPP, PBB, PKS, dan PKPI. Koalisi gemuk ini mengantongi 43 dari 50 kursi parlemen Makassar Tinggalah Danny sendirian,  tanpa dukungan Parpol. Peralihan dukungan besar-besaran Parpol itu tampak dramatis, bahkan ada yang menilainya sebagai hal yang tidak wajar.
Namun demikian, Danny memutuskan tetap ikut bertarung dalam Pilkada Makassar 2018 dari jalur perseorangan, independen. Dengan menggandeng Indira Mulyasari, Danny mendaftarkan diri sebagai pasangan calon (Paslon) dari jalur perseorangan dalam Pilkada Makassar 2018. KPU Makassar menetapkan dua Paslon dalam Pilkada Makassar pada minggu kedua Februari: Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) yang mendapat nomor urut 1, dan Mohammad Ramdhan Pomanto -Indira Mulyasari Paramastuti Ilham (Danny-Indira) yang mendapat nomor urut 2.
Pada masa awal setelah pendaftara PasLon,  Danny langsung dihadapkan dengan dua kasus. Pertama, ia diseret ke dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 7 ribu pohon ketapang. Kedua, ia juga dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi sanggar UMKM. Belakangan polisi menyatakan Danny tidak terlibat dalam kedua kasus korupsi itu. Tak lama berselang, KPU Makassar digugat oleh Paslon nomor urut 1 karena meloloskannya  sebagai Paslon dalam Pilkada. Gugatan itu terkait pembagian telepon seluler kepada Rukun Tetangga dan Rukun Warga, serta pengangkatan tenaga sukarela menjadi tenaga honorer yang dilakukan Danny dalam kapasitasnya sebagai Walikota Makassar. Tindakan Danny itu dianggap melanggar larangan bagi petahana untuk menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan bagi calon. Banyak pihak memandang kedua kegiatan itu dilakukan oleh Danny adalah bagian dari tugasnya sebagai Walikota sesuai dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang sudah disusun sejak 2016. Panwaslu Sulawesi Selatan menolak gugatan itu. Namun itu tidak berarti upaya menghentikan Danny dari proses pencalonan berhenti.
Gugatan dilangsungkan lagi lewat jalur Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada minggu ketiga Maret PTUN Makassar mengabulkan gugatan tersebut dan memerintahkan KPU untuk membatalkan penetapan pencalonan Paslon No 1. Atas putusan itu KPU mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA menolak permohonan kasasi pada minggu ketiga April. Atas dasar itu, KPU membatalkan penetapan pencalonan Danny-Indira.  Danny melakukan perlawanan dengan menggugat KPU atas pembatalan itu. Bawaslu mengabulkan gugatan itu dan memerintahkan KPU untuk menetapkan Danny-Indira sebagai paslon. Namun KPU mengabaikan kewajiban itu dan memastikan Pilkada Makassar hanya diikuti oleh calon tunggal. Pilkada Makassar 2018 memperlihatkan betapa praktik politik elektoral bisa berjalan secara keras untuk mengeliminasi lawan tandingnya. Dan dalam politik, segala kemungkinan selalu berpeluang terjadi secara “ajaib”. Tetapi cara seperti itu tidak pernah direkomendasikan “Sun Tzu”. Musuh sekalipun berhak mendapatkan rasa hormat dari para petarungnya.
Meski bukan sebagai pemenang[2],  sebuah acara syukuran digelar oleh  Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto di kediamannya di Jalan Amirullah, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu sore, 27 Juni 2018. Para simpatisan diundang. Beragam penganan disajikan. Di depan para pendukungnya, Danny sujud-syukur. Danny bukannya sedang merayakan kemenangannya di Pilwalkot Makassar. Pasalnya, meskipun berstatus sebagai PETAHANA, pencalonan Danny didiskualifikasi KPU Makassar karena tersangkut kasus hukum. Sesuatu yang sulit untuk diterima akal sehat, tetapi itulah Demokrasi. Politik bisa saja mengatur para pemain, tetapi rakyatlah yang menentukan.  
Peristiwa ini memang adalah  kali pertama kotak kosong memenangi kontestasi pilkada. Di Pilkada Serentak 2015, 2016 dan 2017, fenomena pasangan calon 'bertarung' melawan kotak kosong juga terjadi di sejumlah daerah. Namun, kotak kosong tak pernah menang.  Di Pilkada Serentak 2018, tercatat ada 11 petahana yang bertarung melawan kotak kosong. Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari, kasus fenomena kotak kosong di Makassar unik karena pencalonan petahana ditolak KPU dan kotak kosong mampu mengalahkan koalisi gemuk 10 partai. “Incumbent ini populer sekali. mengampanyekan pilih kotak kosong dan ternyata betul-betul menang. Ini sejarah,” ujar Qodari.
Sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang PILKADA mengatur mekanisme pilkada yang hanya diikuti calon tunggal. Dalam Pasal 54 D diatur, pemenang pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50%, maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya. Pada pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 disebutkan bahwa apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto pasangan calon, KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pilkada periode berikutnya. Sementara di ayat 2 disebutkan "Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Menurut Komisioner KPU Viryan Aziz, periode berikutnya bukan lima tahun mendatang. Namun, ketika pilkada serentak terdekat akan digelar. "Dalam UU 10 tahun 2016 disebutkan pilkada serentak berikutnya adalah tahun 2020," kata Viryan.  Lalu, siapakah yang memimpin pemerintahan? Dalam UU Pilkada disebutkan bahwa 'jika belum ada pasangan yang terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat untuk menjalankan pemerintahan.' Artinya, Kementerian Dalam Negeri yang nantinya akan memilih Wali Kota Makassar yang bertugas hingga perhelatan Pilkada Serentak 2020.
Ketua Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Zulkifli Hasan[3] meminta semua pihak menerima dengan lapang dada hasil Pilkada Makassar. Namun demikian, ia menyebut, kemenangan kotak kosong harus dijadikan momentum menelaah kembali UU Pilkada. "Ya, itu pelajaran penting ya. Semua itu tergantung UU juga. Dalam UU, kalau menang, ya tetap menang. Tapi itu jadi pelajaran penting. Jangan sampai terjadi lagi," ujar Zulkifli di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Juni 2018.
Menurut Zulkifli, sejak awal Partai Amanat Nasional (PAN) tak setuju adanya calon tunggal di perhelatan Pilkada Serentak 2018. Calon tunggal, kata dia, sangat tidak demokratis dan potensial mendorong para calon kepala daerah mengandalkan duit untuk memborong semua partai. "Lawan kotak kosong sangat tidak demokratis. Kami dari dulu tidak setuju. Apalagi partai bisa memborong kandidat. Kan demokrasi harus ada kompetisi. Kalau lawan kotak kosong gimana? Yang punya uang borong partai,” tandasnya.
Pada ahirnya Rakyatlah yang jadi penentu Demokrasi itu, secara Politik mungkin saja para pihak bisa membelinya lewat berbagai cara, tetapi kalau Rakyat tidak suka, maka permainan Politik itupun nggak membuahkan apa-apa. Demokrasi memang indah kalau didukung suara rakyat secara benar.




[1] https://beritagar.id/artikel/editorial/drama-demokrasi-di-pilkada-makassar
[2] https://rappler.idntimes.com/christian-simbolon/pilkada-makassar-tatkala-kotak-kosong-memenangi-pilkada/full
[3] https://rappler.idntimes.com/christian-simbolon/pilkada-makassar-tatkala-kotak-kosong-memenangi-pilkada/full

No comments:

Post a Comment