February 9, 2020

Cara Zun Tsu Memenangkan Pilkada



Cara Zun Tsu Memenangkan Pilkada

Strategi Menawarkan Seorang Pemimpin. Istilah strategi berasal dari kata Junani, yaitu strategia. Secara historis istilah ini mulai digunakan sejak 500 tahun SM, terutama di kalangan militer, strategi mejadi ilmu yang harus dimiliki oleh panglima perangnya (jenderal).  Salah satu yang paling menonjol adalah jenderal Sun Tzu, yang mengartikan, strategi adalah sebagai suatu cara untuk dengan mudah menaklukan lawan, kalau perlu tanpa pertempuran (battle) atau dengan kata lain strategi diperlukan jika ada lawan (Michaelson 2004).
Untuk itu, secara umum arti strategi adalah ilmu pengetahuan dan seni, bagaimana mendayagunakan sumber-sumber yang tersedia untuk mencapai tujuan yang direncanakan, dengan memperhitungkan tantangan atau pesaingan yang ada (active opposition). Dalam suatu pertarungan atau persaingan, suksesnya suatu organisasi sering tergantung pada kemampuan organisasi tersebut mengenal lingkungan wilayah atau daerahnya dan menggunakan secara tepat informasi yang dikumpulkan kemudian menganalisisnya untuk kemudian ditujukan untuk penyusunan perencanaan.
Selama ini pengamatan atau pemetaan politik wilayah atau daerah pemilihan yang sering dipergunakan oleh para kandidat Pilkada (Gubernur atau Bupati) adalah atas dasar asumsi. Berasumsi sudah hampir jadi bawaan yang menyertai banyak perjuangan kandidat Pilkada di Indonesia. Kandidat berasumsi masyarakat sudah sekian persen mendukungnya. Kandidat berasumsi masyarakat di wilayah kecamatan A sudah 75 % mendukungnya karena tokoh-tokoh masyarakatnya sudah menyampaikan dukunga mereka secara resmi. Tidak jarang hanya dengan berbekal asumsi semacam itu telah membuat hati kandidat berbunga – bunga dengan hayalan membumbung tinggi dan sering malah jadi alergi dan tertutup terhadap kritik. Oleh karenanya, mereka berbicara dan bertindak tidak lagi berdasarkan data yang valid yang bisa dibuktikan. Padahal sudah jelas bertindak berdasarkan asumsi adalah sebuah awal kekalahan dan bisa berakibat fatal. Berpegang akan asumsi seperti ini akan berefek domino pada kekalahan-kelalahan berikutnya hingga hari H  hari pencoblosan tiba.
Dari berbagai pengalaman pendampingan kawan-kawan pada pemenangan Pilkada sering sekali semangat berdasarkan asumsi ini melahirkan kelemahan dan bahkan malapetaka pada kerja sama Tim Pemenangan Pilkada. Bisa anda bayangkan bagaimana sang istri dari seorang kandidat yang menjadi kilen kami begitu berbunga-bunga hanya karena ia telah kampanye dengan cara membagi-bagikan mukena dan kitab Yasin pada beberapa kelompok ibu-ibu pengajian di wilayah kampanyenya. Dalam salah satu diskusi tentang berbagai program dan kegiatan yang telah ia lakukan dalam rangka membantu suaminya untuk memenangkan Pilkada. Dengan semangat Ia berceritra berbagai kegiatan yang telah ia lakukan bersama Tim nya, salah satunya yang menurutnya luar biasa adalah ia telah membagi-bagikan mukena dan kitab Yasin kepada ibu-ibu majelis taklim di desa-desa yang jadi ajang kampanye. Dengan program tersebut istri kandidat ini merasa yakin bila ibu-ibu tersebut akan memilih suaminya pada Pilkada nanti. Ketika padanya ditanyakan bagaimana bila istri dari kandidat pesaing juga melakukan hal yang sama dan bahkan memberikan mukena dan kitab Yasin atau cendra mata lainnya yang jumlah dan kualitasnya lebih banyak dan lebih baik?  Apakah ibu-ibu di desa desa tersebut akan tetap memilih suaminya atau justru akan memilih kandidat pesaing?

Memang harus diakui bahwa pada sebagian masa dahulu, takkala kampanye Pilkada masih bercorak sederhana, maka pembagian Sembako bisa sangat berperan positip dalam perolehan suara seorang kandidat Pilkada. Pada masa itu kalangan dan pengamat percaya sekali bahwa ”aksi tebar sembako” adalah segalanya dalam Pilkada. Tetapi dengan bergulirnya waktu dan berbagai pengalaman di lapangan menunjukkan ada sesuatu yang berubah dari kebiasaan para warga pemilih. Di satu sisi mereka tetap mau menerima sembako ataupun uang yang ditebarkan; tetapi tiba saatnya pemilihan mereka justeru memilih kandidat yang berbeda. Artinya di satu sisi mereka melihat para Kandidat Pilkada itu juga hanya mendekati dan mau berbagi dengan mereka bila ada maunya. Setelah kandidat memenangkan pilkada tidak jarang malah terkena kasus korupsi. Jadi saat ini boleh dikatakan, pola tebar sembako ataupun kampanye bagi-bagi uang sudah tidak seefektip di saat saat awalnya dahulu. Kini orang sudah sangat paham, dan sepertinya masih suka dengan kandidat pilkada yang melakukan tebar sembako dan sejenisnya tetapi pada saat pemilihan yang dipilih warga justeru lain lagi.

Sekarang polanya sudah berubah dan persoalan di lapangan seolah sangat sederhana dalam polanya. Karena warga terlihat akan lebih senang bila semua kandidat melakukan aksi tebar sembako dan bagi-bagi uang tetapi itu hanya disikapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Apakah masyarakat akan memilih kandidat yang memberikan barang atau uang paling banyak, atau kandidat yang  memberikan sembako paling awal, atau kandidat yang memberikan sembako paling akhir? Atau malah sebaliknya, justru karena seorang kandidat menyebarkan sembako, masyarakat menjadi tidak simpati terhadapnya? Hal-hal semacam ini lah yang menjadi persoalan di lapangan dan wajib hukumnya untuk diketahui oleh kandidat yang ingin memenangkan Pilkada di suatu daerah. 
Sebab setiap masyarakat memiliki kecenderungan sikap yang berbeda-beda terhadap suatu program atau aksi yang dilakukan oleh kandidat. Bisa jadi di daerah tertentu, tebar uang dan sembako ini masih sangat besar pengaruhnya, tetapi bisa jadi untuk daerah tertentu justeru sebaliknya, bisa jadi Kandidat tersebut ditinggalkan warga. Demikian juga dengan aksi tebar sembako, kandidat harus berhati-hati dengan aksi ini karena selain belum tentu bisa mempengaruhi perilaku pemilih, tindakan semacam ini juga hanya menguras kantong kandidat. Dan tentunya tidak mendidik bagi proses demokrasi di Indonesia.

Resep Memenangkan Pilkada

Apasih sebenarnya resep untuk bisa memenangkan Pilkada? Kalau mau memenangkan Pilkada, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar lebih mudah dalam memenangkan pertarungan dalam Pemilukada. Pertama, kemasan figure, sang Figur harus di visualkan sebagai Tokoh yang mampu. Kedua, program kerja. Program kerja harus menjawab harapan warga dan ketiga kinerja mesin kampanye politik sebagai pendulang suara. Jadi, Jika ingin menang tiga faktor ini harus digarap serius.  Diatas semua itu anda harus punya data yang valid yang diperoleh dari hasil Riset yang baik dan benar. Anda harus punya atau mampu membiayai Tim Riset yang bisa memberikan data yang sebenarnya. Tugas tim riset fokus untuk mencari data-data pendukung. Jelasnya melakukan riset tentang kondisi masyarakat di daerah Pilkada untuk mengetahui peta politiknya. Bagaimana tingkat dukungan awal para pemilih kepada para calon yang akan ikut berkompetisi. Data-data inilah kemudian yang di analisis dan dijadikan rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan tim sukses. Baik dalam bentuk pencitraan politik, rumusan program kerja atau tindakan lain. 
Mau menang Dalam  Pilkada? Ya pastilah… semua peserta Pilkada menginginkan agar bisa memenangkan pertarungan dalam Pilkada. Masalahnya, apakah lebih mudah memenangkan Pilkada lewat jalur Partai atau Jalur Independen? Apakah kampanye akan lebih moncer lewat mesin partai atau lewat Lembaga Survei atau lewat Konsultan Politik? Dan mana yang lebih mahal? Ya selama ini umumnya orang hanya percaya kalau mau menang dalam Pilkada ya Calon tersebut haruslah punya elektabilitas serta ketokohan yang baik. Artinya Calon tersebut sudah lama berkecimpung di tengah-tengah masyarakat serta mempunyai reputasi yang baik. Semua percaya kalau tokoh seperti itu memang pasti akan mendapat dukungan dari warga. Calon yang seperti itu dipercaya akan mudah memenangkan pertarungan di Pilkada. Masalahnya tidak banyak Tokoh yang seperti itu.

Menangkan PilkadaMu

Kalau mau memenangkan Pilkada, maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar lebih mudah dalam memenangkan pertarungan dalam Pemilukada. Pertama, kemasan figur. Kedua, program kerja, dan ketiga kinerja mesin kampanye politik sebagai pendulang suara. Jika ingin menang tiga faktor ini harus digarap serius.  Diatas semua itu anda harus punya data yang valid yang diperoleh dari hasil Riset yang baik dan benar. Anda harus punya atau mampu membiayai Tim Riset yang bisa memberikan data yang sebenarnya. Tugas tim riset fokus untuk mencari data-data pendukung. Jelasnya melakukan riset tentang kondisi masyarakat di daerah Pilkada untuk mengetahui peta politiknya. Bagaimana tingkat dukungan awal para pemilih kepada para calon yang akan ikut berkompetisi. Data-data inilah kemudian yang di analisis dan dijadikan rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan tim sukses. Baik dalam bentuk pencitraan politik, rumusan program kerja atau tindakan lain. 

Tim riset harus bekerja secara objektif dalam melihat realitas politik yang ada sebagaimana adanya. Dari data Tim Riset inilah di visualkan perwujudan Tokoh. Pemolesan Tokoh sehingga menjadi Idola warga yang dipadukan dengan Program Kerjanya.  Sedangkan tim sukses bertugas melakukan mobilisasi terkait rekomendasi yang diberikan berdasarkan hasil Tim Riset. Jadi ada dua tim, yaitu tim riset dan tim sukses. Sebagai kandidat anda bisa memilih Tim Riset dan sekaligus menjadikannya bagian dari Tim Sukses, atau membuatnya dua bagian yang berbeda. Tetapi tetap dalam satu manajemen.

Menurut survey yang dilakukan oleh Pew Research Center for the People and the Press terhadap sekitar 200 konsultan politik di seluruh dunia pada tahun 1997 – 1998, ditemukan fakta bahwa kualitas dari pesan-pesan kampanye politik dan strategi pencitraan para calon pemimpin yang maju Pilkada merupakan faktor utama dalam menentukan kemenangan dalam pemilihan, sehingga selain faktor biaya yang mutlak dipersiapkan untuk menggerakkan mesin politik calon kandidat, pencitraan calon pilkada merupakan kunci penentu kemenangan.

Bagi sebagian besar warga pendekatan program kerja yang ditawarkan oleh calon pilkada hanya akan dimengerti oleh publik yang “melek” politik. Tetapi bagi publik yang “buta” politik, mereka akan lebih suka melihat citra para calon pemimpin itu sendiri. Pengertian citra dalam hal ini berkaitan erat dengan suatu penilaian, tanggapan, opini, kepercayaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol simbol tertentu terhadap personel yang diusung oleh partai. Dengan demikian, tanggapan dan penilaian publik merupakan unsur penting dalam melakukan penelitian tentang Citra. Citra (image) adalah seperangkat keyakinan, ide dan kesan seseorang terhadap suatu obyek tertentu. Sikap dan tindakan seseorang terhadap obyek tersebut akan ditentukan oleh citra obyek yang menampilkan kondisi yang paling baik. Karena itu Pencitraan adalah salah satu kunci sukses pilkada anda.

Jadi dalam garis besarnya memasarkan seorang calon Pilkada tak ubahnya seperti memasarkan sebuah produk atau jasa kepada target pasarnya. Pada dasarnya, jika diibaratkan pemasaran produk, target pasar untuk pemilukada adalah para pemilih (voters), yang kalau kita cermati secara lebih teliti terbagi dalam empat (4) segmen. Segmen pertama adalah pemilih ideologis (ideologist voters); yang kedua adalah pemilih tradisional (traditional voters); yang ketiga adalah pemilih rasional (rational voters) yang terbagi dalam pemilih intelektual dan non partisan; dan yang keempat adalah pemilih yang masih berubah-ubah (swing voters). Dari data empiris memperlihatkan persentasenya sebagai berikut : Ideologist dan Traditional Voters menguasai sekitar 40% dari market share, sedangkan Rational Voters dan Swing Voters menguasai sekitar 60% dari market share (Priosoedarsono, 2005 ). Nah sebagai calon Gubernur, calon bupati atau calon walikota anda dan tim sukses anda harus dapat merebut suara tersebut sebanyak bisa.

Catatan : Judul nya memang Zun Tsu memenangkan Pilkada, padahal pada zamannya kan belum ada Pilkada. Jadi Pilkada dalam hal ini tidak ubahnya sebagai medan pertempuran...pertarungan yang perlu di menangkan..


1 comment: